SINGKAWANG – Gubernur Kalimantan Barat (Kalbar) Sutarmidji mengungkapkan, persoalan banjir di Kota Singkawang sudah cukup lama ia soroti. Terutama mengenai banyaknya permukiman di kawasan perbukitan, yang menyebabkan tutupan hutan di kawasan tersebut menjadi gundul. Ia meminta pemerintah kota (pemkot) menghentikan pemberian izin pembangunan di kawasan bukit.
“Bisa dibuka file pemberitaan, saya sudah dari awal (lama) bilang, jika dibiarkan permukiman di bukit-bukit, maka bukit itu akan gundul dan banjir akan melanda Singkawang. Karena apa, Singkawang ini dikelilingi bukit dan cekungan,” ungkapnya saat membuka Rapat Koordinasi (Rakor) Pelaksanaan Dekonsentrasi Tugas dan Wewenang Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat, Kamis (16/3).
Midji-sapaan karibnya menyarankan agar kalkulasi dalam pembangunan drainase dilakukan secara benar. Karena jika dilihat dari posisi wilayahnya, Kota Singkawang tidak begitu jauh dari muara, sebagai pembuangan akhir air ke laut.
“Coba hitung saja letak Singkawang ke laut itu tidak jauh, tapi tidak pernah ada kajian topografinya, padahal di Kodam ada data itu semua. Tinggal Pak Wali (Sumastro) cari saja, dan minta di sana, sehingga (pembangunan) drainase tidak salah,” sarannya.
Konektivitas antar-saluran mulai dari primer, sekunder, tersier, lanjut dia, harus diperhatikan. Terutama terkait ketinggian dari masing-masing saluran, sehingga aliran air tak terhambat. Secara sederhana, menurutnya saluran tersier harus lebih tinggi, kemudian saluran sekunder lebih rendah, dan saluran primer harus lebih rendah lagi.
“Ini (faktanya) tidak. Kadang (saluran) tersier di bawah sekunder, agak tinggi dan primer di bawah lagi, jadi saluran sekunder membatasi ruang saluran tersier ke primer. Padahal yang lebih penting itu saluran tersier karena rumah tangga tidak banjir pun setiap hari pasti ada air, limbah, dan lainnya,” papar dia.
Menurut Midji, kajian topografi di Kota Singkawang tidak pernah menjadi perhatian. Bahkan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) setempat tidak memiliki data tentang hasil kajian topografi wilayah.
“Jadi harus ada (kajian) itu dulu. Maka (kota) Pontianak itu, dulu setiap bulan 12 pasti tergenang. Sekarang jarang sekali, hanya sesekali saja, karena siklus. Itu dari sisi pembangunan,” ujarnya.
Di tempat yang sama, Penjabat (Pj) Wali Kota Singkawang Sumastro berharap, koordinasi yang baik antara pemprov dengan Pemkot Singkawang terus terjalin. Soalnya, banyak hal terkait dengan isu kewilayahan yang dinilai harus dicarikan solusi bersama. Salah satunya soal bencana banjir yang kondisinya semakin lama dinilai semakin parah.
“Bencana banjir (Singkawang) untuk ukuran kami cukup tinggi. Kami mencatat di Singkawang sepanjang 2022 evakuasi yang kami lakukan kepada kelompok masyarakat terdampak banjir sebanyak lima kali. Namun pada 2023 baru berjalan tiga bulan (Maret), sudah dua kali kami harus berhadapan dengan persoalan bencana banjir,” ungkapnya.
Sebagai upaya mencari solusi ke depan, pihaknya telah melaksanakan seminar regional kawasan untuk merumuskan berbagai kebijakan lintas kabupaten/kota. Kegiatan ini melibatkan Pemkot Singkawang, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bengkayang, Sambas, dan Mempawah (Singbebas Wah). Keempat wilayah ini membentuk kaukus pengembangan ekonomi dan saling bersinergi.
Sumastro berharap langkah itu bisa diperkuat dengan kebijakan gubernur atau pemprov. Seperti misalnya terkait persoalan air bersih, persampahan, serta limbah bahan berbahaya dan beracun (B3), yang dianggap cukup mendesak untuk dipikirkan bersama.
“Begitu juga mengenai isu infrastruktur kami sudah berupaya berkoordinasi sehingga hal yang berkaitan dengan pelayanan publik akan semakin baik,” harapnya.
Kementerian Tak Paham Tugas Gubernur
Mengenai rakor tersebut, Gubernur Sutarmidji menilai sebagian besar pemerintah daerah sudah memahami tugas gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Yang banyak tak paham menurutnya justru dari pihak kementerian.
“Kementerian-kementerian itu banyak yang tidak paham tugas gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Dia takut dengan anggota DPR RI dapil kita, makanya ketika datang ke sini dia hanya lapor ke DPR RI yang menjadi mitra dia, bukan kepada pemerintah daerah,” ucapnya.
Padahal, lanjut dia, ketika menteri berkunjung ke daerah maka itu menjadi tanggung jawab pemerintah provinsi. Apabila terjadi sesuatu hal, tetap yang bertanggung jawab adalah pemerintah daerah.
“Makanya kadang saya heran ada menteri berkunjung ke Kalbar tapi tidak memberitahu pemprov. Memberi tahu hanya untuk meminjam VIP (bandara). Harusnya dia berkunjung dalam rangka apa (kita tahu), ini Kemendagri harus mensosialisasikan kepada kementerian-kementerian,” pintanya.
Midji juga mengeluhkan ada kalanya pihak-pihak yang menjadi perpanjangan tangan kementerian di daerah ini juga tidak pernah mau berkoordinasi. Ia menyebutkan seperti balai jalan dan balai sungai.
“Itu karena tidak mengerti dengan tugas. Kenapa balai jalan ada di sini (daerah), kenapa balai sungai ada di sini, kan itu karena ada tanggung jawab mereka di sini. Kalau bicara banjir tidak mungkin tidak ada kaitan dengan tugas pokok dan fungsi pemerintah pusat,” ucapnya.
Selain itu, antarpihak juga ada yang namanya pembagian kerja sehingga semuanya harus bisa menjalankan tugas dengan baik, baru kemudian persoalan bisa diatasi secara keseluruhan. Jika tidak ada koordinasi, menurutnya pembangunan atau programnya tidak akan sejalan.
“Koordinasi tidak pernah. Kalau tidak dipanggil, tidak (koordinasi). Kayak suka-suka dia. Nggak bisa seperti itu. Sayangnya juga, orang di sini banyak yang tidak paham. Lalu, gubernur (dibilang) tidak boleh intervensi balai sungai, suruh belajar lagi itu. Ada anggota dewan bilang gubernur mencampuri masalah DAS Kapuas, gubernur itu wakil pemerintah pusat di daerah, apapun yang terjadi, mau itu urusan pusat, kabupaten/kota, provinsi, itu tanggung jawab gubernur, ini yang tidak dipahami pusat,” pungkasnya. (bar)