31 C
Pontianak
Monday, June 5, 2023

Nestapa Jemaat Ahmadiyah di Sintang Gunakan Sisa Bangunan Masjid untuk Ibadah

“Hak kebebasan beribadah kami dirampas dan diganggu,” kata Karsono. Kalimat itu seakan menegaskan rasa kekesalan dirinya akan peristiwa pengerusakan masjid Miftahul Huda, yang terjadi pada 3 September 2021. Setidaknya lebih dari 60 jiwa pengikut Ahmadiyah di Desa Balai Harapan, Kecamatan Tempunak, Kabupaten Sintang, kehilangan rumah ibadah mereka.

ARIEF NUGROHO, SINTANG

Hari sudah gelap saat saya tiba di Desa Balai Harapan, Kecamatan Tempunak. Desa ini merupakan pusat aktivitas komunitas muslim Ahmadiyah yang ada di Kabupaten Sintang.

Desa Balai Harapan berada di sekitar 400 kilometer dari Pontianak, Ibu Kota Provinsi Kalimantan Barat. Untuk tiba di sana, saya harus menempuh perjalanan darat sekitar tujuh jam. Tidak hanya sampai di situ, saya juga harus melewati jalan penghubung sepanjang tujuh kilometer dengan kondisi rusak.

Jalan itu menjadi akses utama bagi warga desa menuju kota.

Setibanya di desa itu, suasana mencekam tampak begitu terasa. Sepi dan hening. Padahal waktu masih menunjukkan pukul 19.00.

Azan Isya sayup-sayup terdengar. Saya yang baru saja tiba di daerah itu memutuskan untuk langsung menuju Masjid Miftahul Huda, yang terletak di sudut desa itu.

Sejumlah warga Ahmadiyah lainnya juga terlihat berbondong-bondong mendatangi masjid untuk melaksanakan Salat Isya secara berjamaah. Mereka seolah tidak perduli dengan kondisi masjid tersebut.

Meski dengan kondisi rusak cukup parah, mereka tetap khusuk dan khidmat menjalankan ibadah.

Pasca pengerusakan masjid Miftahul Huda yang terjadi pada 3 September 2021 itu, kondisi masjid rusak parah. Puing dan pecahan kaca berserakan di mana-mana. Diding dan jendelanya jebol.

BERIBADAH: Jemaat Ahmadiyah di Desa Balai Harapan, Kecamatan Tempunak, Kabupaten Sintang menggunakan sisa bangunan masjid Miftahul Huda untuk beribadah, Senin (24/1/2021). Masjid tersebut mengalami kerusakan cukup parah pasca pengerusakan oleh sekelompok orang, pada 3 September 2021 lalu. (ARIEF NUGROHO/PONTIANAK POST)

Usai melaksanakan Salat Isya saya bertemu dengan Karsono, Ketua DPC Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di desa itu, dan juga Maulana Arif Affandi, mubaligh JAI.

Saya disambut dengan hangat dan ramah. Mereka lantas mempersilahkan saya mampir ke kediamannya.

Tak lama berselang, sebuah suguhan keluar memenuhi meja tamu. Ada buah langsat, semangka, dan seteko kopi. “Silakan mas. Monggo disambi,” ujar Karsono.

Sementara, Arif Affandi, tengah sibuk melakukan video call dengan sejumlah pengurus JAI pusat. Dalam sambungan video call itu terdengar samar dia mengabarkan kondisi Desa Balai Harapan saat itu.

Sedangkan saya masih terdiam menikmati suguhan malam itu. “Beginilah Mas, kondisi kami di sini,” kata Karsono mulai membuka perbincangan.

Pria paroh baya itu juga menceritakan bagaimana situasi saat peristiwa yang terjadi pada 3 September 2021, itu. “Sebenernya sedih, tapi yang penting semua warga selamat,” kata Karsono.

