Mungkin tak banyak yang tahu jika Kabupaten Mempawah memiliki rumah khas masyarakat Suku Bugis. Lokasinya di RT 12/RW 04, Jalan Sepakat, Desa Sungai Bakau Kecil, Kecamatan Mempawah Timur. Rumah tua berusia lebih dari 70 tahun itu ditempati oleh generasi ketiga keturunan Suku Bugis asal Sulawesi.
WAHYU ISMIR, MEMPAWAH
ADALAH Effendi Ambo’ Itam beserta keluarganya yang dipercayakan menempati rumah tradisional tersebut. Effendi menceritakan, rumah khas masyarakat Suku Bugis itu merupakan peninggalan dari kerabat istrinya, yakni H Abdul Fattah. Dialah yang pertama kali mendirikan rumah masyarakat Suku Bugis itu di daerah Sungai Duri.
Lantaran tak berpenghuni, rumah tersebut lantas dibongkar dan dipindahkan ke daerah Senggiring, Kelurahan Pasir Wan Salim, Kecamatan Mempawah Timur oleh H Daeng Subuh yang juga mertua Effendi. Beberapa waktu kemudian, H Daeng Subuh memutuskan untuk kembali membongkar rumahnya dan dipindahkan ke lokasi sekarang, tepatnya di Jalan Sepakat, Desa Sungai Bakau Kecil.
“Rumah ini sudah berusia lebih dari 70 tahun silam. Sedangkan saya dan keluarga mulai bermukim di rumah ini sejak tahun 1997 lalu,” terang Effendi kepada Pontianak Post, Kamis (24/9) siang.
Effendi menjelaskan, jika melihat dari bahan bangunan, bangunan tersebut sebenarnya sudah berusia ratusan tahun, karena sebagian dari bahan bangunan rumah yang ditumpanginya itu berasal dari bangunan sebelumnya. Rumah tersebut berfondasikan kayu belian. Tak heran jika sampai sekarang wujudnya masih kokoh.
“Istri saya merupakan generasi ketiga yang mewarisi rumah ini. Jadi, rumah ini sudah berkali-kali dipindahkan dan turun-temurun didiami oleh keturunan H Abdul Fattah,” ucapnya.
Effendi mengatakan, sejak semula bangunan rumah itu memang mempertahankan ciri khas rumah Suku Bugis. Soalnya, para leluhurnya ingin mempertahankan nilai-nilai adat budaya masyarakat Suku Bugis yang dibawanya dari tanah Sulawesi.
“Orang tua kami ingin mempertahankan nilai-nilai adat dan leluhur sebagai orang Bugis. Jadi, kalau ada tokoh masyarakat Bugis yang datang dari Sulawesi, biasanya akan datang ke rumah ini,” ujarnya.
Lebih jauh Effendi mengatakan, ciri khas bangunan rumah masyarakat Suku Bugis ini terlihat jelas dari bentuk bangunan dan ornamennya. Mulai dari fondasi hingga bagian atap, persis dengan rumah-rumah masyarakat Suku Bugis di Sulawesi.
“Lihat saja bentuk bangunannya seperti rumah panggung. Kemudian, bagian inti rumah terdiri dari sekat-sekat dan pintu khas Suku Bugis. Begitu pun dengan bagian atap yang memiliki filosofi masyarakat Suku Bugis,” tegasnya.
Dilihat dari bagian dalam bangunan, sambung Effendi, rumah masyarakat Suku Bugis terdapat sekat dan dua pintu yang digunakan untuk jalur masuk untuk tamu laki-laki dan perempuan. Arsitektur bangunan seperti itu sudah menjadi kebiasaan turun-temurun masyarakat Suku Bugis.
“Biasanya ketika ada acara atau pesta, tamu laki-laki dan perempuan akan masuk secara terpisah melalui dua pintu itu. Tujuannya untuk menjaga adab agar laki-laki dan perempuan tidak saling bersinggungan,” katanya.
Ditanya filosofi bangunan rumah tersebut, Effendi menjelaskan, pada bagian bumbungan rumah yang terlihat bertingkat menunjukkan ciri khas rumah masyarakat Suku Bugis. “Kemudian, loteng itu biasanya untuk tempat berkumpul anak-anak perempuan pada kegiatan atau acara tertentu. Biasanya juga digunakan untuk ruangan menyiapkan makanan yang akan dihidangkan kepada tamu undangan. Nanti, makanan dan minuman akan dibawa dari loteng menuju ke ruangan tengah rumah,” ujarnya.
Tak hanya itu, masih menurut Effendi, ada juga bagian pelataran rumah yang biasanya digunakan masyarakat Suku Bugis untuk menjemur hasil pertaniannya. Termasuk pula untuk berkumpul seluruh anggota keluarga. Sedangkan di bagian dapur biasanya dipakai untuk para ibu dan anak perempuan menyiapkan makanan dan minuman.
“Ciri khas lainnya, rumah ini memiliki fondasi cukup tinggi atau biasa disebut rumah panggung. Pada zaman dulu, rumah panggung itu dimaksudkan untuk berjaga-jaga dari banjir dan serangan binatang buas. Agar lebih aman untuk si penghuni rumah,” katanya.
“Di samping itu, bangunan bawah rumah (kolong) yang cukup luas biasanya digunakan untuk tempat bermain anak-anak. Seperti main gasing, kelereng, ayunan dan lainnnya sehingga anak-anak tidak berkeliaran di tempat lain,” pungkasnya.
