Kubu Raya memiliki potensi sumberdaya hutan mangrove luar biasa. Luasnya mencapai 129.023,738 hektare. Potensi ini memberi peluang besar bagi pemanfataan mangrove, salah satunya sebagai bahan baku arang bakau di Kecamatan Batu Ampar. Pemanfaatan hutan mangrove, tidak saja menjadi penopang ekonomi, tapi juga membuka ruang konflik yang hingga kini belum terselesaikan.
—
Desa Batu Ampar merupakan satu dari 15 desa yang ada di Kecamatan Batu Ampar, Kabupaten Kubu Raya. Desa ini memiliki hamparan hutan mangrove yang cukup luas. Sekitar 38.449,67 hektare.
Hamparan hutan mangrove ini konon menjadi salah satu yang terlengkap di Dunia. Lebih dari 80 persen dari total jenis mangrove yang ada di dunia, berada di Batu Ampar.
Hasil identifikasi ditemukan sekitar 75 spesies mangrove, terdiri dari 40 spesies mangrove sejati dan 35 spesies mangrove ikutan. Jumlah itu lebih banyak dibandingkan 50 spesies mangrove yang dilaporkan oleh UNEP dan IMReD sebelumnya, yang merepresentasikan sekitar 76,7 persen dari total mangrove sejati di Indonesia berada di hutan mangrove Batu Ampar.

Selain itu juga terdapat jenis pohon lainnya, seperti Nipah, Nyirih, Bakau Minyak, Bakau Tanduk, Bakau Putih, Bakau Akik, Bakau Kacang, Bakau Semangi, Bakau Tanjung, Api-Api, dan aneka bakau lainnya.
Sayangnya, di balik segala keindahan dan potensi hutan mangrove di daerah itu menyimpan ruang konflik yang hingga kini belum terselesaikan.
Pemanfaatan hutan mangrove oleh masyarakat untuk bahan baku pembuatan arang dianggap sebagai pemicu kerusakan hutan mangrove. Data Jurnal Analisis Kebijakan yang dikeluarkan oleh LIPI, kerusakan hutan mangrove di Kecamatan Batu Ampar mencapai 35,43%. Terdiri dari dari 3,71% berada dalam kondisi rusak berat, 0,92% rusak ringan, dan 30,80% memiliki produtivitas.
Kondisi ini berkaitan erat dengan kegiatan produksi arang bakau oleh masyarakat. Praktik pemanfaatan mangrove untuk arang yang sebelumnya merupakan hutan produksi, diubah menjadi hutan lindung, berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK), tahun 1982.
Sejak saat itu, praktik ini menjadi ilegal karena pemanfaatan kayu dari kawasan hutan lindung tidak dibolehkan. Namun, praktik ini terus berlangsung hingga sekarang.
Terbitnya PP Nomor 6 tahun 2007, membuka peluang pemanfaatan hasil hutan kayu termasuk mangrove, salah satunya melalui program Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Namun, kenyataannya, peraturan ini pun pada tataran implementasinya di lapangan ternyata tidak mudah diakses oleh masyarakat yang ingin memperoleh legalitas bahan baku untuk usaha arang mereka.
Pontianak Post berkesempatan mengunjungi Dusun Sungai Limau, Desa Batu Ampar. Dusun ini merupakan satu dari empat dusun yang hingga kini masih aktif melakukan produksi arang bakau.
Di sini, kita bisa melihat dapur arang berjejer di depan rumah warga. Selain itu, kita juga bisa melihat langsung proses pembuatan batu arang, yang konon telah menembus pasar manca negara, Jepang, Korea dan beberapa negara lainnya.
Ketua Lembaga Pengelolaan Hutan Desa (LPHD) Batu Ampar Hermansyah tidak menampik adanya praktik pemanfaatan hutan mangrove sebagai bahan baku arang di desanya.
Menurut Herman, sapaan akrab Hermansyah, masyarakat masih belum bisa lepas dari kebiasaan memanfaatkan mangrove sabagai bahan baku industri arang. Menurutnya, industri ini sudah ada sejak lama dan menjadi salah satu penopang perekonomian masyarakat sekitar.
Berdasarkan data, kata Herman, setidaknya ada 500 unit dapur arang yang tersebar di empat dusun di Desa Batu Ampar. Dusun Limau misalnya, sedikitnya ada 100 unit. Belum lagi dusun lainnya, yang hampir 80 persen penduduknya masih memproduksi arang bakau.
“Yang terdata ada 500 an unit dapur arang,” kata Herman saat ditemui Pontianak Post di kediamannya, Sabtu (2/10) malam.