Karsono juga menceritakan bagaimana hak kebebesan beribadah Jemaat Ahmadiyah terenggut. Menurutnya, jauh sebelum terjadi penggerusakan masjid Miftahul Huda, masjid itu telah disegel oleh pemerintah setempat, karena dianggap tidak berizin.

Warga Ahmadiyah dilarang menggunakan masjid itu untuk beribadah. Menurut dia, cikal bakal masjid itu sudah ada sejak tahun 2007. Namun, waktu itu, masjid yang digunakan masih semi premanen, dan ukurannya tidak begitu besar. Sehingga, pada 2019, warga Ahmadiyah berinisiatif untuk membangun masjid yang lebih besar untuk mengantikan masjid sebelumnya.

“Semua orang kampung ini juga tahu, kalau kami ingin membangun masjid. Bahkan, sebelum membangun kami sudah menghadap pemerintah desa dan mengutarankan niatan kami ke pemerintah kabupaten,” kenangnya.

Nyatanya, lanjut Karsono, masjid yang menjadi pusat kegiatan keagaman Jemaat Ahmadiyah di desa itu selama ini harus bernasib seperti itu.

“Kami tidak bisa berbuat apa-apa, karena kami diminta tidak keluar rumah. Beberapa dari kami yang lokasinya dekat dengan masjid harus dievakuasi,” katanya.

“Kami sangat sedih. Sejak itu, kami harus beribadah di rumah masing-masing. Hak kebebasan beribadah kami dirampas dan diganggu,” sambungnya.

Baca Juga :  BPJS Cabang Sintang Sosialisasi Manfaat Program JKN

Tidak berhenti sampai di situ, kesedihan warga Ahmadiyah berlanjut setelah Pemerintah Kabupaten Sintang melayangkan surat peringatan ketiga (SP-3) yang berisi pembongkaran secara paksa.

“Apa pun langkah yang dilakukan pemerintah, itu berarti untuk menghentikan pergerakan kami. Kami tetap tidak akan menyurutkan semangat kami untuk tetap beribadah. Maka dari itu, sebelum dilakukan eksekusi, kami minta izin untuk merawat masjid ini untuk terakhir kali. Kami ingin gunakan untuk beribadah. Dan begini lah kondisinya. Kami beribadah dengan kondisi masjid seperti ini,” timpal Maulana Arif Affandi.

Hidup Berdampingan

Keberadaan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Desa Balai Harapan, Kecamatan Tempunak, sudah ada sejak 18 tahun silam. Tepatnya pada 2004.

Menurut Karsono, Ahmadiyah di desa Balai Harapan, pertama kali dibawa oleh seorang perempuan bernama Amaliah, seorang tenaga kerja Indonesia di Singapura yang datang ke desa ini. Ia membawa poster berisi ajaran Ahmadiyah dan menyebarkan ajaran tersebut ke warga desa.

Karsono adalah satu diantaranya. Sebelum dibai’at menjadi Ahmadi (penganut Ahmadiyah), ia adalah muslim mayoritas. Ia bahkan sempat menjadi takmir masjid di desa itu.

“Menurut saya, tidak ada yang menyimpang dari ajaran Ahmadiyah. Kalimat Syahadat, rukun islam, tidak ada yang berbeda. Kitab suci kami juga Alquran, yang wajib dibaca setiap saat. Kami juga percaya Nabi Muhammad SAW adalah nabi utusan Allah yang membawa syafaat,” beber Karsono.

Sejak itu, kata Karsono, anggota Ahmadiyah di Desa Balai Harapan terus berkembang. Namun tidak sedikit pula dari mereka yang keluar karena banyaknya tekanan.

“Banyak juga dari kami yang down. Tidak kuat, karena tekanan dan fitnah,” katanya.

Terlepas dari urusan akidah, kata Karsono, keberadaan Jemaat Ahmadiyah di Desa Balai Harapan hidup rukun dan berdampingan dengan warga sekitar. Bahkan mereka kerap melakukan kerja bakti dan gotong royong bersama warga lain.

