Oleh : Tri Astuti, S.Pd
Spirit harus jelas mewarnai ruang lingkup pendidikan kita mulai dari negara hingga masyarakat harus sadar dengan pendidikan yang diperoleh diharapkan mampu membentuk jati diri masyarakat sesuai dengan Falsafah Bhineka Tunggal Ika yang berkemajuan dengan nilai-nilai nasionalisme dan religiutas. Dalam membangun spirit kuliah daring ini dengan menghadirkan semangat literasi dalam perkuliahan menjadi senjata bagi mahasiswa. Literasi harus menjadi spirit bagi mahasiswa karena literasi tidak dapat dipisahkan bagi manusia pembelajar.
Mengapa demikian? Karena literasi adalah senjata bagi manusia pembelajar untuk memperoleh ilmu pengetahuan baik dari hasil membaca, menyimak, menulis dan lain sebagainya. Tanpa adanya literasi maka akan sulit untuk dapat memperoleh isi nutrisi keilmuan terhadap otak apalagi bagi siswa di masa kuliah daring ini. Elizabeth Sulby mengatakan bahwa literasi adalah kemampuan berbahasa yang dimiliki oleh seseorang dalam komunikasi baik dilalui dari hasil membaca, menyimak, berbicara dan menulis dengan cara tertentu sesuai dengan tujuannya.Artinya dalam KBM daring siswa tidak akan terlepas dari literasi karena siswa akan memperoleh hasil pengetahuan baik menyimak proses pembelajaran dari keterangan guru atau lingkungannya, mendengarkan, menganalisanya, membacanya, menulis hingga menyimpulkannya agar memperoleh sintesa (simpulan) dari tesis (pernyataan) dan antitesa (pertentangan) yang dilalui.
Literasi bisa ditumbuhkan dengan spirit membaca dan menulis untuk mengisi nutrisi keilmuan yang itu memang adalah sifat yang harus dimiliki oleh siswa. Karena untuk meningkatkan intelektualitas dan nalar kritis diperlukan wawasan yang luas dan hal ini dapat diperoleh dengan literasi. Di tengah pandemic Covid 19, kuliah daring ini pembelajaran yang pasti selalu serba digitalisasi. Sehingga serba digitalisasi ini harus dimanfaatkan bagi siswa dengan semangat literasi.
Semangat literasi dapat diwujudkan dengan kemampuan membaca seperti membaca buku maupun kemampuan menulis seperti menulis di media massa dengan harapan dapat membuka ruang diskusi maupun sumbangsih ide dan gagasan serta nalar kritis kontrolnya terhadap struktur tertentu yang mungkin dianggap bengkok. Iklim spirit literasi harus dibangun dalam kuliah daring ini. Karena dengan literasilah dapat membantu menumbuhkan intelektual dan mengembangkan budi pekerti yang baik di dalam diri seseorang.
Socrates mengatakan bahwa “budi seseorang tergantung ilmu pengetahuan mereka sehingga semakin banyak ilmu pengetahuan maka semakin baiklah akal dan budinya”. Selain mahasiswa membangun iklim spirit literasi, guru sebagai tenaga pendidik pun harus memberikan dorongan serta contoh terhadap siswa dengan menciptakan pula iklim budaya literasi yang dapat mengakar. Guru juga harus aktif di media massa baik media cetak maupun non cetak dengan suguhan-suguhan konten yang dihasilkan seperti karya tulisan agar dapat dibaca, dinikmati, dan mengedukasi terhadap masyarakat utamanya bagi siswa.
Apalagi di tengah pandemic yang mengharuskan ruang gerak gerik kita terbatas khususnya dalam sektor pendidikan sehingga semuanya serba beralih secara daring, maka tidak ada alasan untuk menumbuhkan dan mengembangkan spirit literasi yang menjadi alternative efektif untuk menopang nutrisi keilmuan yang maksimal di kuliah daring ini.
Bagi bangsa Indonesia, tradisi membacasesungguhnya memiliki legitimasi historis, sekaligus teologis. Para tokoh pendiri Republi kini adalah sosok-sosok yang memiliki kegandrungan luar biasa terhadap buku. Soekarno, Sjahrir, Soepomo, AgusSalim, dan tokoh lainnya adalah tokoh-tokoh yang kutu buku. Mereka besar bukan sekedar karena sejarah pergerakan politiknya, tetapi mereka juga dikenal karena kualitasnya intelektualnya yang dibangun melalui membaca buku. Sayangnya, tradisi membaca yang telah ditunjukkan oleh para founding fathers kita tidak terwarisi secara baik oleh pemimpin-pemimpin berikutnya. Tradisi membaca yang diperlihatkan oleh para tokoh pergerakan dan telah ikut mengantarkan kemerdekaan ini diletakkan sebatas kenangan sejarah masalalu. Gemerlap pembangunan yang dicanangkan oleh zaman orde baru telah mengeliminasi tradisi membaca yang seharusnya menjadi landasan pembangunan itu sendiri.