Herman sendiri memiliki satu dapur arang yang terletak di depan rumahnya. Kapasitasnya sekitar 1,4 ton.
Menurutnya, dapur arang miliknya masuk dalam kategori kecil. Menginggat, tidak sedikit masyarakat yang memiliki dapur arang berkapasitas lebih besar dari dapur miliknya. Yakni berkapasitas antara 4-8 ton.
“Saya punya satu. Kapasitas 1,4 ton. Dibanding milik warga lainnya, dapur saya ini tergolong kecil,” katanya.
Dari 1,4 ton batu arang yang dihasilkan, Herman mengaku mendapatkan keuntungan kurang lebih Rp1 juta rupiah perbulan. Tentu angka tersebut sudah dipotong untuk biaya operasional, termasuk pembelian bahan baku.
“Keuntungannya sekitar Rp 1 juta saja. Jika dihitung-hitung hanya cukup untuk makan. Kecuali mereka yang punya dapur kapasitas yang besar dan lebih dari satu dapur,” akunya.
Untuk produksi batu arang, Herman mengaku menggunakan pohon bakau berdiameter besar. Yakni antara 15-25 cm. Bahan baku tersebut ia beli dari warga yang memang kesehariannya sebagai penebang pohon bakau.
“Untuk bahan baku saya pesan. Memang ada orang yang spesialisnya menebang pohon bakau,” kata dia.
Dalam satu kali produksi batu arang, setidaknya membutuhkan waktu kurang lebih 25 hari hingga 40 hari. Tergantung kapasitas dapur. Jika dapur berkapasitas kecil, waktu yang dibutuhkan antara 25 hingga 30 hari, terdiri dari proses pembakaran dan pendinginan.
“Lama produksinya bervariasi. Tergantung besar kecilnya dapur. Ada yang 25-30 hari, ada juga yang sampai 40 hari,” jelasnya.
Herman mengatakan, produksi arang bakau di Desa Batu Ampar memiliki sejarah pajang. Bahkan, kata Herman, produksi ini sudah ada sejak tahun 1950 an. Menurutnya, produksi arang bakau juga telah menopang perekonomian masyarakat Batu Ampar sejak lama.
“Yang tidak punya dapur, mereka menjadi pekerja. Upah mereka antara Rp75.000-Rp100.000/hari,” terangnya.
Namun, kata Herman, kondisi saat jauh berbeda. Masyarakat mulai khawatir melakukan produksi arang. Tidak sedikit dari mereka yang lebih memilih untuk menutup usahanya.
“Karena dianggap illegal. Akhirnya ada yang terpaksa berhenti. Mencari pendapatan alternative, seperti ternak madu kelulut dan lainnya,” kata dia.
“Padahal, usaha dapur arang di sini pernah mendapat izin dari pemerintah. Saya punya dokumennya. Dikeluarkan pada tahun 1958 oleh Dewan Pemerintah Daerah Kabupaten Pontianak,” sambung Herman sembari menunjukan dokumen yang dimaksud.
Namun demikian, dirinya sadar, status kawasan hutan mangrove yang ada di Desa Batu Ampar telah berubah menjadi kawasan Hutan Lindung.
“Kami tahu, kawasan itu sekarang hutan lindung. Tapi tidak semua masuk kawasan. Buktinya ada perusahaan yang diberikan izin di sana,” katanya.
Ia berharap, pemerintah bisa mengakomodir keingginan masyarakat Desa Batu Ampar untuk mempermudah perizinan produksi arang bakau dan pemanfaatan hutan mangrove yang ada.
“Kalau pun kami dituntut untuk membuat izin, kami siap. Tapi syaratnya jangan seperti membuat perusahaan. Kami hanya masyarakat kecil. Jangan sampai kami dianggap pencuri di daerah kami sendiri, dan harus berhadapan dengan penegak hukum,” bebernya.
Program Rehabilitasi Mangrove
Hermansyah sadar, pemanfaatan mangrove sebagai bahan baku industri arang yang serampangan, berdampak pada kerusakan hutan. Masyarakat mulai kehilangan pohon-pohon mangrove, sebagai salah satu sumber kehidupan mereka.
Bersama puluhan warga Desa Batu Ampar, yang tergabung dalam Lembaga Pengelolaan Hutan Desa (LPHD) Batu Ampar, ia berusaha mengubah kesadaran masyarakat di sana.
Melalui program rehabilitasi mangrove dari Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BGRM), masyarakat terlibat dalam proses pembibitan hingga penanaman.