BERIBADAH: Jemaat Ahmadiyah di Desa Balai Harapan, Kecamatan Tempunak, Kabupaten Sintang menggunakan sisa bangunan masjid Miftahul Huda untuk beribadah, Senin (24/1/2021). Masjid tersebut mengalami kerusakan cukup parah pasca pengerusakan oleh sekelompok orang, pada 3 September 2021 lalu. (ARIEF NUGROHO/PONTIANAK POST)

Hal itu dibenarkan oleh Kepala Desa Balai Harapan. Ali Musbikin. Menurut Ali, secara umum, kondisi Desa Balai Harapan cukup aman dan kondusif.  Warganya hidup rukun meskipun dari latar belakang yang berbeda.

“Alhamudillah, untuk kebersamaan tidak ada masalah. Artinya hubungan antar manusia dengan manusia seperti masyarakat biasa pada umumnya. Kami sering melakukan kegiatan gotong royong dan silaturahim,” katanya.

Belakangan, persoalan kemudian muncul setelah sebagian warga desanya terprovokasi oleh warga luar, sehingga terjadi kekilafan dan melakukan tindakan-tindakan di luar ketentuan Undang Undang.

“Tapi sebenarnya, kami semua hidup rukun. Baik itu NU,  JAI dan komunitas lainnya hidup berdampingan dan rukun. Ya. secara umum. Bukan masalah akidah lho ya,” jelasnya.

Alih Fungsi Masjid

Insiden perusakan Masjid Miftahul Huda milik Jemaah Ahmadiyah di Sintang, Kalimantan Barat, menambah rentetan panjang tindakan persekusi dan diskriminatif terhadap kelompok minoritas ini.

Dalam insiden itu, Masjid milik Ahmadiyah itu mengalami rusak berat. Polisi menetapkan 21 orang sebagai tersangka dalam kasus perusakan tersebut. Dari jumlah itu, polisi menjerat tiga orang sebagai aktor intelektual atau pihak yang menghasut perusakan masjid tersebut.

Kendati demikian, itu tidak cukup adil bagi warga Ahmadiyah yang harus kehilangan rumah ibadah mereka.

Selain itu, warga Ahmadiyah juga masih harus menghadapi ancaman eksekusi masjid Miftahul Huda oleh pemeritah setempat. Meskipun sebelum eksekusi dilakukan, pemerintah Kabupaten Sintang, memberikan dua opsi. Pertama, Pemkab Sintang membeli bangunan tersebut dan kedua, mengubah bentuk bangunan menjadi tempat tinggal.

Pilihan jatuh pada opsi ke dua. Yakni mengubah bentuk bangunan menjadi tempat tinggal. Tim Advokasi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB), Subhi Azhari dari Inklusif, menyoroti soal keputusan Pemerintah Kabupaten Sintang terkait alih fungsi Masjid Miftahul Huda menjadi rumah tinggal  atau hunian, tidak memiliki dasar hukum yang jelas.

Baca Juga :  Tetap Semangat Jalani Rutinitas dengan HIV/AIDS

Menurutnya, hal itu berpotensi melanggar aturan terkait bangunan gedung. Baik Undang-undang No. 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung maupun PP No. 36 tahun 2005 sama sekali tidak mengatur mengenai alih fungsi bangunan.

Demikian pula Peraturan Bersama 2 Menteri tahun 2006, yang salah satunya mengatur pendirian rumah ibadah juga tidak mengatur alih fungsi sebagai salah satu jalan keluar menyelesaikan sengketa terkait rumah ibadah.

