Hari ini menolong, mungkin besok yang akan ditolong. Begitu mereka meyakininya. Putus asa hingga bahagia tiada tara pernah dirasa beberapa anggota Komunitas Rhesus Negatif (RNI) Kalbar, para pemilik darah langka di dunia.
Syahriani Siregar, Pontianak
RITA Setianingsih terbaring lemah di tempat tidur rumah sakit dan sempat meregang nyawa. Ia mengalami pendarahan hebat pasca keguguran anak ketiga. Kejadian itu sudah 18 tahun berlalu namun masih terbayang jelas di ingatannya. Kala itu pertama kali ia mengetahui bahwa golongan darahnya rhesus negatif, yang langka di dunia.
Darah tak berhenti mengucur semalaman. Pembalut sudah tak mampu lagi menahan. Disekanya dengan handuk kecil berkali-kali, tempat tidur sudah berlumur darah. Sang suami segera melarikannya ke RS Antonius Pontianak.
Rita harus menerima kabar bahwa ia kehilangan janin yang sedang dikandungnya, kehamilan yang ternyata belum disadarinya. Rita lemas karena kekurangan banyak darah. Ternyata hemoglobin (Hb)-nya tercatat 6 g/dL dan butuh banyak tranfusi darah.
Rita diberi tahu bahwa golongan darahnya A rhesus negatif. Kaget bukan main. Seketika itu ia teringat akan kakak kandungnya yang pernah mengalami kecelakaan. Saat itu Rita masih duduk di bangku SD. Kakaknya yang baru lulus SMA memiliki golongan darah O negatif harus dioperasi dan butuh banyak darah. Sayang, karena sulit mendapatkan donor darah rhesus negatif, kakak Rita meninggal dunia. Rita takut hal serupa akan menimpa dirinya. Sedih dan cemas bercampur aduk.
“Waktu itu saya teringat kejadian yang menimpa kakak dan saya takut akan seperti itu. Saya pasrah dan sudah merasa akan mati saja,” kenang Rita.
Hb Rita semakin turun ke angka 3 g/dL dan belum mendapat donor darah sekantong pun. Rita tak sadarkan diri. Ia dipindahkan ke ruang ICU.
“Berdasarkan cerita keluarga, waktu itu saya sudah pucat dan kaku sekali. Kalau kata orang sini sudah seperti ‘gedebog pisang’. Tubuh saya juga sudah menolak untuk diinfus,” jelas perempuan 52 tahun ini.
Sekuat tenaga dilakukan keluarga untuk mencari darah di mana pun. Mulai dari PMI, kantor kejaksaan di seluruh Kalbar tempat suaminya bekerja, Sekolah Polisi Negara (SPN) hingga memasang pengumuman di Radio Suara Kejayaan FM Jakarta.
“Dengan izin Tuhan saya mendapat 4 kantong darah, 1 kantong dari kakak kandung, 1 kantong dari seorang ibu di Jakarta dan 2 kantong dari seorang Belanda di Sintang. Saya akhirnya melewati masa kritis,” ungkap perempuan kelahiran Tangerang, 28 Februari 1969.
Bagi orang Asia, rhesus negatif memang dikenal dengan sebutan ‘darah orang bule’ karena yang memiliki darah ini kebanyakan orang Eropa maupun Amerika. Dari penduduk dunia, 15 persen memiliki rhesus negatif, 14 persen dimiliki orang Eropa dan Amerika sementara hanya 1 persen dimiliki orang Asia.
Tujuh tahun berlalu, Rita ingin bersilaturahmi ke pendonornya yaitu seorang ibu yang ada di Jakarta. Namun ia hanya bertemu sang anak karena ibu tersebut telah meninggal dunia. Kemudian si anak memberitahukan keberadaan komunitas Rhesus Negatif Indonesia (RNI) di mana ibunya juga tergabung. Sejak saat itu Rita kenal dengan komunitas RNI (RNI Pusat) dan bergabung pada tahun 2011. Aktif di Facebook RNI https://www.facebook.com/rhesusnegatifindonesia/, Rita pun akhirnya mengenal Tet Lie, Koordinator Wilayah RNI Kalimantan Barat yang dibentuk pada tahun 2014.
Komunitas Rhesus Negatif Indonesia (RNI) https://www.rhesusnegatif.com/ merupakan komunitas non profit. Di Kalbar, RNI dikomandani oleh Tet Lie (40), komunitas ini aktif mengedukasi dan mendonorkan darahnya bagi mereka yang membutuhkan darah rhesus negatif di Pontianak maupun daerah lainnya.

