25 C
Pontianak
Sunday, June 4, 2023

14 Tahun Kubu Raya Menanjak dan Bahagia

KEMARIN, 17 Juli 2021, diperingati sebagai Hari Jadi Kabupaten Kubu Raya. Sejarahnya bermula dari Sidang Paripurna DPR-RI yang mengesahkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Kubu Raya di Kalimantan Barat, 17 Juli 2007 di Gedung DPR-RI Senayan, Jakarta. Sidang yang dipimpin Wakil Ketua DPR-RI Soetarjo Soerjogoeritno tersebut juga mengesahkan sejumlah daerah otonomi baru lainnya seperti Padang Lawas, Angkola Sipirok, Manggarai Timur, Tana Tidung, Pesawaran, Kota Serang, dan Kota Tual.

Kabupaten Kubu Raya merupakan pemekaran dari Kabupaten Pontianak yang diundangkan pada 10 Agustus 2007. Terdiri dari sembilan kecamatan yakni Kecamatan Sungai Raya, Kecamatan Sungai Kakap, Kecamatan Sungai Ambawang, Kecamatan Kuala Mandor B, Kecamatan Rasau Jaya, Kecamatan Batu Ampar, Kecamatan Kubu, Kecamatan Terentang, dan Kecamatan Teluk Pakedai. Kabupaten Pontianak sebagai kabupaten induk, dalam sejarahnya kemudian berganti nama menjadi Kabupaten Mempawah pada 21 Juli 2014. Pergantian ini berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2014 tentang Perubahan Nama Kabupaten Pontianak menjadi Kabupaten Mempawah.

Kabupaten Kubu Raya menjadi daerah otonomi terbuncit di Kalimantan Barat, lantaran setelah itu, pemerintah mengeluarkan moratorium pemekaran daerah sejak 22 Januari 2008. Menurut jurnal yang ditulis Dian Ratna Sari, berjudul Menyoal Moratorium Pemekaran Daerah, kebijakan moratorium merupakan imbas dari masifnya pemekaran daerah yang terjadi di era reformasi sejak diberlakukannya Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang ini sendiri telah direvisi sebanyak empat kali dengan nama yang sama, menjadi UU Nomor 32 Tahun 2004, UU Nomor 23 Tahun 2014, dan terakhir UU Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah. Jika di tahun 1999 Indonesia hanya memiliki 26 provinsi dan 293 kabupaten/kota, dalam rentang waktu 15 tahun jumlah tersebut kini menjadi 34 provinsi dan 508 kabupaten/kota. Banyaknya Daerah Otonom Baru (DOB) yang berhasil lahir telah menjadi stimulus bagi daerah lain untuk ikut menuntut pemekaran. Hingga saat ini, meskipun moratorium sedang berjalan, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) bahkan masih menerima sebanyak 314 usulan pemekaran daerah setingkat provinsi dan kabupaten/kota dari seluruh Indonesia.

Baca Juga :  Menantu Tewas Bersimbah Darah Diduga Dihabisi Mertua Sendiri

Agus Santoso dalam jurnalnya yang berjudul Otonomi Daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia menjelaskan perkembangan otonomi daerah di Indonesia mengalami pasang surut dengan corak yang berbeda-beda, yang tentunya dilandasi dengan peraturan perundang-undangan yang coraknya berbeda-beda pula. Pasalnya, lahirnya undang-undang yang mendasari otonomi daerah itu, menurut dia, dilatarbelakangi oleh kondisi politik hukum yang berkembang pada saat itu.