Pemerintah Kabupaten Sintang melalui Satuan Polisi Pamong Praja saat melakukan eksekusi terhadap Masjid Miftahul Huda di Desa Balai Harapan, Kecamatan Tempunak, Kabupaten Sintang. (ARIEF NUGROHO/PONTIANAK POST)

Menurut dia, alih-alih memberi wewenang melakukan alih fungsi, PP No. 36 tahun 2005 justru memberi mandat kepada Pemerintah Daerah menyelenggarakan pembinaan bangunan gedung untuk meningkatkan pemenuhan persyaratan dan tertib penyelenggaraan bangunan gedung.

Sementara Peraturan Bersama 2 Menteri tahun 2006, juga memberi mandat kepada Pemerintah Daerah untuk memfasilitasi rumah ibadah yang tidak memiliki izin.

“Dengan demikian, keputusan untuk melakukan alih fungsi bangunan oleh Pemerintah Kabupaten Sintang selain tidak memiliki landasan hukum yang jelas, juga dapat menjadi penyebab lahirnya kerentanan baru bagi komunitas muslim Ahmadiyah di Kabupaten Sintang,” kata dia.

“Ini akan menjadi preseden buruk yang akan dicontoh oleh pemerintah daerah lain sebagai solusi penyelesaian tindakan intoleransi dan pelanggaran hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan terhadap masjid Ahmadiyah,” katanya.

Sementara itu, Gufron Mabruri, Direktur Impersial menyebut, ada pelanggaran kode etik aparat kepolisian dalam pelaksanaan kegiatan sosialisasi SP3 yang menghadirkan Forkopimcam, di mana salah satunya juga mengundang pihak Kepolisian Sektor (Polsek) Tempunak yang dihadiri langsung oleh Kapolsek.

Adanya keterlibatan Kapolsek dalam sosialisasi SP3 yang berisikan tentang pembongkaran Masjid Miftahul Huda milik Komunitas JAI Sintang dinilai merupakan pelanggaran kode etik profesi kepolisian.

Dikatakan Gufron, dalam Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Polri, pada Pasal 4 (d) menjelaskan bahwa Polri wajib untuk menjaga keselamatan fasilitas umum dan hak milik perseorangan serta menjauhkannya dari kerusakan dan penurunan nilai guna atas tindakan yang diambil.

“Dalam konteks sosialisasi SP3 yang berisi perintah pembongkaran Masjid Miftahul Huda dalam kerangka alih fungsi, yang mana masjid tersebut merupakan properti milik pribadi (Komunitas JAI Sintang), keterlibatan Kapolsek dalam sosialisasi tersebut adalah sikap yang keliru,” katanya.

Pemulihan Hak Korban

Sementara itu, Halili Hasan dari SETARA mengatakan, Pascaperusakan, komunitas Muslim Ahmadiyah di Kabupaten Sintang mengalami trauma.

Menurut dia, trauma ini sangat berdampak ke psikologis korban, misalnya ada anggota muslim Ahmadiyah yang sampai tidak nafsu makan mendekati tenggat pembongkaran masjid.

“Di tengah situasi seperti ini, yang dibutuhkan oleh korban adalah pemulihan hak-haknya termasuk rehabilitasi psikologis. Namun, alih-alih memulihkan hak korban, yang terjadi adalah reviktimisasi dengan menghukum korban,” katanya.

Menurut Halili, penghukuman terhadap korban terlihat jelas dari Bupati dan Pemerintah Kabupaten Sintang yang justru memutuskan untuk melakukan alih fungsi Masjid Miftahul Huda menjadi tempat tinggal yang semakin menambah trauma korban.

Pemerintah Kabupaten Sintang mengabaikan tugas dan kewajibannya untuk menerbitkan IMB rumah ibadah, seperti tertera di Pasal 6 Ayat (1) PBM Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 9 dan No 8 Tahun 2006.

