23.9 C
Pontianak
Monday, June 5, 2023

Asa Penyintas Kusta Liposos Singkawang

*Tidak Hanya Bertani, Mereka juga Perajin Ecoprint

Para penyintas kusta yang kini menetap di Liposos Pakunam menolak untuk menyerah dengan keadaan. Mereka memilih hidup mandiri dengan mengelola lahan pertanian. Mereka juga bergotong-royong mengembangkan kerajinan ecoprint.

SITI SULBIYAH, Singkawang

Dengan sedikit terpincang, Bakri (56) mendatangi ruang pertemuan Panti Lepra Alverno Liposos Pakunam. Di siang hari yang terik itu, ia datang untuk membantu para perajin kain ecoprint yang sedang memberikan bimbingan kepada anggota Komunitas Craftulistiwa. Hari itu, komunitas kerajinan tangan tersebut datang untuk belajar teknik ecoprint dengan para perajin yang ada di sana.

Liposos Pakunam berlokasi di Kelurahan Pasiran, Kecamatan Singkawang Barat, Kota Singkawang. Sebagian warga di wilayah ini dihuni oleh para penyintas kusta dari beberapa daerah. Bakri sendiri dulunya merupakan warga Kabupaten Mempawah. Namun sekitar tahun 2011, ia memutuskan menetap di kawasan tersebut setelah sebelumnya dirawat di RS Kusta Alverno Singkawang.

Bakri adalah penyintas kusta yang kini menetap di Liposos Pakunam. “Kena kusta tahun 1987,” kata Bakri, kepada Pontianak Post, pekan lalu.

Minimnya pengetahuan membuat pengobatan terhadap penyakit itu menjadi terlambat. Ketika Bakri dibawa ke RS Kusta Alverno Singkawang, kondisinya sudah parah.

Kini, meski telah sembuh, kondisi fisiknya tak lagi seperti sedia kala. Ia mengalami kecacatan fisik. Ujung-ujung jari tangannya melengkung. Tak hanya itu, lelaki paruh baya ini juga harus kehilangan satu kakinya. Infeksi parah yang menyerang kaki kanan, membuat tindakan amputasi harus dilakukan.

“Sekarang pakai kaki palsu. Kaki palsunya ada dua, pakainya ganti-ganti,” kata Bakri.

Keterbatasan fisik tidak membuat Bakri lantas berputus asa. Ia tetap bekerja. Di lahan yang oleh pemerintah diberikan dengan sistem pinjam pakai tersebut, ia bercocok tanam. “Ada tanam jagung, ubi kayu, sayur-sayuran,” ucapnya.

Serupa Bakri, Aluan (43) juga mengalami cacat fisik setelah bakteri penyebab kusta menyebar ke jari-jemari tangannya. Kini, jari-jari di kedua tangan wanita yang menetap di Liposos Pakunam itu tampak kaku dan bengkok. Kedua tangannya tak lagi bisa menggenggam.

“Umur tujuh tahun sudah mulai bengkok tangan saya,” ucap Aluan.

Sempat mencoba berobat dengan berbagai cara, kondisi Aluan kala itu justru semakin parah. Akibatnya, baru sekitar umur 16 tahun, kondisi tangannya sudah cacat. Wanita asal Kota Pontianak ini akhirnya dirawat RS Kusta Alverno Singkawang. Setelah menjalani pengobatan sekitar enam bulan, ia pun dinyatakan bebas dari kusta.

Baca Juga :  Kaum Lansia Mulai Divaksin

“Umur 17 tahun (saya) menikah. Suami juga dulu kena kusta tapi tidak sampai cacat,” ujarnya.

Meski memiliki keterbatasan, Aluan tetap bekerja. Sehari-hari ia menggarap lahan yang ada di wilayah itu untuk menanam aneka sayuran. “Bisa (menanam), bisa cabut rumput juga,” imbuh ibu empat anak ini.

Bakri dan Aluan kini betah tinggal di Liposos Pakunam bersama sejumlah penyintas kusta lainnya. Keterbatasan fisik tidak menghalangi mereka untuk mandiri dan berdaya. Selain berkebun, mereka juga mengandalkan penjualan kain ecoprint sebagai penopang hidup.

Menurut Rabuli, Ketua Kelompok Penyintas Kusta Liposos Pakunam, sebagian penyintas kusta bergabung dalam wadah kolaboratif Ruang Terampil. Wadah ini menjadi pusat pemberdayaan yang mana mereka bisa menghasilkan kerajinan berupa kain ecoprint. Saat ini kerajinan tersebut menjadi salah satu sumber penghasilan warga di sana.