Hari itu, Hermasyah bersama anggota LPHD Batu Ampar terlihat sibuk menyiapkan bronjong (pelindung tanam) dan bibit mangrove dari lokasi pembibitan yang tak jauh dari rumahnya, di Dusun Sungai Limau, Desa Batu Ampar.
Satu persatu bibit mangrove itu dipindahkan ke perahu motor untuk diangkut ke lokasi penanaman yang terletak di seberang desa.
Untuk tiba ke lokasi penanam, hanya bisa dilakukan menggunakan transportasi air. Maklum saja, wilayah ini sebagian besar terdiri dari perairan, baik sungai maupun laut.
Pontianak Post ikut serta di dalam perahu tersebut. Menuju lokasi penanaman. Kami pun berangkat menuju lokasi penanaman yang sebelumnya sudah ditentukan. Lokasinya berada di dalam kawasan hutan mangrove di desa itu. Setelah kurang lebih setengah jam menyeberangi sungai besar dengan lebar kurang lebih 1 kilometer, perahu motor yang kami tumpangi pun masuk menyusuri sungai-sungai kecil di antara rimbunan pohon mangrove.
Tak lama kemudian, kami pun tiba di lokasi penanaman. Berupa lahan terbuka di tengah rimbunan pohon mangrove.
Setelah tiba di lokasi, satu persatu bibit mangrove dan bronjong diturunkan dari perahu motor. Warga pun mulai melakukan penanaman.
Menurut Hermansyah, lokasi ini sengaja dipilih karena sebagian besar tanaman mangrove yang ada ditebang. Kayunya digunakan sebagai bahan baku pembuatan batu arang.
“Lokasi ini kami pilih karena kawasannya sudah terbuka. Sehingga, mangrove yang ada sedikit kesulitan untuk suksesi,” kata Hermasyah.
Program rehabilitasi mangrove merupkan respon kebijakan pemerintah dalam upaya mempercepat pemulihan ekosistem mangrove yang rusak.
Desa Batu Ampar merupupakan satu dari empat desa di Kecamatan Batu Ampar yang mendapatkan kucuran dana dalam program rehabilitasi mangrove, sebesar Rp290.395.000, dengan luas sekitar 35 hektare.
Sebelumnya Kepala Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) Hartono mengatakan, kerusakan hutan mangrove terjadi di sejumlah wilayah pesisir. Saat ini, ada sedikitnya 6.570 hektare kawasan mangrove di Kalbar yang mendesak untuk direhabilitasi.
“Kalbar ada 6.570 hektare kawasan mangrove yang segera akan kita rehabilitasi pada tahun ini,” ungkap Hartono saat mengunjungi Mempawah Mangrove Park, di Desa Pasir, Kabupaten Mempawah, 12 April 2021.
Menurut Hartono, Presiden Joko Widodo telah sudah mencanangkan dalam empat tahun ke depan, harus ada percepatan rehabilitasi mangrove di seluruh Indonesia, termasuk di Kalimantan Barat.
“Di Kalbar, lokasi rehabilitas mangrove tersebut berada di lima kabupaten, yakni pesisir Kubu Raya, Mempawah, Sambas, Kayong Utara dan Ketapang,” ujar Hartono.
Namun, lanjut Hartono, setelah diidentifikasi tidak semua hutan mangrove bisa dilakukan rehabilitasi dalam waktu dekat ini. Mengingat, ada areal-areal yang sensitif terhadap abrasi laut yang mendesak untuk ditanami, namun penghalang atau pemecah ombak tidak dibangun.
“Jadi berapa pun mangrove yang ditanam akan sia-sia,” kata dia.
Selain itu, kata Haryono, pihaknya akan melakukan evaluasi, apakah lokasi yang sudah teridentifikasi tersebut akan dilakukan penanaman sekarang atau diundur hingga dua tahun setelah bangunan pemecah ombak dibuat.
“Yang sudah teridentifikasi ada 31 kawasan, namun luasannya kecil-kecil. Luasannya ada yang 15 sampai 20 hektare,” terangnya.
Dikatakan Hartono, tujuan rehabilitasi mangrove, bukan sekadar soal isu lingkungan, tetapi juga bagian dari pemulihan ekonomi nasional. Yang pertama ada timbal balik kepada masyarakat.
Selain itu, mangrove yang sudah terehabilitasi bisa dilanjutkan menjadi tempat wisata seperti Mempawah Mangrove Park di Mempawah. Kemudian, mangrove juga menghasilkan hasil hutan bukan kayu, seperti sirup, madu dan lain-lain.
“Dengan merehab mangrove sebetulnya menganjurkan mengelola lingkungan lebih baik,” pungkasnya. (Arief Nugroho)