“Oleh karena itu, Pemerintah Pusat, khususnya Kemendagri, harus menegur keras Bupati dan Pemerintah Kabupaten Sintang yang gagal menjalankan kewajibannya dan malah terus-menerus menekan korban untuk membongkar Masjid dan memaksakan alih fungsi Masjid menjadi tempat tinggal,” pungkasnya. (*)

“Hak kebebasan beribadah kami dirampas dan diganggu,” kata Karsono. Kalimat itu seakan menegaskan rasa kekesalan dirinya akan peristiwa pengerusakan masjid Miftahul Huda, yang terjadi pada 3 September 2021. Setidaknya lebih dari 60 jiwa pengikut Ahmadiyah di Desa Balai Harapan, Kecamatan Tempunak, Kabupaten Sintang, kehilangan rumah ibadah mereka.

ARIEF NUGROHO, SINTANG

Hari sudah gelap saat saya tiba di Desa Balai Harapan, Kecamatan Tempunak. Desa ini merupakan pusat aktivitas komunitas muslim Ahmadiyah yang ada di Kabupaten Sintang.

Desa Balai Harapan berada di sekitar 400 kilometer dari Pontianak, Ibu Kota Provinsi Kalimantan Barat. Untuk tiba di sana, saya harus menempuh perjalanan darat sekitar tujuh jam. Tidak hanya sampai di situ, saya juga harus melewati jalan penghubung sepanjang tujuh kilometer dengan kondisi rusak.

Jalan itu menjadi akses utama bagi warga desa menuju kota.

Setibanya di desa itu, suasana mencekam tampak begitu terasa. Sepi dan hening. Padahal waktu masih menunjukkan pukul 19.00.

Azan Isya sayup-sayup terdengar. Saya yang baru saja tiba di daerah itu memutuskan untuk langsung menuju Masjid Miftahul Huda, yang terletak di sudut desa itu.

Sejumlah warga Ahmadiyah lainnya juga terlihat berbondong-bondong mendatangi masjid untuk melaksanakan Salat Isya secara berjamaah. Mereka seolah tidak perduli dengan kondisi masjid tersebut.

Meski dengan kondisi rusak cukup parah, mereka tetap khusuk dan khidmat menjalankan ibadah.

Pasca pengerusakan masjid Miftahul Huda yang terjadi pada 3 September 2021 itu, kondisi masjid rusak parah. Puing dan pecahan kaca berserakan di mana-mana. Diding dan jendelanya jebol.

BERIBADAH: Jemaat Ahmadiyah di Desa Balai Harapan, Kecamatan Tempunak, Kabupaten Sintang menggunakan sisa bangunan masjid Miftahul Huda untuk beribadah, Senin (24/1/2021). Masjid tersebut mengalami kerusakan cukup parah pasca pengerusakan oleh sekelompok orang, pada 3 September 2021 lalu. (ARIEF NUGROHO/PONTIANAK POST)

Usai melaksanakan Salat Isya saya bertemu dengan Karsono, Ketua DPC Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di desa itu, dan juga Maulana Arif Affandi, mubaligh JAI.

Saya disambut dengan hangat dan ramah. Mereka lantas mempersilahkan saya mampir ke kediamannya.

Tak lama berselang, sebuah suguhan keluar memenuhi meja tamu. Ada buah langsat, semangka, dan seteko kopi. “Silakan mas. Monggo disambi,” ujar Karsono.

Sementara, Arif Affandi, tengah sibuk melakukan video call dengan sejumlah pengurus JAI pusat. Dalam sambungan video call itu terdengar samar dia mengabarkan kondisi Desa Balai Harapan saat itu.

Sedangkan saya masih terdiam menikmati suguhan malam itu. “Beginilah Mas, kondisi kami di sini,” kata Karsono mulai membuka perbincangan.

Pria paroh baya itu juga menceritakan bagaimana situasi saat peristiwa yang terjadi pada 3 September 2021, itu. “Sebenernya sedih, tapi yang penting semua warga selamat,” kata Karsono.

Karsono juga menceritakan bagaimana hak kebebesan beribadah Jemaat Ahmadiyah terenggut. Menurutnya, jauh sebelum terjadi penggerusakan masjid Miftahul Huda, masjid itu telah disegel oleh pemerintah setempat, karena dianggap tidak berizin.

