*Bentuk Kelembagaan Petani Swadaya untuk Pembangunan Berkelanjutan
Mempertahankan hutan adat warisan leluhur. Membuka lahan tanpa membakar. Membentuk kelembagaan petani. Hal inilah yang dilakukan masyarakat Desa Mondi yang mayoritasnya adalah petani sawit swadaya dalam menerapkan praktik baik berkelanjutan.
SITI SULBIYAH, Sekadau Hulu
Balai desa itu tampak dihadiri puluhan warga, Kamis (4/8). Mereka yang hadir adalah kepala desa, tokoh adat, tokoh masyarakat, kepala dusun, perwakilan pemuda, dan elemen masyarakat Desa Mondi, Kecamatan Sekadau Hulu, Kabupaten Sekadau. Hari itu, mereka menggelar pertemuan guna membahas hasil identifikasi sosial dan spasial hutan masyarakat adat atau rimba yang ada di desa itu.
“Niat saya ini menjadi titik awal di mana ke depannya perlindungan hutan lebih baik,” harap Stefanus Ramli, Ketua Adat Desa Mondi.
Peserta yang hadir dalam pertemuan itu tampak aktif berdiskusi guna memetakan potensi sumber daya hutan, serta ancaman yang mungkin terjadi. Pertemuan ini adalah salah satu langkah dalam rangka merancang dan merumuskan strategi pemeliharaan, perlindungan dan restorasi hutan Stok Karbon Tinggi (SKT) dan kawasan Nilai Konservasi Tinggi (NKT) yang ada di desa itu.
Dalam mewujudkan hal tersebut, masyarakat mendapatkan pendampingan dari Serikat Petani Sawit Indonesia (SPKS). Tirza Pandelaki, Manager Sustainability dan NDPE Commitment SPKS mengatakan, pendampingan dilakukan dengan pendekatan SKT dan NKT yang disederhanakan untuk petani swadaya.
“Ini juga dikembangkan oleh High Carbon Stock dimana pendekatan ini sebagai sebuah deklarasi yang dilakukan oleh masyarakat, dalam melakukan perlindungan hutan,” ujarnya.
Dalam mengimplementasikan hal tersebut, SPKS menggunakan enam tahapan pendekatan yang semuanya melibatkan masyarakat desa. Keenam tahapan tersebut dimulai dari persiapan, sosialisasi dan peningkatan kesadaran, pemetaan sosial, menentukan Area of Interest (AOI), pemeriksaan lapangan dan identifikasi hutan SKT dan NKT, serta rencana pengelolaan dan pemantauan.
“Di Desa Mondi ini masih tahap keempat,” ucapnya.
Kepala Desa Mondi, Lukas Hitto mengatakan pihaknya bersama warga telah berupaya untuk melestarikan keberadaan hutan, sekaligus menjaga keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya. Masyarakat sepakat untuk tidak merambah area rimba dengan menanam sawit ataupun melakukan eksploitasi.
Namun, kesepakatan bersama tersebut diharapkan tak hanya menjadi aturan dalam bentuk lisan saja. “Tetapi harapan ke depan adalah rimba adat ini ada aturan yang nanti dibuat oleh masyarakat, persetujuan masyarakat, dan diakui oleh pemerintah,” kata Hitto.
Tanpa Bakar
Tak hanya mempertahankan hutan, komitmen terhadap No Deforestation, No Expansion on Peat and No Exploitation (NDPE) sedikit banyak dilakukan oleh petani swadaya di Desa Mondi dengan mengupayakan buka lahan tanpa bakar.
“Buka lahan secara manual saja, menggunakan parang atau sejenisnya. Kalau ada kayu yang besar penebangannya pake senso (chainsaw, red),” kata Mokeng (42), Petani Sawit Swadaya di desa itu.
Membuka lahan pun juga ada aturan adat atau budaya. Masyarakat setempat menyebutnya adat Boremah. “(Yaitu) budaya memanggil segala roh-roh nenek moyang,” tambanya lagi.
