25 C
Pontianak
Wednesday, June 7, 2023

Komunitas Single Moms Indonesia Bantu Ibu Tunggal Bangkit dan Berdaya

Curhat Saja Tak Cukup karena Masalah yang Dihadapi Berlapis

Tiap dua bulan sekali, Single Moms Indonesia rutin mengadakan kegiatan pemberdayaan para anggota, baik psikologis maupun finansial. Ada pula kelas bucin (budak cinta) yang memberi dukungan kepada anggota untuk memulai hubungan kembali.

ZALZILATUL HIKMIA, Jakarta

HATI-hati loh, dia sekarang sudah jadi janda. Jagain suaminya masing-masing ya ibu-ibu.”

”Kamu sudah nggak ada harganya. Siapa yang mau sama janda sepertimu.”

Kalimat-kalimat itu hanya segelintir dari ribuan celaan yang kerap ditujukan kepada seorang single mom atau ibu tunggal. Maureen Hitipeuw, pendiri komunitas Single Moms Indonesia (SMI), bahkan pernah mendengar kisah yang lebih sadis.

”Pernah ada satu kasus, setelah ibu tunggal ini resmi ketok palu (bercerai, Red), ibu RT tempatnya tinggal kayak ngasih pengumuman agar warga hati-hati karena ada janda hingga dia benar-benar dikucilkan,” ungkapnya akhir Maret lalu.

Di Indonesia, stigma terhadap single mom masih sangat kental. Padahal, sangat tak mudah menjalaninya. Maureen mengingat, setelah resmi bercerai pada 2010, dirinya harus berjuang mati-matian untuk bisa kembali bangkit.

”Karena saat menikah, aku full jadi ibu rumah tangga. Otomatis ketika bercerai, aku harus kembali bekerja,” ujarnya.

Maureen betul-betul tertekan saat itu. Tak ada tempat mengadu membuatnya makin kalut. Perempuan  kelahiran 2 Maret tersebut tak berani bercerita kepada keluarganya lantaran sang papa memiliki penyakit jantung.

Niat mengakhiri hidup muncul. Dia bahkan sudah sempat berdiri di balkon lantai 20. Tapi, tangisan sang buah hati yang baru berusia dua tahun saat itu menyadarkannya.

”Dia yang biasa bangun cerah ceria tiba-tiba nangis kejer. Dan kejernya sambil nyebut mamiii..” sambungnya.

Pada momen-momen tersebut, perempuan yang biasa disapa Oyen itu sebetulnya sudah berupaya mencari pertolongan. Dia sempat menemukan komunitas Indo Single Parent tapi merasa kurang cocok karena komunitas tersebut tak spesifik untuk ibu tunggal.

Baca Juga :  Pukis dengan Varian Topping

Akhirnya dia memutuskan ’’curhat” lewat blog saja. Siapa sangka, dari sana dia justru berkenalan dengan sesama ibu tunggal yang melakukan pencarian yang sama: tempat aman bercerita tanpa harus dihakimi.

”Sampai tahun 2012, aku diundang di acara Mommies Daily, yang bikin buku antologi single moms. Di sana, launching buku malah jadi momen sharing session, haha,” katanya.

Tapi, hal itu belum jadi pemantik dirinya membuat komunitas yang kini sudah memiliki sekitar delapan ribu anggota tersebut. Waktu itu, dia masih fokus pada dirinya sendiri untuk bangkit.

Butuh dua tahun hingga akhirnya dorongan itu muncul. ”Akhirnya bikinlah Facebook group. Tujuannya supaya benar-benar punya wadah ngobrol, bisa curhat dengan bebas tanpa takut dihakimi,” papar alumnus Interstudy School of Public Relation itu.

Dalam grup privat tersebut, semua ibu tunggal, calon ibu tunggal, atau mantan ibu tunggal diperkenankan bergabung. Terbuka pula bagi mereka yang ditinggal pasangannya berpulang dan single mom by choice.

Tak ada persyaratan khusus, hanya mengisi formulir yang di dalamnya berisi ketersediaan mengikuti aturan yang dibuat. Salah satunya, menjaga kerahasiaan dari apa yang diceritakan oleh anggota di grup.

Maureen pernah kecolongan. Di awal terbentuknya komunitas itu, ada salah satu anggota yang dengan sengaja men-screenshot curhatan dari anggota lain. Parahnya, curhatan tersebut diadukan pada calon mantan suami dari pemberi cerita yang sekantor dengannya.

”Itu aku murka banget. Apalagi suaminya ada tendensi kekerasan, kan aku takut dia diapa-apain,” ungkap pemegang sertifikat meta certified community manager itu.

Lambat laun, ibu satu anak ini menyadari bahwa kegiatan curhat di grup saja tak cukup. Para member komunitas kudu diajak untuk bangkit dan berdaya.

