Merawat bayi prematur memang perlu penanganan ekstra. Hal ini karena ia lahir sebelum beberapa organnya tumbuh secara optimal.
Oleh : Siti Sulbiyah
Lisa punya pengalaman dua kali melahirkan bayi dalam kondisi prematur. Pengalaman pertama terjadi pada anak sulungnya sekitar tujuh tahun yang lalu. Anaknya lahir saat usia kandungan baru mencapai 27 minggu. Beratnya hanya 900 gram atau 9 ons.
“Kejadiannya diawali dengan adanya rembesan air ketuban dan itu secara tiba-tiba, tidak ada prediksi dokter,” ungkapnya.
Lisa memeriksakan kandungan setiap dua hingga tiga bulan sekali. Ia begitu menjaga kandungannya. Apalagi ini merupakan anak pertama. Selama memeriksakan diri, menurut dokter tak ada tanda-tanda bahwa kandungannya tidak sehat.
Setelah lahir, sang anak dirawat selama satu setengah bulan di dalam inkubator ruangan NICU di RSUD Kota Pontianak. Setiap hari Lisa datang ke rumah sakit untuk memberikan ASI. Karena ASI miliknya tak cukup, ia pun mencari donor untuk memastikan anaknya mendapatkan ASI.
“Dokter sangat mendukung untuk pemberian ASI dan tidak merekomendasikan susu formula. Dokter memang menekankan selama enam bulan agar diberikan ASI saja,” ucapnya.
Setelah satu setengah bulan dirawat di rumah sakit, sang anak diperbolehkan untuk pulang. Waktu itu beratnya baru mencapai 1300 gram, atau kurang dari berat ideal yang ditetapkan rumah sakit minimal 1500 gram. Namun, dokter punya pertimbangan sehingga sang anak diperbolehkan untuk pulang.
“Pertimbangan dokter karena anak perlu ada terapi dengan metode kanguru. Metode ini adalah anak diletakkan ke dada ibu, jadi skin to skin dan itu harus dilakukan secara intensif. Sehingga dokter pikir akan lebih baik bayi dibawa ke rumah saja. Walau pun beratnya riskan, namun karena melihat kegigihan orangtua kali ya yang bolak balik ke rumah sakit,” imbuhnya.
Tak selesai sampai di situ, pemeriksaan selanjutnya ia lakukan guna memastikan sang anak dapat tumbuh normal. Pemeriksaan lanjutan itu, mulai dari skrining scan kepala, tes darah, jantung, dan lain sebagainya. Hal itu dilakukan mengingat anak prematur ketika lahir organ-organnya belum terbentuk sempurna. Terlebih bagi anaknya, yang masuk dalam kategori prematur ekstrem.
Kejadian kedua terjadi pada anak yang kedua. Anak ini lahir ketika kandunganya baru berusia delapan bulan. Sebabnya sama, yakni rembesan air ketuban. Beratnya saat itu 1500 gram. Bayinya sempat dirawat di NICU selama dua minggu di RSUD Soedarso.
“Perawatannya sama dengan metode kanguru. Perkembangan badannya cenderung lebih bagus dari pada kakaknya dulu,” ucapnya.
Sama seperti sang kakak, skrining juga dilakukan secara menyeluruh. “Hasilnya normal termasuk fungsi organ dalam,” tambahnya.
Saat ini umur anak pertama berusia hampir 8 tahun dan sudah duduk di bangku kelas 2 sekolah dasar. Tumbuh kembangnya juga seperti anak normal, baik itu fisik, motorik, maupun kecerdasan. Hanya saja, tubuhnya kurang berisi. Sementara anak kedua, sudah hampir berumur 6 tahun.
“Pekembangannya seperti anak lainnya, motorik tidak masalah, akademis juga bagus,” pungkasnya.
Bayi prematur atau neonatus kurang bulan (NKB) adalah bayi yang lahir sebelum usia kehamilan mencapai 37 minggu. Dokter Desriani Lestari, Sp.A, M.Biomed, menilai, bayi yang lahir prematur merupakan salah satu masalah global yang masih perlu diperhatikan karena masih tingginya angka mortalitas disebabkan oleh kelahiran prematur.
“Di Pontianak, penyebab angka kematian bayi 43 persen karena kelahiran prematur,” katanya.
Dia mengatakan bayi prematur diklasifikasikan menjadi tiga berdasarkan usia gestasi. Pertama, bayi prematur moderat yakni usia gestasi 32-37 minggu. Kedua, bayi sangat prematur, dengan usia gestasi 28-32 minggu. Ketiga, bayi prematur ekstrem yakni usia gestasi di bawah 28 minggu.
Menurutnya, ada beberapa faktor risiko yang membuat bayi lahir prematur, di antaranya faktor usia saat hamil, ada riwayat melahirkan prematur, gaya hidup yang kurang sehat, hingga masalah kesehatan tertentu. Dia menilai usia kehamilan yang paling ideal 19-35 tahun.
“Kalau usia kehamilan lebih kecil dari 19 tahun atau diatas 35 tahun, maka risikonya semakin besar,” jelasnya.
Gaya hidup kurang sehat juga turut berpengaruh, seperti merokok, minum alkohol, memakai obat-obatan terlarang, hingga mengalami stres. Ibu yang tidak menginginkan kehadiran anak dalam perutnya, juga bisa menjadi faktor risiko bayi terlahir prematur apabila sebelumnya ada upaya menggugurkan kandungan.
“Ada beberapa kejadian seperti itu. Biasanya berusaha mengeluarkan anaknya dengan minum obat herbal atau lain sebagainya yang bisa menggugurkan kandungan,” katanya.
Apakah bekerja keras hingga menimbulkan kelelahan dapat menjadi salah satu faktor risiko? Dokter di RS Untan ini mengatakan menjalani pekerjaaan yang sudah dilakukan rutin setiap hari tidak akan meningkatkan risiko kelahiran prematur. Namun, kelelahan yang bisa menyebabkan bayi lahir prematur adalah ketika kelelahan yang dialami adalah kelelahan ekstrem.
Di samping itu, wanita yang sudah pernah punya riwayat melahirkan bayi prematur juga berisiko mengalami hal berulang apabila tidak diobati. “Kalau memang ada riwayat itu, pertama harus ada pemeriksaan lengkap dari rahimnya. Apa masalah kandungannya. Dari situ kita tahu dan bisa mengantisipasinya. Tapi jika ternyata tidak ada upaya untuk diobati, jadi ya bisa prematur lagi,” ucapnya.
Namun, terlepas dari berbagai penyebab bayi lahir prematur, sebenarnya persalinan prematur bisa dialami oleh siapa saja. Bahkan, beberapa ibu hamil bisa melahirkan bayi prematur tanpa memiliki faktor risiko yang diketahui.**