Ketua SPKS Sekadau, Bernadus Mohtar mengatakan rata-rata lahan yang digunakan oleh masyarakat untuk menanam sawit adalah bekas ladang. “Habis berladang, tanam sawit. Tidak juga dibakar,” ujarnya.
Manager Sustainability dan NDPE Commitment SPKS, Tirza Pandelaki, memandang upaya petani swadaya di Desa Mondi untuk menerapkan praktik sawit berkelanjutan patut mendapat apresiasi. Upaya untuk melindungi kawasan hutan misalnya, kata dia, menjadi bukti bahwa mereka mendukung usaha kelapa sawit berkelanjutan pada aspek lingkungan.
“Upaya ini juga menunjukkan komitmen terhadap NDPE telah dilakukan oleh masyarakat atau petani skala kecil,” tegasnya.
Pihaknya berharap upaya perlindungan yang dilakukan ini mendapatkan manfaat bagi masyarakat, mulai dari peningkatan akses pasar, serta beragam insentif yang bisa memberikan kesejahteraan kepada mereka.
Bentuk Kelompok Tani
Perkebunan sawit masuk ke desa Mondi sejak tahun 2006 lewat PT Agro Andalan. Seiring berjalannya waktu, muncul petani-petani swadaya di desa itu. Mereka mulai menanam sekitar tahun 2014.
“Sawit masuk ke sini sekitar tahun 2014. Kalau saya mulai menanam tahun 2015,” kata Mokeng.
Mokeng mengelola lahan sawit sekitar 3,6 hektare yang tersebar di tiga lokasi berbeda. Satu hektare kebunnya mampu menghasilkan sekitar dua ton TBS dalam sekali panen.
Mokeng menjual Tandan Buah Segar (TBS) ke tengkulak ataupun loading ramp. Di desanya, belum ada kelompok tani ataupun koperasi terbentuk. Sehingga tidak bisa bermitra dengan perusahaan. “Kalau dari harga (di loading ramp) selisih Rp200 per kg dengan yang ada di pabrik,” katanya.
Harga TBS menurutnya sempat anjlok saat larangan ekspor diberlakukan beberapa waktu yang lalu. Harganya bahkan sempat di bawah seribu per kg. Kondisi ini diperparah dengan kenaikan harga pupuk. Mokeng pun terpaksa membatasi pembeliannya.
“Dulu harga buah (TBS) sampai Rp3 ribu per kg. Masih bisa ambil 10-15 karung (pupuk). Sekarang harga pupuk naik, beli lima karung pun susah,” imbuhnya.
Kondisi harga saat ini diakuinya belum begitu baik. Harga TBS saat ini berada di sekitar Rp1.400 per kg. Idealnya, untuk menutupi ongkos produksi dan memberikan keuntungan pada petani, harga TBS setidaknya mesti di atas Rp2 ribu per kg.
Ketua BPD Desa Mondi, Hendrikus Acang mengatakan, desa ini baru saja mendirikan kelompok tani. Kelompok tani yang baru dibentuk Juli lalu itu diberi nama Petani Swadaya Lintas Koba. Acang didapuk sebagai ketua.
“Sebelumnya di sini memang tidak ada yang berkelompok. Nah, kelompok tani (Lintas Koba) ini masih belum resmi dan sedang dalam tahap penyesuaian,” ucapnya.
Rencananya, kelompok Petani Swadaya Lintas Koba ini akan bermitra langsung dengan perusahaan. Harapannya, penjualan TBS dapat sesuai dengan harga yang ditetapkan oleh pemerintah. Selama ini, harga jual ke tengkulak lebih rendah dibandingkan dengan harga yang dijual langsung ke pabrik.
Acang mengakui petani swadaya saat ini menghadapi berbagai kendala. Mulai dari pupuk yang mahal hingga harga TBS yang anjlok seperti yang terjadi saat ini. Kenaikan harga pupuk menurutnya paling membuat ongkos membengkak.
“Kalau pupuk non subsidi biasanya yang kita pakai pupuk mutiara satu karungnya dulu sebelum naik Rp550 ribu, sekarang menjadi Rp850 ribu bahkan sampai Rp900 ribu,” katanya.