Bermula karena kewalahan saat persiapan lahiran anak keduanya dengan operasi sesar. Dokter meminta Tet Lie mempersiapkan darah untuk istrinya. Sejak saat itu ia baru tahu bahwa golongan darah sang istri adalah O negatif. Ia mencari ke PMI namun tidak ada. Tet Lie semakin resah. Namun akhirnya dokter bisa mengatasi operasi tersebut tanpa tambahan donor darah. Tet Lie kembali lega.
“Dalam menunggu saya bingung, apa karena sakit? Istri saya Tionghoa tulen tapi kenapa berdarah bule? Jadi orang tua kandung istri saya siapa? Tidak mungkin hanya istri saya sendiri di dunia ini yang memiliki rhesus negatif? Intinya saya belum paham kenapa istri saya rhesusnya negatif?” kenangnya.
Banyak sekali pertanyaan yang berkecamuk dalam kepala Tet Lie, rasanya ingin segera dituntaskannya.
“Saya sudah seperti MLM, setiap ketemu orang saya tanya golongan darah dan rhesusnya karena penasaran,” ujar Tet Lie terkekeh.
Sadar akan langkanya golongan darah tersebut di Pontianak sementara istrinya bisa sewaktu-waktu butuh darah, Tet Lie mencari keberadaan para pemilik rhesus negatif lainnya lewat Facebook. Sampailah ia menemukan komunitas RNI yang kemudian bergabung dan berinisiatif untuk menjadi koordinator di wilayah Kalbar.
“Dari Facebook dan PMI saya ketemu satu-satu orang yang memiliki rhesus negatif di Kalbar. Hingga sekarang sudah ada sekitar 70 orang yang bergabung di komunitas,” jelas pria kelahiran Singkawang, 21 Januari 1981 ini.
Berbagai edukasi tentang rhesus negatif disampaikan Tet Lie ke komunitas dan masyarakat yang membutuhkan. Dari dahulu yang seorang diri sebar informasi lewat pamflet, kini sudah ada puluhan orang yang bergerak. Arus informasi juga sudah cepat dengan adanya media sosial. Tet Lie juga aktif memberi motivasi kepada para anggota untuk donor darah. Dari yang dulunya takut jarum suntik hingga kini berani dan antusias jadi pendonor.

“Tidak setiap hari ada permintaan darah rhesus negatif. Terakhir di pertengahan Desember dan sudah terpenuhi. Belakangan ini memang semakin banyak ketimbang dulu karena sudah terbantu dengan adanya media sosial dan broadcast pesan jadi banyak pintu informasinya,” lanjutnya.
Begitu ada permintaan donor darah yang masuk kepadanya, Tet Lie bertanya dulu kepada keluarga pasien mengenai sakit dan urgensinya. Begitu juga jika PMI menghubunginya.
“Kalau tidak terlalu urgen kami coba pendonor baru. Kalau sangat urgen saya langsung hubungi yang siaga bisa datang. Saya hafal para pendonor aktif karena harus disiapkan untuk hal terdesak. Golongan darah ini langka jadi harus ada antisipasi,” ungkap Tet Lie.
Kepada yang membutuhkan, Tet Lie selalu bilang tidak bisa menjanjikan seratus persen akan ada darah. Namun ia akan membantu semaksimal mungkin karena semua atas kuasa Tuhan. Ia hanya memfasilitasi dan menjadi penyambung kepada pendonor. Terkadang pendonor terkendala karena tidak memenuhi syarat setelah melakukan prosedur pemeriksaan seperti tekanan darah, hemoglobin dan lain sebagainya.
Diakuinya antusias anggota untuk mendonor sangat tinggi terutama yang ada di daerah, bahkan rela menempuh perjalanan darat beberapa jam agar bisa mendonorkan darahnya.
“Para pemilik anggota selalu berpikir kalau bukan sesama mereka yang menolong siapa lagi. Hari ini mereka menolong, mungkin suatu saat mereka akan ditolong,” sambung Tet Lie.

Ada kebahagiaan tersendiri bisa menolong orang lain bagi Tet Lie. “Nggak usah jauh-jauh, kalau kita ke PMI ada lihat yang murung mencari darah untuk keluarganya namun setelah mendapat darah senyumnya lebar, kita juga ikut bahagia,” ujarnya.