Dikutip dari Facebook Sastra Jendra Hayuningrat, rumah Bugis terletak di Jalan Sepakat, Desa Bakau Kecil, Kecamatan Mempawah Timur, Kabupaten Mempawah tepatnya di koordinat utm zona 49N 279106 mE 35968 mU dengan ketinggian 9 m.dpl. Rumah Bugis konstruksinya berupa rumah panggung. Rumah bugis berjarak 11 km dari pusat kota dan dapat ditempuh menggunakan roda dua maupun roda empat dengan waktu tempuh sekitar 20-30 menit dengan kondisi jalan aspal yang dilanjutkan dengan jalan pengerasan saat memasuki lingkungan rumah bugis.
Rumah itu saat ini ditempati oleh Bapak Pendi dengan panjang 18,17 meter dan lebar 17 meter serta menghadap ke arah barat. Berbatasan dengan pemukiman penduduk di sebelah utara, pemukiman penduduk di sebelah selatan, kebun di sebelah timur dan jalan pengerasan di sebelah barat.
Arsitektur Rumah Bugis tidak berbeda dengan arsitektur bugis yang terdapat di Sulawesi Selatan. Hanya saja pada rumah tersebut mendapat penambahan bangunan pada sisi kiri bangunan utama.
Secara umum, Rumah Adat Bugis Makassar memiliki tiga elemen pembentuk yang terinspirasi dari bagian tubuh manusia. Tiga elemen pembentuk rumah terdiri dari dunia bagian bawah (Awa Bola), dunia bagian tengah (Ale-Kawa), dan dunia bagian atas (Botting Langi). Awa Bola atau kolong rumah/kaki memiliki analogi sebagai tempat hina dan kotor, karena berada di area paling bawah rumah.
Sedangkan Ale Bola/kawa adalah badan rumah yang terdiri dari dinding dan lantai. Botting Langi merupakan bagian rumah paling atas yang terdiri dari loteng dan atap rumah. Tiang utama/kolom (alliri) pada Rumah Bugis berjumlah empat baris dan setiap barisnya berjumlah empat tiang.
Ukuran tiang utama 14×14 cm berbahan kayu ulin (belian). Bagian lantai serta dinding juga menggunakan papan ulin. Atap pada rumah bugis berbentuk pelana dengan penutup atap terbuat dari seng.
Akses untuk memasuki Rumah Bugis dapat melalui pintu utama yang terletak di tengah bangunan dan melalui pintu yang terletak di samping kiri bangunan utama. Pintu utama pada Rumah Bugis berukuran lebar 110 cm, tinggi 197 cm. Sedangkan pintu transisi adalah pintu yang menghubungkan antara ruang, seperti ruang depan ke ruang tengah dan ruang tengah ke ruang samping (bangunan tambahan). Pintu transisi ini berukuran lebar 104 cm dan tinggi 195 cm.
Jendela pada rumah bugis berjumlah lima buah. Dua buah terletak di depan dan tiga buah di samping. Jendela depan berukuran lebar 108 cm, tinggi 137 cm dan memiliki dua daun jendela. Sedangkan jendela samping berukuran lebar 107 cm, tinggi 130 memiliki dua daun jendela.
Ruangan pada Rumah Bugis dibagi tiga yang masing-masing mempunyai fungsi tersendiri. Ruang-ruang yang dimaksud adalah ruang depan, ruang tengah, dan ruang belakang. Ruang depan (Lontang Risaliweng) memiliki beberapa fungsi, yakni menerima tamu, tempat tidur tamu, tempat musyawarah, dan kegiatan lain yang bersifat umum. Ruang tengah (Lontang Ritengnga) berfungsi untuk tempat tidur kepala keluarga beserta istri, tempat tidur anak-anak yang belum dewasa, dan ruang makan.
Sedangkan untuk ruang belakang (Lontang Rilaleng) merupakan tempat tidur bagi para lanjut usia dan gadis remaja, sebagai upaya perlindungan dari serangan atau gangguan. Rumah Bugis juga memiliki tambahan ruang belakang atau samping yaitu dapur (dapureng). Dapur pada rumah bugis terletak di samping bangunan utama (bangunan tambahan).
Rumah Bugis dibedakan berdasarkan status sosial pemilik. Jika yang menempati merupakan keturunan raja atau kaum bangsawan disebut dengan Sao Raja. Sedangkan istilah Bola ditujukan bagi rakyat biasa. Kedua jenis rumah ini tidak memiliki banyak perbedaan jika dilihat dari segi bangunan. Rumah Sao Raja memiliki ukuran yang lebih besar dibandingkan dengan Bola sehingga mendukung tingkat sosial dari penghuninya.
Perbedaan fisik rumah yang paling menonjol adalah ditandai dengan perbedaan jumlah Timba Sila/Sambulayang/Timpa Laja. Susunan Timpa Laja menunjukkan tingkat status sosial pemilik. Semakin banyak susunan Sila, semakin tinggi status sosialnya. Struktur Timpa Laja dapat dibedakan menjadi; Timpa Laja ‘Lanta’ Lima (5 susun), diperuntukkan untuk istana kerajaan; Timpa Laja ‘Lanta’ Appa (4 susun), menunjukkan status kaum bangsawan yang memegang jabatan tinggi di kerajaan; Timpa Laja ‘Lanta’ Tallu (3 susun), khusus ditempati oleh bangsawan; Timpa Laja ‘Lanta’ Rua (2 susun), dimaksudkan untuk To Maradeka atau orang bebas; Timpa laja ‘lanta’ se’re (1 susun), diperuntukkan bagi kelompok masyarakat Ata atau budak.
Khusus Rumah Bugis menunjukkan penggunaan Timpa Laja bersusun dua. Sedangkan ragam hiasnya menunjukkan pencampuran ragam hias melayu dan bugis. Ragam hias melayu terlihat pada ventilasi dengan motif bunga walet. Ragam hias lainnya diaplikasikan pada pagar beranda dan jendela bagian bawah.(*)