Ketua SPKS Sekadau Bernadus Mohtar menilai produktivitas buah petani swadaya di desa ini masih rendah. Rendahnya produktivitas sawit kemungkinan dikarenakan pemilihan bibit yang kurang berkualitas dan tidak jelas asal usulnya. Selama ini, petani di sana menanam sawit secara otodidak tanpa mengetahui cara bertanam yang benar.
“Mereka melihat teman, lalu mereka tanam sawit. Pemilihan bibit tidak jelas, tidak pakai bibit unggul. Juga dari segi perawatannya yang kurang. Kalau hanya menanam saja, produktivitas pasti rendah,” ucapnya.
Tahun ini, SPKS memberikan pendampingan dan pembinaan kepada para petani swadaya di Desa Mondi. Pembinaan yang dilakukan yakni melatih petani dalam menerapkan praktik baik dalam bercocok tanam, mulai dari pemilihan bibit dan pupuk yang berkualitas, sampai cara perawatan dari tahap awal sampai tanaman berbuah. Pihaknya juga mendampingi terbentuknya kelembagaan petani.
Dengan membentuk kelembagaan, petani swadaya bisa memiliki posisi tawar yang seimbang. Kemitraan dengan perusahaan, bakal membuat petani swadaya mendapatkan harga TBS yang layak karena telah dilindungi dan diatur melalui Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 01/Permentan/KB.120/I/2018 tentang Pedoman Penetapan Harga Pembelian Tandan Buah Segar Kelapa Sawit Produksi Pekebun.
“Harapan kita, saat sudah terbentuk, perusahaan sekitar agar segera bermitra. Jadi petani tidak perlu menjual lagi melalui tengkulak. Dan petani mendapatkan harga yang baik,” pungkasnya.
Agus Sutomo, Direktur Eksekutif Teraju Indonesia menilai, kemitraan yang ideal antara perusahaan dan petani swadaya adalah kemitraan yang saling menguntungkan. Kemitraan yang terjalin tidak hanya sebatas memberikan kepastian TBS petani terserap perusahaan. Pembinaan, training, dan bantuan juga perlu difasilitasi dari perusahaan untuk petani swadaya. “Termasuk penyediaan bibit untuk petani harus difasilitasi perusahaan,” ucapnya.
Belum Miliki STD-B
Surat Tanda Daftar Usaha Perkebunan untuk Budidaya (STD-B) sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 98/Permentan/OT.140/9/2013 merupakan keterangan budidaya yang diberikan kepada Pekebun. STD-B digunakan sebagai dasar untuk mengetahui luasan dan ketelusuran terkait keberadaan kebun mandiri milik pekebun. Namun, belum banyak petani swadaya yang mengetahui hal tersebut.
“Belum pernah (dibuat) dulu pernah dari lembaga yang mau mau membantu dalam mengurus STD-B tapi sampai saat ini nggak ada kabarnya lagi,” kata Acang.
Kepala Dinas Perkebunan dan Peternakan Kalimantan Barat, Muhammad Munsif mengakui salah satu tantangan dalam pengelolaan petani swadaya adalah penerbitan STD-B. Pihaknya mendorong dinas terkait di kabupaten/kota untuk melakukan pendampingan ke petani swadaya dengan merekrut tenaga pendamping.
“Tanggung jawab ada di kabupaten kota. Dinas kabupaten/kota terkait perlu merekrut tenaga pendamping yang memberikan pendampingan kepada petani swadaya. Baik itu tenaga pendamping yang dibiayai oleh negara, maupun yang dibiayai dari kolaborasi pemkab dengan perusahaan,” katanya.
Registrasi kelapa sawit rakyat swadaya melalui STD-B akan memberikan gambaran bagi pemerintah terkait kepemilikan. Antara lain status lahan dan pengelolaan perkebunan oleh petani swadaya, yaitu mereka yang membudidayakan sawit secara mandiri dengan luasan di bawah 25 hektare dan tidak terafiliasi dengan program plasma maupun kemitraan kebun perusahaan.