Hal senada dirasakan Aisyah (55), salah satu anggota RNI Kalbar yang sering mendonorkan darahnya. Perempuan berdarah Arab ini awalnya kaget bukan kepalang saat ia tahu memiliki darah rhesus negatif. Ia terheran-heran karena garis keturunannya ke atas sampai nenek moyangnya berdarah Arab.
Perempuan yang sudah aktif donor sejak usia 33 tahun ini justru baru tahu memiliki darah O negatif di tahun 2015. Rhesus negatif bisa mendonorkan darahnya kepada rhesus positif, namun tidak bisa sebaliknya. Karena langka, seorang rhesus negatif tidak dianjurkan untuk donor rutin karena antisipasi jika ada rhesus negatif lainnya yang benar-benar membutuhkan. Mengingat jarak sekali donor harus 2 bulan.

Salah satu kisah heroik Aisyah adalah kejadian di tahun 2017. Saat itu Aisyah sedang berjualan pakaian di Pasar Tengah. Ia tiba-tiba menerima telepon dari Tet Lie bahwa ada warga Sanggau yang sangat membutuhkan darah.
Tanpa pikir panjang ia segera menutup lapak pakaiannya. Karena tidak bisa mengendarai motor, Aisyah berinisiatif mencarter (menyewa) oplet di dekat tempatnya berjualan. Oplet berwarna abu-abu itu mengepot dengan cepat ke PMI Kota Pontianak. Akhirnya satu kantong darah berhasil didonorkannya untuk pasien di Sanggau. Foto oplet bersejarah itu pun diabadikannya kepada Tet Lie.
“Kebahagiaan yang tidak tahu bagaimana bisa saya jelaskan. Saya tidak bisa menolong orang dengan uang, maka saya menolong dengan darah saya,” ujar Aisyah tulus.
Perempuan kelahiran 5 Juli 1966 ini juga pernah mendonorkan darahnya untuk seorang bayi yang baru lahir dan memiliki kelainan jantung. Entah sudah berapa kali Aisyah mendonorkan darahnya karena ia sendiri pun tak menghitungnya.

Begitu juga dengan Rita. Setelah kejadian yang dialaminya, Rita sangat peduli jika ada yang membutuhkan darah rhesus negatif. Setelah anak-anaknya tumbuh besar kini, Rita mengedukasi mereka untuk bisa berguna bagi orang lain lewat sekantong bahkan setetes darah sekalipun. Rita beserta anak-anaknya yang juga memiliki golongan darah rhesus negatif sudah lama menjadi pendonor aktif.
Rhesus Negatif
Kepala Bagian Pelayanan Darah UDD PMI Kota Pontianak, Silvia, S.K.M, mengatakan faktor yang menyebabkan seseorang memiliki darah dengan golongan rhesus negatif adalah faktor genetika yang diturunkan dari kedua orang tua.
Banyak orang mengira bahwa golongan darah rhesus negatif hanya dimiliki oleh orang bule. Padahal bisa saja terjadi kepada semua manusia karena tidak semua orang tahu detail sejarah orang tuanya atau keturunannya ke atas. Mungkin saja salah satu atau bahkan kedua orang tuanya hanya membawa gen resesif rhesus negatif.
“Golongan darah ditentukan oleh antigen yang ada di permukaan sel darah merah. Dikatakan rhesus positif apabila pada sel darah merahnya ditemukan antigen rhesus (antigen D). Dikatakan rhesus negatif apabila pada sel darah merahnya tidak ditemukan antigen rhesus (antigen D)” jelas Silvia.
Silvia mengatakan prosedur donor darah untuk pendonor rhesus positif dan negatif tidak ada perbedaan. Sebelum donor, pendonor melewati tahap seleksi terlebih dahulu seperti pemeriksaan suhu tubuh, tekanan darah, Hb dan lainnya sesuai prosedur donor yang berlaku.
Permintaan dan Pemenuhan Darah Rhesus Negatif
Tahun |
Permintaan Darah Pertahun | Permintaan Darah Rhesus Negatif | Darah Rhesus Negatif Terpenuhi |
2019 |
36.544 |
22 (0,027%) |
9 (40,9%) |
2020 |
25.122 |
59 (0,23%) |
41 (69,4%) |
2021 (sampai November) | 35.825 | 33 (0,092%) |
22 (66,6%) |
*Sumber: PMI Kota Pontianak
“Waktu berdonor orang dengan rhesus negatif sama dengan orang yang memiliki golongan darah rhesus positif yaitu 8 minggu, namun karena darah rhesus negatif langka maka biasanya hanya berdonor saat diperlukan saja,” lanjutnya.