Sejak tahun 1945, pelaksanaan otonomi daerah diatur melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Kedudukan Komite Nasional Daerah. Undang-Undang ini menekankan pada aspek cita-cita kedaulatan rakyat melalui pengaturan pembentukan Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Di dalam Undang-Undang ini ditentukan tiga jenis daerah otonomi, yaitu keresidenan, kabupaten, dan kota. Otonomi daerah diberikan kepada daerah bersamaan pada saat pembentukan daerah melalui undang-undang berupa kewenangan pangkal yang sangat terbatas dan selama kurun waktu 3 tahun belum ada Peraturan Pemerintah yang mengaturnya. Undang-undang ini belum bisa dilaksanakan sepenuhnya. Kemudian berlakunya Undang-Undang Nomor Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang ini hanya berfokus pada pengaturan tentang susunan pemerintahan daerah yang demokrasi. Di dalam undang-undang ini ditentukan dua jenis daerah otonom, yaitu daerah otonomi biasa dan daerah otonomi istimewa serta tiga tingakatan daerah otonom, yaitu Provinsi, Kabupaten/Kota Besar dan Desa/Kota Kecil. Undang-Undang ini juga belum bisa dilaksanakan sepenuhnya. Dalam perjalanannya, daerah-daerah yang ada di Kalimantan Barat (Kalbar) saat ini terbentuk melalui Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1953 tentang Pembentukan (Resmi) Daerah Otonom Kabupaten/Daerah Istimewa Tingkat Kabupaten dan Kota Besar dalam Lingkungan Propinsi Kalimantan. Dalam pasal 1 disebutkan bahwa daerah-daerah Kabupaten Sambas yang meliputi wilayah Swapraja Sambas, Kabupaten Pontianak meliputi wilayah-wilayah Swapraja Mampawah, Landak, dan Kubu; Kabupaten Ketapang yang meliputi wilayah-wilayah Swapraja Matan, Sukadana, Simpang; Kabupaten Sanggau yang meliputi wilayah-wilayah Swapraja Sanggau, Tayan, neo-Swapraja Meliau, dan Kawedanan Sekadau; Kabupaten Sintang yang meliputi wilayah-wilayah Swapraja Sintang dan neo-Swapraja Pinoh; Kabupaten Kapuas Hulu yang meliputi wilayah neo-Swapraja Kapuas Hulu, dan Kota Pontianak yang meliputi wilayah Landschapsgemente Pontianak yang dimaksud dalam keputusan Pemerintah Kerajaan Pontianak tertanggal 14 Agustus 1946 No.24/1/1946/PK. Artinya saat itu, wilayah Kalbar saat ini masih berada dalam Provinsi Kalimantan.

Baca Juga :  Limbah B3 Medis Melonjak 

Kemudian pada 29 Nopember 1956, pemerintah menerbitkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah-daerah Otonom Propinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur. Dalam penjelasan undang-udang tersebut dijabarkan bahwa Provinsi Kalbar meliputi Kabupaten Sambas, Kabupaten Pontianak, Kabupaten Ketapang, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Sintang, Kabupaten Kapuas Hulu, dan Kota Besar Pontianak.

Jumlah enam kabupaten dan satu kota tersebut bertahan hingga pemerintahan Orde Baru berakhir atau dimulainya Orde Reformasi. Dimulai dengan terbentuknya Kabupaten Bengkayang yang memekarkan diri dari Kabupaten Sambas dan diundangkan pada 20 April 1999, kemudian Kabupaten Landak dari Kabupaten Pontianak pada 4 Oktober 1999, Kota Singkawang dari Kabupaten Bengkayang pada 21 Juni 2001, Kabupaten Melawi dan Kabupaten Sekadau pada 18 Desember 2003, Kabupaten Kayong Utara pada 2 Januari 2007, serta terakhir Kabupaten Kubu Raya pada 10 Agustus 2007. Kemudian pada 21 Juli 2014, terbit Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2014 tentang Perubahan Nama Kabupaten Pontianak menjadi Kabupaten Mempawah.

Sampai kini, setidaknya telah berdiri 14 daerah otonomi di Kalbar, yang terdiri dari 12 pemerintah kabupaten dan dua pemerintah kota. Duabelas pemerintah kabupaten tersebut meliputi Kabupaten Sambas, Kabupaten Mempawah, Kabupaten Ketapang, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Sintang, Kabupaten Kapuas Hulu, Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Landak, Kabupaten Melawi, Kabupaten Sekadau, Kabupaten Kayong Utara, dan terakhir Kabupaten Kubu Raya. Sedangkan dua pemerintah kota yang dimaksud adalah Kota Pontianak dan Kota Singkawang. (berbagai sumber)