Warga Ahmadiyah dilarang menggunakan masjid itu untuk beribadah. Menurut dia, cikal bakal masjid itu sudah ada sejak tahun 2007. Namun, waktu itu, masjid yang digunakan masih semi premanen, dan ukurannya tidak begitu besar. Sehingga, pada 2019, warga Ahmadiyah berinisiatif untuk membangun masjid yang lebih besar untuk mengantikan masjid sebelumnya.

“Semua orang kampung ini juga tahu, kalau kami ingin membangun masjid. Bahkan, sebelum membangun kami sudah menghadap pemerintah desa dan mengutarankan niatan kami ke pemerintah kabupaten,” kenangnya.

Nyatanya, lanjut Karsono, masjid yang menjadi pusat kegiatan keagaman Jemaat Ahmadiyah di desa itu selama ini harus bernasib seperti itu.

“Kami tidak bisa berbuat apa-apa, karena kami diminta tidak keluar rumah. Beberapa dari kami yang lokasinya dekat dengan masjid harus dievakuasi,” katanya.

“Kami sangat sedih. Sejak itu, kami harus beribadah di rumah masing-masing. Hak kebebasan beribadah kami dirampas dan diganggu,” sambungnya.

Baca Juga :  Semprot Disinfektan di Jalan-Jalan

Tidak berhenti sampai di situ, kesedihan warga Ahmadiyah berlanjut setelah Pemerintah Kabupaten Sintang melayangkan surat peringatan ketiga (SP-3) yang berisi pembongkaran secara paksa.

“Apa pun langkah yang dilakukan pemerintah, itu berarti untuk menghentikan pergerakan kami. Kami tetap tidak akan menyurutkan semangat kami untuk tetap beribadah. Maka dari itu, sebelum dilakukan eksekusi, kami minta izin untuk merawat masjid ini untuk terakhir kali. Kami ingin gunakan untuk beribadah. Dan begini lah kondisinya. Kami beribadah dengan kondisi masjid seperti ini,” timpal Maulana Arif Affandi.

Hidup Berdampingan

Keberadaan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Desa Balai Harapan, Kecamatan Tempunak, sudah ada sejak 18 tahun silam. Tepatnya pada 2004.

Menurut Karsono, Ahmadiyah di desa Balai Harapan, pertama kali dibawa oleh seorang perempuan bernama Amaliah, seorang tenaga kerja Indonesia di Singapura yang datang ke desa ini. Ia membawa poster berisi ajaran Ahmadiyah dan menyebarkan ajaran tersebut ke warga desa.

Karsono adalah satu diantaranya. Sebelum dibai’at menjadi Ahmadi (penganut Ahmadiyah), ia adalah muslim mayoritas. Ia bahkan sempat menjadi takmir masjid di desa itu.

“Menurut saya, tidak ada yang menyimpang dari ajaran Ahmadiyah. Kalimat Syahadat, rukun islam, tidak ada yang berbeda. Kitab suci kami juga Alquran, yang wajib dibaca setiap saat. Kami juga percaya Nabi Muhammad SAW adalah nabi utusan Allah yang membawa syafaat,” beber Karsono.

Sejak itu, kata Karsono, anggota Ahmadiyah di Desa Balai Harapan terus berkembang. Namun tidak sedikit pula dari mereka yang keluar karena banyaknya tekanan.

“Banyak juga dari kami yang down. Tidak kuat, karena tekanan dan fitnah,” katanya.

Terlepas dari urusan akidah, kata Karsono, keberadaan Jemaat Ahmadiyah di Desa Balai Harapan hidup rukun dan berdampingan dengan warga sekitar. Bahkan mereka kerap melakukan kerja bakti dan gotong royong bersama warga lain.

