Pernah ditolak jadi Satpol PP, saat lulus dari bangku SMA, Daud “Cino” Yordan akhirnya berhasil menjadi juara dunia dua kali versi badan tinju IBO. Saat bersinar di kancah internasional, Daud memilih tetap menjadi WNI setelah sempat ditawarkan menjadi warga Spanyol.
AHMAD SOFI, Ketapang
MENGENAKAN kemeja abu-abu gelap dengan celana jeans lengkap dengan sepatu hitam hitam, Daud Yordan datang ke salah satu warung kopi di tepi Sungai Pawan, Poskopi. Didampingi promotornya, Daud menyapa satu persatu pengunjung Poskopi yang belum begitu ramai.
Saat itu jam menunjukkan pukul 19.15 WIB. Sesuai jadwal, pukul 19.30 WIB, dia akan berbincang-bincang santai bersama Aliansi Jurnalis Ketapang (AJK) dan kaula muda Ketapang, di antaranya dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ketapang.
Acara bincang santai ini merupakan salah satu agenda yang rencananya akan dirutinkan digelar setiap Rabu malam oleh AJK dan Poskopi bersama tokoh-tokoh di Ketapang. Pada bincang kali ini, AJK sengaja mengundang tokoh muda Tanah Kayong yang berprestasi di bidang olahraga, bahkan di tingkat internasional, Daud “Cino” Yordan. Pesertanya juga anak-anak muda Ketapang.
Bincang-bincang yang dipandu jurnalis senior di Ketapang, Yasmin Umar, diawali dengan perkenalan sang petinju. Daud Yordan lahir di Simpang Dua, Ketapang, pada 10 Juni 1987. Dia merupakan petinju profesional Indonesia yang berhasil menjadi juara dunia dua kali versi badan tinju IBO.
Dia juara pada kelas featherweight dan lightweight pada masa yang berbeda. Di mendapatkan julukan “Cino” yang berarti keberuntungan.
Di hadapan pemuda Ketapang, dia bercerita jika menjadi petinju adalah cita-citanya sejak kecil. Lahir di lingkungan keluarga petinju, salah satunya adalah kakak kandungnya, Damianus Yordan, dia bertekad menjadi petinju profesional. Meski sempat ditentang olah orang tua untuk berkarir di dunia tinju, Daud tetap kukuh pada keinginannya dan meyakinkan kedua orangtuanya jika dirinya mampu menjadi petinju.
Lahir dari keluarga petani yang tinggal sangat jauh dari pusat Kota Ketapang, Daud bertekad ingin merubah nasib dan merantau ke Kota Ketapang. Di usianya yang baru menginjak 8 tahun, dia sudah meninggalkan kedua orangtuanya di kampung halaman menuju Kota Ketapang. Di Kota Ketapang, dia diasuh oleh Herman Wimpi (almarhum). Dialah adalah satu orang yang melatih Daud menjadi petinju.
Bercita-cita menjadi petinju profesional bukan berarti lupa dengan pendidikan. Sambil berlatih tinju, Daud kecil mengenyam pendidikan di Sekolah Dasar (SD) Negeri 07 Delta Pawan hingga tamat. Dia pun kemudian melanjutkan sekolahnya di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 6 Ketapang. Belum genap satu tahun, Daud merantau lebih jauh lagi dengan orangtua yakni, Jakarta.
Hari-hari pun berlalu dan tidak terasa usianya sudah 18 tahun. Di usia itulah dia semakin aktif di ring tinju amatir.
“Setelah lulus SMA baru naik ke tinju profesional,” kata bapak dua anak ini.
Sebelum menjadi petinju profesional, Daud sempat melamar untuk menjadi anggota Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Ketapang. Namun ditolak. Tak putus semangat, dia terus berlatih tinju di tempat sederhana di Jalan KS Tubun Ketapang. Hingga suatu ketika, dia mengetahui ada salah satu stasiun televisi yang rutin menggelar tinju.
Dia pun mencari informasi dan mencoba mendaftar melalui promotor. Dia pun berhasil bertanding di acara tinju tersebut. Tak hanya itu, di tahun 2007 dia akhirnya merangkak naik dari tinju amatir menjadi petinju profesional. Saat itu usia Daud masih 20 tahun. “Pada tahun 2007 saya menjadi petinju profesional. Lawan pertama kali saat itu adalah petinju Filipina dan menang KO,” ungkapnya.
Berhasil menaklukkan lawannya pada 2007, dia mendapatkan perhatian dari salah satu tokoh Kalbar yang berkiprah di level nasional, Osman Sapta Oedang (OSO). Dia diminta untuk tinggal di Sukadana, Kayong Utara. Sejak saat itulah di menetap di Sukadana. “Tapi saya tidak bisa melupakan Ketapang, karena di Ketapang lah masa kecil saya dihabiskan,” paparnya.
Selama menjadi petinju profesional, dia sudah melakoni 50 pertandingan dan hanya empat kali menelan kekalahan, salah satunya dari petinju Indonesia, Chris John. Dia mengakui kekalahannya dan belajar banyak dari seniornya itu. “Di saat saya kalah, tidak ada alasan lagi bagi saya untuk menyesalinya. Kalah kalah, ya kalah. Berarti saya harus beralatih lebih keras lagi,” ungkapnya.
Daud juga bercerita, tantangan terberat menjadi petinju adalah menjaga berat badan agar tetap stabil. Saat ini berat badannya 71 mencapai kilogram. Sementara beberapa waktu kedepan dia akan bertanding dan berat badannya harus berada di angka 59 kilogram. “Untuk menurunkan berat badan perjuangannya luar biasa. Bertanding itu nomor dua, yang berat itu adalah menjaga agar berat badan tetap stabil. Butuh diet yang luar biasa ketat,” jelasnya.
Namun demikian, hal itu bisa dia jalani dengan usaha keras dan kemauan yang kuat. Kemauan tanpa usaha sama halnya bermimpi di siang bolong. “Begitu juga sebaliknya, usaha tanpa ada kemauan yang kuat, bisa putus di tengah jalan,” tegasnya.
Dia berpesan kepada anak-anak muda Ketapang untuk fokus terhadap kemampuan diri sendiri. Fokus terhadap apa yang dicita-citakan. “Untuk meraih kesuksesan harus dimulai dari diri sendiri. Apa yang menjadi fashion itu anda sendiri yang mengetahui. Itu harus diasah sejak dini dengan latihan dan usaha yang keras. Memang tidak mudah, tapi harus yakin dengan diri sendiri,” pesannya.
Di saat berhasil, Duad berpesan agar tidak lupa diri dan sombong. Harus tetap rendah hati dan tetap peduli terhadap daerah yang telah membesarkan. “Saya pernah ditawarkan menjadi warga negara Spanyol setelah sempat tinggal di Spanyol satu tahun pada 2018. Tapi tetap memilih menjadi warga Indonesia, karena Indonesia lah, khususnya Tanah Kayong ini yang membesarkan saya,” pesan Duad.
‘’Anak muda juga harus memberikan peran terhadap pembangunan pada pemerintahan. Jika tenaga dan pikiran kita dibutuhkan untuk membangun daerah, kerahkan semuanya untuk membantu membangun daerah,” pungkasnya. (*)