Agus Sutomo menilai peran pemerintah daerah dalam penerbitan STD-B sangatlah besar. Sebab, petani swadaya tidak memiliki kemampuan untuk melakukan pemetaan terhadap lahannya.
“Nah ini bagaimana sebenarnya pemerintah daerah maupun perusahaan bisa menyiasatinya agar petani swadaya ini memiliki STD-B. Peran perusahaan menjadi penting dan stakeholder yang lain, termasuk kawan-kawan NGO yang konsen dengan hal ini,” ujarnya.
Buat Kesepakatan
April 2022 yang lalu, sejumlah PKS di Kabupaten Sekadau menandatangani kesepakatan sebagai komitmen untuk mengimplementasikan aturan tata niaga sawit. Wakil Bupati Sekadau, Subandrio yang hadir dalam kesempatan itu mengatakan, kesepakatan tersebut dilakukan untuk memperkuat kemitraan antara PKS dengan lembaga atau kelompok pekebun.
“Kalau PKS-PKS ini berjalan sesuai dengan kesepakatan ini, maka tata niaga yang diharapkan bisa terjadi,” ucap Subandrio, dalam Rapat Koordinasi Tata Niaga Tandan Buah Segar Kelapa Sawit Dalam mendukung Rencana Aksi Daerah Pembangunan Kelapa Sawit Berkelanjutan, di Pontianak, April lalu.
Adapun PKS yang ikut dalam kesepakatan tersebut adalah milik PT KSP, PT RAM, PT PHS, PT MIP, PT SML, PT GUM, PT TBSM, dan PT Agro Andalan. Kesepakatan ini, menurutnya juga untuk menciptakan persaingan sehat antar sesama PKS, serta memutus rantai pasok buah yang cukup panjang.
Subandrio menilai, salah satu permasalahan tata niaga sawit di Kabupaten Sekadau adalah kehadiran loading ramp. Loading ramp adalah atau tempat penampungan sementara TBS. Kehadirannya dianggap merugikan tata niaga sawit karena membuat sistem pemasaran menjadi tidak terkontrol dan TBS yang dijual ke PKS tidak jelas sumbernya.
Menurutnya, loading ramp hanya dapat dihentikan apabila PKS berkomitmen membeli TBS hanya lewat kelembagaan pekebun atau kelompok pekebun yang telah menjadi mitra mereka, sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 01/Permentan/KB.120/I/2018.
“PKS yang membeli buah ini yang kita tekankan. Sebab yang bisa merusak ini kalau mengambil TBS dari petani mandiri yang tidak jelas asal-usulnya,” ucapnya.
Di Kalimantan Barat, Permentan Nomor 01/Permentan/KB.120/I/2018 ditegaskan melalui Peraturan Gubernur Kalimantan Barat Nomor 63 Tahun 2018 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penetapan Indeks K dan Pembelian Tandan Buah Segar Kelapa Sawit Produksi Pekebun Kalimantan Barat.
Dalam aturan disebutkan bahwa pembelian TBS petani kelapa sawit dilakukan secara langsung oleh PKS melalui kelembagaan pekebun atau kelompok pekebun, dan tidak dibenarkan diluar kelembagaan pekebun atau kelompok pekebun, dengan mengikuti harga yang telah ditetapkan oleh Tim Penetapan Harga TBS Kalimantan Barat.
Anggota DPRD Kabupaten Sekadau, Yodi Setiawan mendorong kemitraan yang tetap antara petani swadaya dan PKS. Dengan begitu, tidak ada kekhawatiran petani swadaya menjual hasil panennya.
Selama ini, kata dia, yang dikhawatirkan petani swadaya adalah hasil panennya tak terserap oleh pabrik. Saat larangan ekspor diberlakukan beberapa waktu yang lalu misalnya, PKS hanya mengambil TBS dari konsesinya saja. Petani swadaya yang tak bermitra pun menjadi korban.
“Agar ada ikatan tetap antara swadaya dan PKS, maka perlu adanya kemitraan. Sehingga ada hitam di atas putih,” imbuh Politisi Partai Gerindra itu. ** (Liputan ini berkolaborasi dengan Mongabay Indonesia)