MELAWI – Sudah hampir sepekan banjir merendam sejumlah wilayah di Kabupaten Melawi. Bantuan logistik mulai disalurkan kepala warga yang terdampak, di antaranya di Dusun Teladan Jaya, Desa Sidomulyo, Kecamatan Nanga Pinoh dan Dusun Nyang I, Desa Suka Damai, Kecamatan Pinoh Utara, Kabupaten Melawi, Selasa (7/9) siang.
Bantuan disalurkan oleh tim relawan gabungan Rumah Zakat Kalbar dan PMI Kabupaten Melawi. Dengan menggunakan dua kapal motor tambang dan sebuah perahu karet milik FAJI Kalimantan Barat, bantuan paket logistik berupa beras dan alat-alat mandi disalurkan langsung kepada warga terdampak banjir. Setidaknya ada 90 paket bantuan yang disalurkan hari ini.
Sempitnya akses menuju ke pemukiman warga membuat para relawan tidak segan-segan menceburkan diri ke air sembari membawa paket bantuan dan menyerahkannya langsung kepada warga. Salah satunya Linda Purnama Sari, relawan PMI Kabupaten Melawi. Perempuan 21 tahun ini dengan berani berenang mengantarkan paket bantuan tersebut.

Ketua PMI Kebupaten Melawi Nurbetty Eka Mulyastri mengatakan, dua daerah ini merupakan daerah paling terdampak karena berada di bantaran sungai. Selain itu, kata Nurbetty, wilayah tersebut mudah dijangkau.
“Daerah itu memang paling parah terdampak banjir. Selain itu juga belum tersentuh bantuan,” kata Nurbetty Eka Mulyastri kepada Pontianak Post, kemarin.
Berdasarkan data yang dihimpun PMI, hampir seluruh kecamatan di Kabupaten Melawi terdampak banjir. Setidaknya ada 47 desa dari enam kecamatan. “Data ini sudah kami sikronkan dengan data BPB. Hampir seluruh Kecamatan di Melawi terdampak banjir. Hanya Kecamatan Belimbing, Pinoh Selatan dan Kecamatan Sayan yang tidak berdampak banjir,” bebernya.
Krisis Iklim
Bencana ekologis banjir yang melanda Melawi dan sejumlah wilayah di Kalimantan Barat saat ini mengonfirmasi terjadinya krisis iklim yang ditandai dengan kondisi cuaca yang ekstrem. Hal itu diungkapkan Ketua Divisi Kajian dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalbar, Hendrikus Adam.
Menurut Adam, kondisi curah hujan dengan intensitasnya yang tinggi belakangan hanyalah pemantik dari bencana yang terjadi. Lebih dari itu, kata Adam, bencana ini terulang karena kondisi kawasan penyangga sekitar daerah aliran sungai selama ini rusak, sehingga kehilangan kemampuan daya dukung maupun daya tampung lingkungan.
Ia juga menyebutkan, praktik ekstraksi atas sumber daya alam yang berlangsung sejak lama melalui izin korporasi maupun praktik perusakan lingkungan menjadikan bentang alam sebagai penyangga kawasan mengalami degradasi.
Sekalipun saat ini ada kebijakan moratorium izin sektor perkebunan, namun pada praktiknya ekstraksi sumberdaya alam yang memanfaatkan bentang hutan/lahan untuk perluasan usaha ekstraktif di lapangan masih dapat terjadi. Praktik eksploitasi atas sumberdaya alam yang merusak dinilai harus dihentikan karena risiko ancaman bagi keselamatan rakyat dan lingkungan hidup sebagaimana terjadi saat ini.
“Evaluasi serius atas perizinan usaha berbasis hutan/lahan dan melakukan penindakan tegas atas pelanggaran terjadi di lapangan harusnya dapat dilakukan sejak lama,” katanya.
Untuk jangka pendek, menurutnya upaya penanganan bencana banjir yakni dengan evakuasi korban dan memberikan bantuan. Untuk itu harus dipastikan negara hadir. Selain itu, langkah antisipasi melalui deteksi dini juga penting dilakukan.
“Bencana ekologis yang terjadi ditandai dengan anomali cuaca ekstrem akibat krisis iklim pada sisi lain juga berdampak pada masyarakat adat di komunitas yang belum dapat melanjutkan penanaman ladang karena hujan yang belakangan terus terus terjadi,” pungkasnya. (arf)