“Mereka di sini sebagian besar bercocok tanam. Ada yang bertanam jagung, kacang tanah, dan sayur-sayuran. Selain itu, ada juga yang penghasilannya dari ecoprint,” katanya.

Para penyintas kusta pada tahun 2019 mendapatkan pembinaan dari Kampung Berseri Astra melalui Sepatokimin Initiative, sebuah wadah inisiatif pemberdayaan komunitas marginal di Indonesia. Program ini mendampingi warga untuk menghasilkan kerajinan berupa kain ecoprint.

“Belajar (ecoprint) ini tahun 2019. Waktu itu pengajarnya dari Bandung,” kata Kusima, salah seorang perajin.

Ecoprint adalah teknik mencetak pada kain dengan menggunakan pewarna alami, seperti dedaunan, bunga, atau bagian tanaman lainnya, yang memiliki corak dan warna khas. Kini teknik tersebut mampu diimplementasikan oleh warga Liposos Pakunam untuk menghasilkan kain dengan motif dan warna yang unik. Perajin di Liposos sendiri mencetak kain ecoprint dengan memanfaatkan aneka daun yang tumbuh di sekitar daerah itu.

“Untuk daunnya, kami di sini ada daun lanang, kenikir, jarak, Eucalyptus, dan jati,” ungkapnya.

Kusima mengatakan, kain yang biasa ia gunakan adalah katun dan kanva. Kain tersebut dikirim dari mitra mereka yang ada di Bandung. Sementara peralatan yang mereka butuhkan seperti kompor dan pengukus merupakan bantuan dari program.

Baca Juga :  Wali Kota Singkawang Positif Covid-19

Di ruang pertemuan Panti Lepra Alverno Liposos Pakunam itulah para perajin memproduksi kain ecoprint. Saat ini ada sekitar sembilan kepala keluarga yang terlibat dalam usaha ini. Kain yang diproduksi jumlahnya tidak tentu karena tergantung pesanan dari dari mitra mereka yang ada di Bandung. Kerja sama dengan mitra menerapkan sistem upah.

“Kita dibayar upah karena kainnya dikirim dari sana. Upahnya per kain,” ucapnya.

Tidak ada kendala yang begitu besar dihadapi oleh perajin. Hanya saja, menurut Kusima, keterbatasan fisik seperti cacat pada jari tangan, membuat perajin agak terhambat ketika membuat kain ecoprint.

Sementara itu, berbagai pihak mendorong agar kerajinan ecoprint yang dihasilkan oleh perajin Liposos Pakunam dikembangkan lebih jauh agar memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi. Namun saat ini, mereka terkendala waktu dan kekurangan sumber daya manusia.

“Kendala kami adalah kesibukan kami masing-masing. Belum ada yang bisa fokus. Mayoritas adalah petani dan itu yang menjadi pekerjaan utama,” kata Jumat, salah satu tokoh pemuda di Liposos Pakunam.

Pegiat kerajinan tangan, Uli menilai produk ecoprint memiliki beragam keunikan. Warna yang berasal dari bahan alami dan motifnya yang khas menjadi keunggulan dari produk ecoprint. Karena itulah, pangsa pasar kerajinan yang dihasilkan memiliki segmennya sendiri.

Selain kain, menurutnya ada banyak produk turunan yang bisa dibuat untuk memberi nilai tambah dari kain ecoprint.  “Bisa baju, tas, home decor, kerudung, sarung bantal, jadi turunannya sangat banyak,” ucapnya.

Sekretaris Craftulistiwa ini meyakini produk ecoprint yang dihasilkan oleh para perajin di Liposos Pakunam berpotensi untuk dikembangkan lebih jauh. Namun, kata dia, para perajin mengalami kesulitan untuk pengembangan lebih lanjut dikarenakan kondisi fisik mereka yang mengalami cacat, dampak dari penyakit kusta yang mereka alami dulu.

“Mereka terbatas dalam melakukan aktivitas. Jari tangan mereka tidak bisa maksimal bergerak. Namun ini sebenarnya bisa menjadi peluang yang lain untuk membantu mengembangkan,” ucapnya.

