KETAPANG – Sejumlah dokter spesialis di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr. Agoesdjam Ketapang melakukan mogok kerja pada Senin (23/8). Mereka melakukan mogok kerja karena tunjangan kinerja (tukin) belum dibayarkan sejak Januari hingga Agustus 2021. Namun, hal tersebut dianggap melanggar sumpah dokter karena merugikan masyarakat.
Pelaksanatugas (Plt) Direktur RSUD dr. Agoesdjam Ketapang, Herman Basuki, mengatakan dari 16 poli yang dilayani oleh para dokter spesialis, hanya tiga poli saja yang tetap membuka pelayanan. “Ada 16 poli. Ada tiga poli yang membuka pelayanan, yakni poli penyakit dalam, poli gigi dan poli bedah. IGD tetap buka. Meskipun mereka mogok kerja, tapi pelayanan rumah sakit tetap berjalan,” katanya, kemarin (23/8) di Ketapang.
Dia menjelaskan, aksi mogok kerja ini adalah buntut dari tuntutan pembayaran tunjangan kinerja yang belum dibayarkan oleh Pemerintah Kabupaten Ketapang sampai saat ini. “Mulai dari Januari hingga Agustus 2021 tukin dokter spesiali belum dibayarkan. Namun sudah ada upaya dari Pemkab Ketapang,” jelasnya.
Dia mengungkapkan, sesuai dengan hasil rapat yang dilaksanakan pada Jumat (20/8), hal ini akan dikonsultasikan ke Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Provinsi Kalbar. Hal ini, menurut dia, berkaitan dengan anggaran. “Karena pemda berhati-hati akan adanya duplikasi anggaran. Hal itulah yang membuat tukin belum dibayarkan. Tidak hanya di rumah sakit, di dinas kesehatan juga sama,” ungkapnya.
Berdasarkan Peraturan Bupati Nomor 53 Tahun 2020, pada pasal 16 ayat (l), TPP tidak diberikan kepada pegawai instansi yang mengelola PLUD. Hal itulah yang menurut dia menjadi permasalahan kenapa sampai saat ini tukin belum dibayarkan. “Diharapkan pada Perbup ini, khususnya ayat L, dihapus. Mogok kerja ini akan terus berlanjut sampai ada kepastian kapan tukin dikeluarkan,” paparnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Ketapang, Rustami, menyayangkan sikap dokter RSUD dr. Agoesdjam Ketapang yang melakukan mogok kerja. Menurutnya, sikap tersebut tak selayaknya dilakukan dan bertentangan dengan sumpah dokter. Terlebih lagi, diingatkan dia bahwa yang dirugikan adalah masyarakat.
“Seharusnya mementingkan kepentingan masyarakat. Kalau mereka mogok dan tidak masuk kerja, yang menerima dampaknya adalah masyarakat. Hanya karena tidak mendapatkan tunjangan, lalu masyarakat yang menjadi korban,” kata Rustami, kemarin (23/8).
Dia menjelaskan, masyarakat yang datang untuk berobat ke rumah sakit rata-rata masyarakat yang kurang mampu yang menggunakan BPJS. “Sedangkan orang yang mempunyai uang, biasanya datang ke tempat dokter praktik. Dokter mogok kerja di rumah sakit, tapi tetap buka praktik. Saya rasa kurang bijak juga mogok seperti itu. Kasihan juga masyarakat,” jelasnya.
Rustami mengungkapkan, permasalahan yang dihadapi para dokter ini sedang dibahas oleh Pemerintah Kabupaten Ketapang. Yang menjadi ketakutan pemerintah kenapa tunjangan kinerja (tukin) belum dibayarkan sampai saat ini, diperkirakan dia, karena kekhawatiran pembayarannya dobel. Hal inilah, yang menurut dia, menjadikan pemerintah daerah dalam membahasnya sangat berhati-hati.
Perlu diketahui juga, lanjutnya, yang belum mendapatkan tunjangan ini bukan hanya dokter di RSUD dr. Agoesdjam saja, tapi puskesmas juga belum dapat. Tapi pihaknya sudah menyampaikan kepada puskesmas, bahwa jangan hanya gara-gara belum mendapatkan hak, masyarakat terabaikan. “Itu yang saya tegaskan kepada seluruh puskesmas. Tapi kalau rumah sakit, itu bukan ranah saya. Tapi sebagai pihak pengawas, saya menyayangkan,” tegasnya.
“Seharusnya mereka tetap memberikan pelayanan. Karyawan di rumah sakit tidak hanya mendapatkan uang tunjangan itu saja, ada juga uang lainnya yang didapatkan,” tambahnya.
Rustami juga mengatakan, dalam aturan pemberian insentif itu, tunjangan kinerja tetap harus diberikan. Tapi, dia menambahkan, ada aturan-aturan lain yang pemerintah juga memperhatikan hal-hal lainnya, salah satunya dobel pembayaran. “Mungkin itu yang menjadi pertimbangan sehingga sampai saat ini belum dibayarkan,” paparnya.
Menurutnya, saat ini permasalahannya bukan ada di rumah sakit, tapi di pemerintah daerah. Keputusan untuk memberikan tunjangan atau tidak, dikatakan dia, berada di tangan pemerintah. Pihak rumah sakit, menurut dia, juga tidak akan mengeluarkan uang kalau tidak ada payung hukum yang jelas. “Saya pikir kurang bijaksana mogok kerja itu. Jangan ada lagi mogok kerja. Jika yang salah itu pemerintah, kok masyarakat yang jadi korban. Apalagi masyarakat miskin,” pesannya.
“Yang mogok kerja di rumah sakit ini pasti mereka masih membuka pelayanan di tempat praktik masing-masing. Kan nampak benar masyarakat kecil yang dirugikan. Padahal di rumah sakit mereka tutup. Secara etik profesi itu tidak boleh. Berarti sumpah kedokterannya belum benar. Kecuali gaji tak dibayar. Kalau tunjangan kinerja, itu bukan hak. Itu reward. Itu juga kalau pemerintah ada uangnya, kalau tidak ada uangnya tidak bisa juga,” pungkasnya. (afi)