KEMARIN, 17 Juli 2021, diperingati sebagai Hari Jadi Kabupaten Kubu Raya. Sejarahnya bermula dari Sidang Paripurna DPR-RI yang mengesahkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Kubu Raya di Kalimantan Barat, 17 Juli 2007 di Gedung DPR-RI Senayan, Jakarta. Sidang yang dipimpin Wakil Ketua DPR-RI Soetarjo Soerjogoeritno tersebut juga mengesahkan sejumlah daerah otonomi baru lainnya seperti Padang Lawas, Angkola Sipirok, Manggarai Timur, Tana Tidung, Pesawaran, Kota Serang, dan Kota Tual.

Kabupaten Kubu Raya merupakan pemekaran dari Kabupaten Pontianak yang diundangkan pada 10 Agustus 2007. Terdiri dari sembilan kecamatan yakni Kecamatan Sungai Raya, Kecamatan Sungai Kakap, Kecamatan Sungai Ambawang, Kecamatan Kuala Mandor B, Kecamatan Rasau Jaya, Kecamatan Batu Ampar, Kecamatan Kubu, Kecamatan Terentang, dan Kecamatan Teluk Pakedai. Kabupaten Pontianak sebagai kabupaten induk, dalam sejarahnya kemudian berganti nama menjadi Kabupaten Mempawah pada 21 Juli 2014. Pergantian ini berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2014 tentang Perubahan Nama Kabupaten Pontianak menjadi Kabupaten Mempawah.

Kabupaten Kubu Raya menjadi daerah otonomi terbuncit di Kalimantan Barat, lantaran setelah itu, pemerintah mengeluarkan moratorium pemekaran daerah sejak 22 Januari 2008. Menurut jurnal yang ditulis Dian Ratna Sari, berjudul Menyoal Moratorium Pemekaran Daerah, kebijakan moratorium merupakan imbas dari masifnya pemekaran daerah yang terjadi di era reformasi sejak diberlakukannya Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang ini sendiri telah direvisi sebanyak empat kali dengan nama yang sama, menjadi UU Nomor 32 Tahun 2004, UU Nomor 23 Tahun 2014, dan terakhir UU Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah. Jika di tahun 1999 Indonesia hanya memiliki 26 provinsi dan 293 kabupaten/kota, dalam rentang waktu 15 tahun jumlah tersebut kini menjadi 34 provinsi dan 508 kabupaten/kota. Banyaknya Daerah Otonom Baru (DOB) yang berhasil lahir telah menjadi stimulus bagi daerah lain untuk ikut menuntut pemekaran. Hingga saat ini, meskipun moratorium sedang berjalan, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) bahkan masih menerima sebanyak 314 usulan pemekaran daerah setingkat provinsi dan kabupaten/kota dari seluruh Indonesia.

Baca Juga :  Ratusan Preman Diringkus

Agus Santoso dalam jurnalnya yang berjudul Otonomi Daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia menjelaskan perkembangan otonomi daerah di Indonesia mengalami pasang surut dengan corak yang berbeda-beda, yang tentunya dilandasi dengan peraturan perundang-undangan yang coraknya berbeda-beda pula. Pasalnya, lahirnya undang-undang yang mendasari otonomi daerah itu, menurut dia, dilatarbelakangi oleh kondisi politik hukum yang berkembang pada saat itu.