Di sisi lain, penjualan produk ecoprint harus diiringi dengan edukasi kepada konsumen. Edukasi ini perlu dilakukan agar perawatan produk ini dilakukan dengan tepat. Sebab, perlakuan terhadap produk ini akan sangat berpengaruh dengan keawetannya. **

*Tidak Hanya Bertani, Mereka juga Perajin Ecoprint

Para penyintas kusta yang kini menetap di Liposos Pakunam menolak untuk menyerah dengan keadaan. Mereka memilih hidup mandiri dengan mengelola lahan pertanian. Mereka juga bergotong-royong mengembangkan kerajinan ecoprint.

SITI SULBIYAH, Singkawang

Dengan sedikit terpincang, Bakri (56) mendatangi ruang pertemuan Panti Lepra Alverno Liposos Pakunam. Di siang hari yang terik itu, ia datang untuk membantu para perajin kain ecoprint yang sedang memberikan bimbingan kepada anggota Komunitas Craftulistiwa. Hari itu, komunitas kerajinan tangan tersebut datang untuk belajar teknik ecoprint dengan para perajin yang ada di sana.

Liposos Pakunam berlokasi di Kelurahan Pasiran, Kecamatan Singkawang Barat, Kota Singkawang. Sebagian warga di wilayah ini dihuni oleh para penyintas kusta dari beberapa daerah. Bakri sendiri dulunya merupakan warga Kabupaten Mempawah. Namun sekitar tahun 2011, ia memutuskan menetap di kawasan tersebut setelah sebelumnya dirawat di RS Kusta Alverno Singkawang.

Bakri adalah penyintas kusta yang kini menetap di Liposos Pakunam. “Kena kusta tahun 1987,” kata Bakri, kepada Pontianak Post, pekan lalu.

Minimnya pengetahuan membuat pengobatan terhadap penyakit itu menjadi terlambat. Ketika Bakri dibawa ke RS Kusta Alverno Singkawang, kondisinya sudah parah.

Kini, meski telah sembuh, kondisi fisiknya tak lagi seperti sedia kala. Ia mengalami kecacatan fisik. Ujung-ujung jari tangannya melengkung. Tak hanya itu, lelaki paruh baya ini juga harus kehilangan satu kakinya. Infeksi parah yang menyerang kaki kanan, membuat tindakan amputasi harus dilakukan.

“Sekarang pakai kaki palsu. Kaki palsunya ada dua, pakainya ganti-ganti,” kata Bakri.

Keterbatasan fisik tidak membuat Bakri lantas berputus asa. Ia tetap bekerja. Di lahan yang oleh pemerintah diberikan dengan sistem pinjam pakai tersebut, ia bercocok tanam. “Ada tanam jagung, ubi kayu, sayur-sayuran,” ucapnya.

Serupa Bakri, Aluan (43) juga mengalami cacat fisik setelah bakteri penyebab kusta menyebar ke jari-jemari tangannya. Kini, jari-jari di kedua tangan wanita yang menetap di Liposos Pakunam itu tampak kaku dan bengkok. Kedua tangannya tak lagi bisa menggenggam.

“Umur tujuh tahun sudah mulai bengkok tangan saya,” ucap Aluan.

Sempat mencoba berobat dengan berbagai cara, kondisi Aluan kala itu justru semakin parah. Akibatnya, baru sekitar umur 16 tahun, kondisi tangannya sudah cacat. Wanita asal Kota Pontianak ini akhirnya dirawat RS Kusta Alverno Singkawang. Setelah menjalani pengobatan sekitar enam bulan, ia pun dinyatakan bebas dari kusta.

Baca Juga :  Bangkit Berdaya Melawan Stigma Melalui Produk Ecoprint

“Umur 17 tahun (saya) menikah. Suami juga dulu kena kusta tapi tidak sampai cacat,” ujarnya.

Meski memiliki keterbatasan, Aluan tetap bekerja. Sehari-hari ia menggarap lahan yang ada di wilayah itu untuk menanam aneka sayuran. “Bisa (menanam), bisa cabut rumput juga,” imbuh ibu empat anak ini.

Bakri dan Aluan kini betah tinggal di Liposos Pakunam bersama sejumlah penyintas kusta lainnya. Keterbatasan fisik tidak menghalangi mereka untuk mandiri dan berdaya. Selain berkebun, mereka juga mengandalkan penjualan kain ecoprint sebagai penopang hidup.

Menurut Rabuli, Ketua Kelompok Penyintas Kusta Liposos Pakunam, sebagian penyintas kusta bergabung dalam wadah kolaboratif Ruang Terampil. Wadah ini menjadi pusat pemberdayaan yang mana mereka bisa menghasilkan kerajinan berupa kain ecoprint. Saat ini kerajinan tersebut menjadi salah satu sumber penghasilan warga di sana.