Kerja sama PMI dengan komunitas RNI Kalbar juga baik selama ini. Apabila stok darah tidak tersedia, PMI bisa menghubungi komunitas melalui koordinatornya.
“Permintaan rhesus negatif ke UDD PMI Kota Pontianak yang paling banyak adalah pasien dari bagian penyakit dalam,” ujar Silvia.
Dikarenakan golongan darah langka, Silvia menganjurkan kepada pemilik darah rhesus negatif untuk lebih waspada dalam menjaga diri dan mempersiapkan diri jika terjadi kecelakaan, sakit, menjalani operasi atau pada masa kehamilan.
Pentingnya Suntik RhoGam untuk Ibu Hamil
Dulu orang berasumsi perempuan yang memiliki rhesus negatif susah punya anak atau mungkin hanya bisa memiliki satu anak saja. Perempuan yang memiliki rhesus negatif memiliki risiko kehamilan yang bisa membahayakan janinnya.
“Ketika seorang ibu yang memiliki rhesus negatif mengandung bayi yang memiliki rhesus positif, pada kehamilan anak pertama ketidakcocokan rhesus ini biasanya tidak berpengaruh pada bayi karena tubuh ibu belum membentuk antibodi terhadap faktor rhesus. Antibodi biasanya baru diproduksi jika darah ibu bercampur dengan darah bayi. Misalnya saat melahirkan, keguguran, pendarahan atau trauma pada perut selama kehamilan,” jelas Silvia.
Silvia melanjutkan, jika antibodi rhesus sudah terbentuk maka masalah dapat terjadi pada kehamilan kedua dan selanjutnya. Apabila pada kehamilan kedua ibu mengandung janin dengan rhesus positif lagi maka antibodi yang telah terbentuk tersebut bisa masuk melalui plasenta ke aliran darah bayi dan merusak sel darah merah bayi, sehingga terjadilah anemia hemolitik pada bayi.
Oleh karena itu, pada ibu hamil yang memiliki rhesus negatif biasanya diberi suntik RhoGam (Rhogama Globulin/Rh Immunoglobulin) selama masa kehamilan.
“Fungsi dari suntikan RhoGam adalah sebagai tindakan pencegahan agar tidak terbentuknya zat antirhesus pada masa kehamilan. RhoGam disuntikkan pada usia kehamilan 28 minggu dan saat persalinan,” lanjutnya.
Sebagai seorang ibu yang memiliki rhesus negatif, Rita pernah memperjuangkan anaknya walau dengan risiko tinggi. Setahun setelah keguguran pertama, Rita kembali hamil anak keempat. Namun janinnya tak berkembang dan mengalami keguguran untuk kedua kalinya. Dokter sempat memarahi dan melarangnya hamil lagi karena bisa membahayakan janin dan dirinya.
Namun keinginan Rita untuk memiliki anak perempuan lebih besar daripada memikirkan risiko yang akan dihadapinya. Enam bulan kemudian Rita kembali mengandung. Ironisnya setiap ia datang konsultasi, dokter selalu mengeluh hingga melemahkan mentalnya.
Rita memilih untuk mengganti konsultasi ke dokter lain. Akhirnya ia mendapatkan dokter yang cocok, yang bisa memotivasinya hingga akhir persalinan. Ia mendapatkan suntik RhoGam tiga kali selama masa kehamilan.
“Saat persalinan saya sudah lebih siap karena pengalaman sebelumnya. Pendonor darah sudah siap jika diperlukan, dokternya tenang jadinya saya juga tenang,” ujar Rita.
Dengan kesabarannya akhirnya Rita dianugerahi seorang putri yang sangat diidamkannya. Rita percaya bahwa ada campur tangan Tuhan dalam setiap hal yang dilaluinya. Sama seperti Tet Lie yang harus menerima kenyataan bahwa istrinya juga pernah mengalami keguguran tiga kali sebelum melahirkan anak pertama. Kini Tet Lie dan sang istri bahagia dengan memiliki tiga buah hati.

“Jika sering terjadi keguguran di masa kehamilan, saya menyarankan para ibu sebaiknya untuk memeriksa rhesusnya. Jika ternyata negatif bisa diantisipasi dengan suntik RhoGam,” ujar Rita.
Menurut Rita yang penting adalah usaha, doa dan tidak lelah untuk menolong orang lain.
“Hari ini kita menolong, besok bisa jadi kita yang ditolong dan yang pasti Tuhan akan selalu menolong kita,” tutup Rita.**