BERIBADAH: Jemaat Ahmadiyah di Desa Balai Harapan, Kecamatan Tempunak, Kabupaten Sintang menggunakan sisa bangunan masjid Miftahul Huda untuk beribadah, Senin (24/1/2021). Masjid tersebut mengalami kerusakan cukup parah pasca pengerusakan oleh sekelompok orang, pada 3 September 2021 lalu. (ARIEF NUGROHO/PONTIANAK POST)

Hal itu dibenarkan oleh Kepala Desa Balai Harapan. Ali Musbikin. Menurut Ali, secara umum, kondisi Desa Balai Harapan cukup aman dan kondusif.  Warganya hidup rukun meskipun dari latar belakang yang berbeda.

“Alhamudillah, untuk kebersamaan tidak ada masalah. Artinya hubungan antar manusia dengan manusia seperti masyarakat biasa pada umumnya. Kami sering melakukan kegiatan gotong royong dan silaturahim,” katanya.

Belakangan, persoalan kemudian muncul setelah sebagian warga desanya terprovokasi oleh warga luar, sehingga terjadi kekilafan dan melakukan tindakan-tindakan di luar ketentuan Undang Undang.

“Tapi sebenarnya, kami semua hidup rukun. Baik itu NU,  JAI dan komunitas lainnya hidup berdampingan dan rukun. Ya. secara umum. Bukan masalah akidah lho ya,” jelasnya.

Alih Fungsi Masjid

Insiden perusakan Masjid Miftahul Huda milik Jemaah Ahmadiyah di Sintang, Kalimantan Barat, menambah rentetan panjang tindakan persekusi dan diskriminatif terhadap kelompok minoritas ini.

Dalam insiden itu, Masjid milik Ahmadiyah itu mengalami rusak berat. Polisi menetapkan 21 orang sebagai tersangka dalam kasus perusakan tersebut. Dari jumlah itu, polisi menjerat tiga orang sebagai aktor intelektual atau pihak yang menghasut perusakan masjid tersebut.

Kendati demikian, itu tidak cukup adil bagi warga Ahmadiyah yang harus kehilangan rumah ibadah mereka.

Selain itu, warga Ahmadiyah juga masih harus menghadapi ancaman eksekusi masjid Miftahul Huda oleh pemeritah setempat. Meskipun sebelum eksekusi dilakukan, pemerintah Kabupaten Sintang, memberikan dua opsi. Pertama, Pemkab Sintang membeli bangunan tersebut dan kedua, mengubah bentuk bangunan menjadi tempat tinggal.

Pilihan jatuh pada opsi ke dua. Yakni mengubah bentuk bangunan menjadi tempat tinggal. Tim Advokasi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB), Subhi Azhari dari Inklusif, menyoroti soal keputusan Pemerintah Kabupaten Sintang terkait alih fungsi Masjid Miftahul Huda menjadi rumah tinggal  atau hunian, tidak memiliki dasar hukum yang jelas.

Baca Juga :  Laris Manis, Kristin Cermat Gunakan Tagar Instagram untuk Bisnis

Menurutnya, hal itu berpotensi melanggar aturan terkait bangunan gedung. Baik Undang-undang No. 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung maupun PP No. 36 tahun 2005 sama sekali tidak mengatur mengenai alih fungsi bangunan.

Demikian pula Peraturan Bersama 2 Menteri tahun 2006, yang salah satunya mengatur pendirian rumah ibadah juga tidak mengatur alih fungsi sebagai salah satu jalan keluar menyelesaikan sengketa terkait rumah ibadah.

Pemerintah Kabupaten Sintang melalui Satuan Polisi Pamong Praja saat melakukan eksekusi terhadap Masjid Miftahul Huda di Desa Balai Harapan, Kecamatan Tempunak, Kabupaten Sintang. (ARIEF NUGROHO/PONTIANAK POST)

Menurut dia, alih-alih memberi wewenang melakukan alih fungsi, PP No. 36 tahun 2005 justru memberi mandat kepada Pemerintah Daerah menyelenggarakan pembinaan bangunan gedung untuk meningkatkan pemenuhan persyaratan dan tertib penyelenggaraan bangunan gedung.