“Mereka di sini sebagian besar bercocok tanam. Ada yang bertanam jagung, kacang tanah, dan sayur-sayuran. Selain itu, ada juga yang penghasilannya dari ecoprint,” katanya.

Para penyintas kusta pada tahun 2019 mendapatkan pembinaan dari Kampung Berseri Astra melalui Sepatokimin Initiative, sebuah wadah inisiatif pemberdayaan komunitas marginal di Indonesia. Program ini mendampingi warga untuk menghasilkan kerajinan berupa kain ecoprint.

“Belajar (ecoprint) ini tahun 2019. Waktu itu pengajarnya dari Bandung,” kata Kusima, salah seorang perajin.

Ecoprint adalah teknik mencetak pada kain dengan menggunakan pewarna alami, seperti dedaunan, bunga, atau bagian tanaman lainnya, yang memiliki corak dan warna khas. Kini teknik tersebut mampu diimplementasikan oleh warga Liposos Pakunam untuk menghasilkan kain dengan motif dan warna yang unik. Perajin di Liposos sendiri mencetak kain ecoprint dengan memanfaatkan aneka daun yang tumbuh di sekitar daerah itu.

“Untuk daunnya, kami di sini ada daun lanang, kenikir, jarak, Eucalyptus, dan jati,” ungkapnya.

Kusima mengatakan, kain yang biasa ia gunakan adalah katun dan kanva. Kain tersebut dikirim dari mitra mereka yang ada di Bandung. Sementara peralatan yang mereka butuhkan seperti kompor dan pengukus merupakan bantuan dari program.

Baca Juga :  Pengusaha Perempuan Binaan BRI, Dulang Untung dari Usaha Ecoprint

Di ruang pertemuan Panti Lepra Alverno Liposos Pakunam itulah para perajin memproduksi kain ecoprint. Saat ini ada sekitar sembilan kepala keluarga yang terlibat dalam usaha ini. Kain yang diproduksi jumlahnya tidak tentu karena tergantung pesanan dari dari mitra mereka yang ada di Bandung. Kerja sama dengan mitra menerapkan sistem upah.

“Kita dibayar upah karena kainnya dikirim dari sana. Upahnya per kain,” ucapnya.

Tidak ada kendala yang begitu besar dihadapi oleh perajin. Hanya saja, menurut Kusima, keterbatasan fisik seperti cacat pada jari tangan, membuat perajin agak terhambat ketika membuat kain ecoprint.

Sementara itu, berbagai pihak mendorong agar kerajinan ecoprint yang dihasilkan oleh perajin Liposos Pakunam dikembangkan lebih jauh agar memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi. Namun saat ini, mereka terkendala waktu dan kekurangan sumber daya manusia.

“Kendala kami adalah kesibukan kami masing-masing. Belum ada yang bisa fokus. Mayoritas adalah petani dan itu yang menjadi pekerjaan utama,” kata Jumat, salah satu tokoh pemuda di Liposos Pakunam.

Pegiat kerajinan tangan, Uli menilai produk ecoprint memiliki beragam keunikan. Warna yang berasal dari bahan alami dan motifnya yang khas menjadi keunggulan dari produk ecoprint. Karena itulah, pangsa pasar kerajinan yang dihasilkan memiliki segmennya sendiri.

Selain kain, menurutnya ada banyak produk turunan yang bisa dibuat untuk memberi nilai tambah dari kain ecoprint.  “Bisa baju, tas, home decor, kerudung, sarung bantal, jadi turunannya sangat banyak,” ucapnya.

Sekretaris Craftulistiwa ini meyakini produk ecoprint yang dihasilkan oleh para perajin di Liposos Pakunam berpotensi untuk dikembangkan lebih jauh. Namun, kata dia, para perajin mengalami kesulitan untuk pengembangan lebih lanjut dikarenakan kondisi fisik mereka yang mengalami cacat, dampak dari penyakit kusta yang mereka alami dulu.

“Mereka terbatas dalam melakukan aktivitas. Jari tangan mereka tidak bisa maksimal bergerak. Namun ini sebenarnya bisa menjadi peluang yang lain untuk membantu mengembangkan,” ucapnya.

Di sisi lain, penjualan produk ecoprint harus diiringi dengan edukasi kepada konsumen. Edukasi ini perlu dilakukan agar perawatan produk ini dilakukan dengan tepat. Sebab, perlakuan terhadap produk ini akan sangat berpengaruh dengan keawetannya. **

Most Read

Artikel Terbaru