Pendekatan stabilitas yang diterapkan zaman orde baru demi pertumbuhan ekonomi telah membatasi ruang kebebasan untuk membaca karena dicurigai dapat membangkitkan kritisisme yang bisa mengancam stabilitas. Seleksi atas terbitan buku-buku didasarkan pada pertimbangan politik kekuasaan. Tidak heran apabila sebagian generasi bangsa ini terputus dengan sejarah masa lalunya karena intervensi kekuasaan terhadap dunia perbukuan.
Rendahnya budaya membaca karena kebijakan politik pembangunan tersebut telah menyebabkan negara seperti bangunan yang tanpa akar. Gemerlap pembangunan fisik yang telah menyeret masyarakat pada budaya konsumerisme justru mematikan budaya baca. Bahkan ,menurut UNESCO, Indonesia pernah mengalami masa buram dunia baca ketika tak satupun buku terbit pada tahun itu. Saat ini masyarakat tengah menikmati kebebasan dalam berbagai level kehidupan, termasuk dalam memilih bahan bacaan. Apalagi didukung oleh keberadaan buku yang terbit seperti jamurdi musim hujan. Secara logika saat ini seharusnya tumbuh semangat dan budaya membaca yang semakin kuat.
Namun tampaknya hal tersebut belum memberi banyak perubahan karena berbagai faktor lainnya. Seperti daya beli masyarakat yang rendah. Di tengah kebutuhan hidup yang semakin tinggi, masyarakat belum sempat berpikir untuk menjadikan buku sebagai bagian dari menu belanjanya.
Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) mencatat, Peringkat PISA Indonesia berdasarkan survei tahun 2018 berada dalam urutan bawah. Untuk kompetensi membaca, Indonesia berada dalam peringkat 72 dari 77 negara. Untuk nilai matematika, berada diperingkat 72 dari 78 negara. Sedangkan nilai sains berada di peringkat 70 dari 78 negara. Data BPS lain juga menyebutkan membaca belum menjadi sumber utama mendapatkan informasi. Orang lebih memilih menonton tv dan mendengarkan radio. Data menunjukkan hanya 22,06% dari total penduduk Indonesia yang membaca untuk memperoleh informasi sedangkan mendengar radio ada 50,29% serta persentase terbesar menonton tv yaitu 84,94%. Angka-angka tersebut membuktikan bahwa minat baca di Indonesia secara keseluruhan masih sangat rendah. Ini berarti bahwaSDM Indonesia tertinggal dibandingkandengannegara-negaradi kawasanAsiapasifik,bahkandi ASEAN. Standarhidupdankualitashidupbangsa Indonesia masih tertinggal.Hal ini berdampakpulapada tingkat budaya masyarakat,termasukbudayamemkbaca.
Kenyataanini memperlihatkan kompleksitas persoalan yang menyelimuti bangsa Indonesia. Rendahnya kualitas hidup bangsa Indonesia salah satunya karena pengetahuan masyarakat masih rendah. Pengetahuan masyarakat rendah karena budaya membaca masyarakat rendah. Budaya membaca masyarakat rendah karena standar standar hidupnya rendah. Begitulah lingkaran setan problem kebangsaan kita saat ini. Lingkaran masalah ini bisa diselesaikan melalui pendekatan yang komprehensif yang melibatkan semua pihak, baik pemerintah maupiun swasta, khususnya dalam membangun budaya baca masyarakat.
Membangun budaya baca bukan sekadar menyediakan buku atau ruanbaca,tetapi juga membangun pemikiran, perilaku, dan budaya dari generasi yang tidak suka membaca menjadi generasi pencinta buku. Dari sana kreativitas dan transfer pengetahuan bisa berlangsung dan berkembang secara intensif. Walaupun perkembangan teknologi informasi begitu pesat,buku tetap menjadi media yang tak terkalahkan. Kemajuan sebuah bangsa bukan berasal dari melihatatau mendengarkan,tetapi dari membaca catatan-catatan, literatur, dan berkas-berkas tertulis. Terakhir pesan dari Mohammad Hatta “Aku rela di penjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas”. Karenanya, membaca adalah melawan, melawan kebodohan. Semoga pesan dari Mohammad Hatta ini dapat kita jadikan spirit literasi bagi kita semua sebagai insan pendidikan ditengah-tengah masa pandemic ini.
*) Penulis adalah Guru SMAN 2 Bengkayang