Apalagi, masalah ibu tunggal itu berlapis. Selain mendapat stigma, mereka juga harus berjuang dengan patah hati dan traumanya. Belum lagi ada yang ditinggal mantan suami kabur begitu saja tanpa melaksanakan kewajibannya kepada anak.

Baca Juga :  Bantu Pasien hingga Dini Hari

Pada 2017, Maureen mulai putar otak untuk bisa membantu para single moms ini. Di tengah keterbatasan dana, dia terpikir mengadakan sesi webinar dengan sejumlah pakar. Mulai dari psikolog hingga para ahli bisnis.

Kini, minimal sebulan dua kali, SMI rutin mengadakan acara untuk pemberdayaan ibu tunggal, baik secara psikologis maupun finansial. Ada pula kelas bucin. Kelas ini tak sekadar memberi dukungan kepada para ibu tunggal untuk memulai hubungan kembali, tetapi juga mendorong agar tahu hidup mereka mau dibawa ke mana.

”Karena ibu tunggal itu rapuh. Jadi, kalau kita secure sama diri sendiri, pasti alarm kita pasti bunyi saat ketemu orang nggak baik,” jelasnya.

Sembilan tahun bergelut dalam dunia komunitas tersebut, asam garam telah dirasakan Maureen. Dia pernah merasakan patah hati berat saat dikhianati salah satu pengurus.

Tapi itu tak membuatnya jatuh terlalu lama. Dia sadar betul, banyak manfaat yang diterima oleh anggota komunitas ini. Salah satunya saat mereka saling menguatkan hingga berhasil menggagalkan niat salah satu ibu tunggal yang ingin bunuh diri lantaran tak sanggup menghadapi masalah.

”Akhirnya Puji Tuhan gak jadi. Sampai beberapa tahun selanjutnya, aku dengar anak ini sedang kuliah S-2 dan bilang kalau gak kenal SMI, mungkin dia udah gak ada,” kenangnya.

Rahmaningtyas juga merasakan betul dampak positif setelah bergabung dalam komunitas tersebut. Perempuan 32 tahun itu menemukan teman-teman yang sangat paham atas kondisinya tanpa ada penghakiman.

Pasalnya, setelah bercerai, tak jarang dia diterpa pandangan-pandangan buruk. ’’Mulai dari janda itu genit hingga butuh belaian. Padahal, itu semua nggak bener,” ujarnya. (*)

Curhat Saja Tak Cukup karena Masalah yang Dihadapi Berlapis

Tiap dua bulan sekali, Single Moms Indonesia rutin mengadakan kegiatan pemberdayaan para anggota, baik psikologis maupun finansial. Ada pula kelas bucin (budak cinta) yang memberi dukungan kepada anggota untuk memulai hubungan kembali.

ZALZILATUL HIKMIA, Jakarta

HATI-hati loh, dia sekarang sudah jadi janda. Jagain suaminya masing-masing ya ibu-ibu.”

”Kamu sudah nggak ada harganya. Siapa yang mau sama janda sepertimu.”

Kalimat-kalimat itu hanya segelintir dari ribuan celaan yang kerap ditujukan kepada seorang single mom atau ibu tunggal. Maureen Hitipeuw, pendiri komunitas Single Moms Indonesia (SMI), bahkan pernah mendengar kisah yang lebih sadis.

”Pernah ada satu kasus, setelah ibu tunggal ini resmi ketok palu (bercerai, Red), ibu RT tempatnya tinggal kayak ngasih pengumuman agar warga hati-hati karena ada janda hingga dia benar-benar dikucilkan,” ungkapnya akhir Maret lalu.

Di Indonesia, stigma terhadap single mom masih sangat kental. Padahal, sangat tak mudah menjalaninya. Maureen mengingat, setelah resmi bercerai pada 2010, dirinya harus berjuang mati-matian untuk bisa kembali bangkit.

”Karena saat menikah, aku full jadi ibu rumah tangga. Otomatis ketika bercerai, aku harus kembali bekerja,” ujarnya.

Maureen betul-betul tertekan saat itu. Tak ada tempat mengadu membuatnya makin kalut. Perempuan  kelahiran 2 Maret tersebut tak berani bercerita kepada keluarganya lantaran sang papa memiliki penyakit jantung.

Niat mengakhiri hidup muncul. Dia bahkan sudah sempat berdiri di balkon lantai 20. Tapi, tangisan sang buah hati yang baru berusia dua tahun saat itu menyadarkannya.

”Dia yang biasa bangun cerah ceria tiba-tiba nangis kejer. Dan kejernya sambil nyebut mamiii..” sambungnya.