Sementara Peraturan Bersama 2 Menteri tahun 2006, juga memberi mandat kepada Pemerintah Daerah untuk memfasilitasi rumah ibadah yang tidak memiliki izin.

“Dengan demikian, keputusan untuk melakukan alih fungsi bangunan oleh Pemerintah Kabupaten Sintang selain tidak memiliki landasan hukum yang jelas, juga dapat menjadi penyebab lahirnya kerentanan baru bagi komunitas muslim Ahmadiyah di Kabupaten Sintang,” kata dia.

“Ini akan menjadi preseden buruk yang akan dicontoh oleh pemerintah daerah lain sebagai solusi penyelesaian tindakan intoleransi dan pelanggaran hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan terhadap masjid Ahmadiyah,” katanya.

Sementara itu, Gufron Mabruri, Direktur Impersial menyebut, ada pelanggaran kode etik aparat kepolisian dalam pelaksanaan kegiatan sosialisasi SP3 yang menghadirkan Forkopimcam, di mana salah satunya juga mengundang pihak Kepolisian Sektor (Polsek) Tempunak yang dihadiri langsung oleh Kapolsek.

Adanya keterlibatan Kapolsek dalam sosialisasi SP3 yang berisikan tentang pembongkaran Masjid Miftahul Huda milik Komunitas JAI Sintang dinilai merupakan pelanggaran kode etik profesi kepolisian.

Dikatakan Gufron, dalam Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Polri, pada Pasal 4 (d) menjelaskan bahwa Polri wajib untuk menjaga keselamatan fasilitas umum dan hak milik perseorangan serta menjauhkannya dari kerusakan dan penurunan nilai guna atas tindakan yang diambil.

“Dalam konteks sosialisasi SP3 yang berisi perintah pembongkaran Masjid Miftahul Huda dalam kerangka alih fungsi, yang mana masjid tersebut merupakan properti milik pribadi (Komunitas JAI Sintang), keterlibatan Kapolsek dalam sosialisasi tersebut adalah sikap yang keliru,” katanya.

Pemulihan Hak Korban

Sementara itu, Halili Hasan dari SETARA mengatakan, Pascaperusakan, komunitas Muslim Ahmadiyah di Kabupaten Sintang mengalami trauma.

Menurut dia, trauma ini sangat berdampak ke psikologis korban, misalnya ada anggota muslim Ahmadiyah yang sampai tidak nafsu makan mendekati tenggat pembongkaran masjid.

“Di tengah situasi seperti ini, yang dibutuhkan oleh korban adalah pemulihan hak-haknya termasuk rehabilitasi psikologis. Namun, alih-alih memulihkan hak korban, yang terjadi adalah reviktimisasi dengan menghukum korban,” katanya.

Menurut Halili, penghukuman terhadap korban terlihat jelas dari Bupati dan Pemerintah Kabupaten Sintang yang justru memutuskan untuk melakukan alih fungsi Masjid Miftahul Huda menjadi tempat tinggal yang semakin menambah trauma korban.

Pemerintah Kabupaten Sintang mengabaikan tugas dan kewajibannya untuk menerbitkan IMB rumah ibadah, seperti tertera di Pasal 6 Ayat (1) PBM Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 9 dan No 8 Tahun 2006.

“Oleh karena itu, Pemerintah Pusat, khususnya Kemendagri, harus menegur keras Bupati dan Pemerintah Kabupaten Sintang yang gagal menjalankan kewajibannya dan malah terus-menerus menekan korban untuk membongkar Masjid dan memaksakan alih fungsi Masjid menjadi tempat tinggal,” pungkasnya. (*)

Most Read

Artikel Terbaru