Masa pandemi covid-19 tak membuat Ida Kusdiati berhenti berkarya. Ia berhasil menghasilkan buku Khatulistiwa Cinta. Buku yang diselesaikan dalam waktu 15 hari ini berkisah tentang kesehariannya yang mengemban multiperan, yakni sebagai istri, ibu, ASN, dan aktivis perempuan.
Oleh : Siti Sulbiyah Kurniasih
Mengisi kejenuhan karena perubahan pola kerja yang beralih ke ruang virtual, Ida mulai melirik kelas menulis. Pilihannya jatuh pada kelas menulis Jejak Cinta Ananda dengan mentor Ida Nurlaila, seorang penulis sekaligus istri dari Founder Wonderful Family Jogjakarta. Setelah mengikuti kelas itu, jiwa menulisnya terbangun kembali setelah sebelumnya sempat vakum.
“Setelah kelas ini saya seperti terbangunkan kembali jiwa kepenulisan saya,” kata Ida.
Ibu lima anak ini sebelumnya karib dengan dunia kepenulisan sejak tahun 1980 ketika bergabung dalam sahabat pena Majalah Ananda. Kegiatan mengarang dari SD sampai SMA juga menjadi kegemarannya. Hingga memasuki dunia kampus, bersama rekan seangkatan ikut aktif di majalah Calyptra Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura dan Majalah Remaja Masjid Mujahidin Pontianak Tahun 1990an.
Setelah semangat menulisnya kembali terbangun, keputusan membuat sebuah buku pun diambil. Semangatnya menulis ditunjukkan dengan mencari tambahan ilmu kepenulisan dengan mengikuti berbagai kelas menulis secara daring, serta terus menerus setiap hari mempraktikkan ilmu menulis ke dalam sebuah tulisan pendek. Tulisan-tulisan itu lantas disimpan atau diunggah ke media sosial.
Buku berjudul Khatulistiwa Cinta yang ia tulis selama 50 hari pada akhirnya mampu diselesaikan. Buku ini diambil dari kisah nyata kesehariannya sebagai perempuan yang memiliki amanah sebagai istri, ibu, ASN dan Ketua Organisasi Massa Perempuan. Dalam bukunya, keseimbangan peran tampak dalam beberapa kisah pendekpengalamannya bersama dengan anak-anak, suami, rekan kerja, rekan organisasi dan masyarakat di sekelilingnya.
“Dialog dan kisah di dalam buku ini menjadi upaya saya menanamkan benih hikmah pada anak-anak, suami dan diri saya pribadi sebagai gambaran ikhtiar yang tiada henti untuk menjadi salah satu keluarga yang merindukan surga bersama,” kata Ida.
Karena tulisan ini nyata, sambung dia, ada jiwa dalam setiap bagian yang dapat dirasakan oleh pembacanya dari halaman pertama sampai akhir buku. Sebagai keluarga biasa dengan kondisi yang juga tidak ideal, maka dia merasa isi buku ini mewakili banyak perasaan dan pengalaman perempuan serta keluarga umumnya.
“Karena kemasan bahasa yang sederhana maka buku ini dapat dinikmati dan mudah dicerna baik dewasa, remaja maupun anak-anak dari berbagai umur dan jenis kelamin guna mengambil hikmah dari tulisan di buku ini,” papar Ida.
Sebelum memutuskan untuk menulis buku ini, perempuan yang baru melepas jabatannya sebagai Ketua Salimah Kalbar ini meminta kesediaan pada anak-anak dan suami agar kisah mereka dapat diangkat ke dalam buku. Mengingat dirinya juga sangat mengedepankan privasi anak-anak, tidak serta merta semua tulisan terkait anak-anak dimuat dan harus ada persetujuan dari anak-anak terlebih dahulu. Selain itu, Ida meminta pendapat suami dan anak-anak selaku editor pribadi sebelum menjadikannya naskah yang siap diantar ke penerbit.
“Alhamdulillah selebihnya begitu banyak pertolongan dan kemudahan sehingga tidak sampai satu bulan buku ini bisa diterbitkan,” jelas Ida.
Lantas bagaimana mengatur waktu yang begitu sempit di tengah usaha menghasilkan buku? Ida mengungkapkan agar selalu ada keseimbangan peran dan tidak ada amanah yang merasa ditinggalkan, yang paling utama setelah niat karena Allah. Selanjutnya mohon izin pada pendamping dan melaksanakan segala amanah dengan komitmen, disiplin, menjaga kesehatan raga dan jiwa.
Olah raga, asupan vitamin, istirahat yang berkualitas meski tidur dikurangi dan ibadah yang ditingkatkan. “Fokus pada tujuan dan membuat support system atau orang-orang sekitar kita yang dilibatkan dalam semua amanah memiliki visi dan misi yang sama. Setelah semua diikhtiarkan pasrahkan kepada Allah untuk hasilnya,” tuturnya.**