Pada momen-momen tersebut, perempuan yang biasa disapa Oyen itu sebetulnya sudah berupaya mencari pertolongan. Dia sempat menemukan komunitas Indo Single Parent tapi merasa kurang cocok karena komunitas tersebut tak spesifik untuk ibu tunggal.

Baca Juga :  Bantu Pasien hingga Dini Hari

Akhirnya dia memutuskan ’’curhat” lewat blog saja. Siapa sangka, dari sana dia justru berkenalan dengan sesama ibu tunggal yang melakukan pencarian yang sama: tempat aman bercerita tanpa harus dihakimi.

”Sampai tahun 2012, aku diundang di acara Mommies Daily, yang bikin buku antologi single moms. Di sana, launching buku malah jadi momen sharing session, haha,” katanya.

Tapi, hal itu belum jadi pemantik dirinya membuat komunitas yang kini sudah memiliki sekitar delapan ribu anggota tersebut. Waktu itu, dia masih fokus pada dirinya sendiri untuk bangkit.

Butuh dua tahun hingga akhirnya dorongan itu muncul. ”Akhirnya bikinlah Facebook group. Tujuannya supaya benar-benar punya wadah ngobrol, bisa curhat dengan bebas tanpa takut dihakimi,” papar alumnus Interstudy School of Public Relation itu.

Dalam grup privat tersebut, semua ibu tunggal, calon ibu tunggal, atau mantan ibu tunggal diperkenankan bergabung. Terbuka pula bagi mereka yang ditinggal pasangannya berpulang dan single mom by choice.

Tak ada persyaratan khusus, hanya mengisi formulir yang di dalamnya berisi ketersediaan mengikuti aturan yang dibuat. Salah satunya, menjaga kerahasiaan dari apa yang diceritakan oleh anggota di grup.

Maureen pernah kecolongan. Di awal terbentuknya komunitas itu, ada salah satu anggota yang dengan sengaja men-screenshot curhatan dari anggota lain. Parahnya, curhatan tersebut diadukan pada calon mantan suami dari pemberi cerita yang sekantor dengannya.

”Itu aku murka banget. Apalagi suaminya ada tendensi kekerasan, kan aku takut dia diapa-apain,” ungkap pemegang sertifikat meta certified community manager itu.

Lambat laun, ibu satu anak ini menyadari bahwa kegiatan curhat di grup saja tak cukup. Para member komunitas kudu diajak untuk bangkit dan berdaya.

Apalagi, masalah ibu tunggal itu berlapis. Selain mendapat stigma, mereka juga harus berjuang dengan patah hati dan traumanya. Belum lagi ada yang ditinggal mantan suami kabur begitu saja tanpa melaksanakan kewajibannya kepada anak.

Baca Juga :  Baksos ID42Ner Chapter Kalbar, Berbagi saat Pandemi

Pada 2017, Maureen mulai putar otak untuk bisa membantu para single moms ini. Di tengah keterbatasan dana, dia terpikir mengadakan sesi webinar dengan sejumlah pakar. Mulai dari psikolog hingga para ahli bisnis.

Kini, minimal sebulan dua kali, SMI rutin mengadakan acara untuk pemberdayaan ibu tunggal, baik secara psikologis maupun finansial. Ada pula kelas bucin. Kelas ini tak sekadar memberi dukungan kepada para ibu tunggal untuk memulai hubungan kembali, tetapi juga mendorong agar tahu hidup mereka mau dibawa ke mana.

”Karena ibu tunggal itu rapuh. Jadi, kalau kita secure sama diri sendiri, pasti alarm kita pasti bunyi saat ketemu orang nggak baik,” jelasnya.

Sembilan tahun bergelut dalam dunia komunitas tersebut, asam garam telah dirasakan Maureen. Dia pernah merasakan patah hati berat saat dikhianati salah satu pengurus.

Tapi itu tak membuatnya jatuh terlalu lama. Dia sadar betul, banyak manfaat yang diterima oleh anggota komunitas ini. Salah satunya saat mereka saling menguatkan hingga berhasil menggagalkan niat salah satu ibu tunggal yang ingin bunuh diri lantaran tak sanggup menghadapi masalah.

”Akhirnya Puji Tuhan gak jadi. Sampai beberapa tahun selanjutnya, aku dengar anak ini sedang kuliah S-2 dan bilang kalau gak kenal SMI, mungkin dia udah gak ada,” kenangnya.

Rahmaningtyas juga merasakan betul dampak positif setelah bergabung dalam komunitas tersebut. Perempuan 32 tahun itu menemukan teman-teman yang sangat paham atas kondisinya tanpa ada penghakiman.

Pasalnya, setelah bercerai, tak jarang dia diterpa pandangan-pandangan buruk. ’’Mulai dari janda itu genit hingga butuh belaian. Padahal, itu semua nggak bener,” ujarnya. (*)

Most Read

Artikel Terbaru

/