Sejak tahun 1945, pelaksanaan otonomi daerah diatur melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Kedudukan Komite Nasional Daerah. Undang-Undang ini menekankan pada aspek cita-cita kedaulatan rakyat melalui pengaturan pembentukan Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Di dalam Undang-Undang ini ditentukan tiga jenis daerah otonomi, yaitu keresidenan, kabupaten, dan kota. Otonomi daerah diberikan kepada daerah bersamaan pada saat pembentukan daerah melalui undang-undang berupa kewenangan pangkal yang sangat terbatas dan selama kurun waktu 3 tahun belum ada Peraturan Pemerintah yang mengaturnya. Undang-undang ini belum bisa dilaksanakan sepenuhnya. Kemudian berlakunya Undang-Undang Nomor Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang ini hanya berfokus pada pengaturan tentang susunan pemerintahan daerah yang demokrasi. Di dalam undang-undang ini ditentukan dua jenis daerah otonom, yaitu daerah otonomi biasa dan daerah otonomi istimewa serta tiga tingakatan daerah otonom, yaitu Provinsi, Kabupaten/Kota Besar dan Desa/Kota Kecil. Undang-Undang ini juga belum bisa dilaksanakan sepenuhnya. Dalam perjalanannya, daerah-daerah yang ada di Kalimantan Barat (Kalbar) saat ini terbentuk melalui Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1953 tentang Pembentukan (Resmi) Daerah Otonom Kabupaten/Daerah Istimewa Tingkat Kabupaten dan Kota Besar dalam Lingkungan Propinsi Kalimantan. Dalam pasal 1 disebutkan bahwa daerah-daerah Kabupaten Sambas yang meliputi wilayah Swapraja Sambas, Kabupaten Pontianak meliputi wilayah-wilayah Swapraja Mampawah, Landak, dan Kubu; Kabupaten Ketapang yang meliputi wilayah-wilayah Swapraja Matan, Sukadana, Simpang; Kabupaten Sanggau yang meliputi wilayah-wilayah Swapraja Sanggau, Tayan, neo-Swapraja Meliau, dan Kawedanan Sekadau; Kabupaten Sintang yang meliputi wilayah-wilayah Swapraja Sintang dan neo-Swapraja Pinoh; Kabupaten Kapuas Hulu yang meliputi wilayah neo-Swapraja Kapuas Hulu, dan Kota Pontianak yang meliputi wilayah Landschapsgemente Pontianak yang dimaksud dalam keputusan Pemerintah Kerajaan Pontianak tertanggal 14 Agustus 1946 No.24/1/1946/PK. Artinya saat itu, wilayah Kalbar saat ini masih berada dalam Provinsi Kalimantan.

Baca Juga :  Kiprah Pertamina di Era Pandemi, CSR Hingga Pertashop di Pelosok Kalbar

Kemudian pada 29 Nopember 1956, pemerintah menerbitkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah-daerah Otonom Propinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur. Dalam penjelasan undang-udang tersebut dijabarkan bahwa Provinsi Kalbar meliputi Kabupaten Sambas, Kabupaten Pontianak, Kabupaten Ketapang, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Sintang, Kabupaten Kapuas Hulu, dan Kota Besar Pontianak.

Jumlah enam kabupaten dan satu kota tersebut bertahan hingga pemerintahan Orde Baru berakhir atau dimulainya Orde Reformasi. Dimulai dengan terbentuknya Kabupaten Bengkayang yang memekarkan diri dari Kabupaten Sambas dan diundangkan pada 20 April 1999, kemudian Kabupaten Landak dari Kabupaten Pontianak pada 4 Oktober 1999, Kota Singkawang dari Kabupaten Bengkayang pada 21 Juni 2001, Kabupaten Melawi dan Kabupaten Sekadau pada 18 Desember 2003, Kabupaten Kayong Utara pada 2 Januari 2007, serta terakhir Kabupaten Kubu Raya pada 10 Agustus 2007. Kemudian pada 21 Juli 2014, terbit Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2014 tentang Perubahan Nama Kabupaten Pontianak menjadi Kabupaten Mempawah.

Sampai kini, setidaknya telah berdiri 14 daerah otonomi di Kalbar, yang terdiri dari 12 pemerintah kabupaten dan dua pemerintah kota. Duabelas pemerintah kabupaten tersebut meliputi Kabupaten Sambas, Kabupaten Mempawah, Kabupaten Ketapang, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Sintang, Kabupaten Kapuas Hulu, Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Landak, Kabupaten Melawi, Kabupaten Sekadau, Kabupaten Kayong Utara, dan terakhir Kabupaten Kubu Raya. Sedangkan dua pemerintah kota yang dimaksud adalah Kota Pontianak dan Kota Singkawang. (berbagai sumber)

Most Read

Artikel Terbaru