27.8 C
Pontianak
Wednesday, May 31, 2023

Puasa dan Kesalehan Sosial

Oleh: Dr.H.Hamzah Tawil,M.Si

KEMISKINAN adalah keadaan saat ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pekerjaan dan pendidikan.Kemiskinan juga merupakan masalah global. Tentunya sebagai warga kita turut prihatin dengan kondisi kemiskinan yang ada di sekeliling kita. Lalu, apa korelasinya makna puasa yang sedang kita jalani saat ini dengan kondisi kemiskinan yang ada di sekitar kita?

Puasa merupakan salah satu pilar fundamental tegaknya bangunan Islam. Di antara motivasi dan cita-cita besar Allah mewajibkan umat Islam berpuasa adalah agar menjadi manusia yang bertakwa kepadaNya. Kelebihan puasa dari ritual upacara ibadah lainnya dalam Islam adalah karena sifatnya yang pribadi dan tersembunyi alias tidak terlihat oleh pandangan kasat manusia.

Berangkat dari sinilah, Allah dalam sebuah hadis qudsi di kitab Bukhori dan Muslim berfirman dengan tegas bahwa puasa adalah milikNya yang pribadi dan Ia pun akan memberikan pahala secara spesial dan pribadi kepada hamba-hambanya yang diterima amal ibadah puasanya. (M. Afifuddin Muchit)

Kentalnya nuansa individual seorang hamba dengan Tuhannya dalam dimensi ibadah puasa ini karena pesan tafsir yang banyak diadopsi kaum muslimin dari makna takwa yang mengarah kepada makna kedekatan personal seorang hamba kepada Penciptanya. Ini merupakan sebuah makna konvensional takwa yang banyak dipahami oleh umat Islam selama ini.

Namun, kalau kita mau membaca ulang makna takwa yang terdapat pada surat al-Baqarah 183 maka ia punya makna yang lebih holistik dan komprehensif yang tidak hanya mengarah kepada dimensi vertikal hamba dan Tuhannya saja, akan tetapi punya dimensi garis horisontal yang kental dengan nuansa kehidupan sosial seperti berderma, membebaskan budak (menyantuni orang dhuafa), sabar dalam menerima cobaan. Karena barometer kebajikan bagi Allah bukan diukur dari banyaknya interaksi pribadi hamba kepadaNya akan tetapi kebajikan yang bersifat holistik, yang dapat menjiwainya dalam kehidupan sosial.

Baca Juga :  Ibadah Puasa Ramadhan dan Dimensi Sosial

Bulan Ramadhan ini sebenarnya punya maksud dan nilai yang sangat mulia yang tidak hanya terbatas pada pembentukan pribadi-pribadi yang shaleh tapi juga membentuk karakter sebuah masyarakat yang saleh dan kokoh. Karena puasa ini sebenarnya sarat dengan pesan etika kesalehan sosial yang sangat tinggi, seperti pengendalian diri, disiplin, kejujuran, kesabaran, solidaritas dan saling tolong-menolong. Ini merupakan sebuah potret yang mengarah kepada eratnya kesalehan pribadi dengan kesalehan sosial.

Menahan makan dan minum selama hampir 13 Jam lebih (Waktu Indonesia Barat) walau kita mampu tentunya menjadikan kita layaknya orang ‘miskin’ yang kelaparan. Rasa lapar, haus dan dahaga selama sebulan penuh mengajarkan kepada kita sakitnya penderitaan saudara-saudara kita yang miskin dan tidak mampu. Bermula dari rasa lapar dan haus inilah seharusnya menjadikan kita lebih peka terhadap kondisi sosial masyarakat yang ada di sekitar kita. Memberi tanpa mengharap imbalan (ikhlas), menolong tanpa melihat suku dan agama tertentu (SARA) adalah kesalehan sosial yang menjadi bagian dari makna la’allakum tattaquun (agar kita menjadi orang yang bertakwa) itu sendiri.

Ibadah lain yang tak kalah pentingnya adalah salat. Khusus di bulan Ramadhan, terdapat satu salat yang tidak terdapat di bulan lain, yaitu salat tarawih. Salat tarawih dilaksanakan secara berjemaah di masjid, dan dilakukan setiap malam di bulan Ramadhan. Ibadah ini pun tak lepas dari dimensi sosialnya.

Baca Juga :  Saat Balita Ikut Berpuasa

Pada salat tarawih, seluruh jemaah berkumpul menjadi satu, setara di hadapan Allah, SWT. Tak ada lagi pangkat, jabatan, atau strata sosial. Semua menjadi satu. Bergerak bersama, berbaris sejajar, duduk sama rendah, dan berdiri sama tinggi. Tak ada lagi batas antara si kaya dan si miskin, pejabat atau pesuruh, atasan maupun bawahan, apalagi hanya sekat-sekat kesukuan atau kedaerahan. Semua lebur menjadi satu

Mengapa puasa Ramadhan ditutup dengan membayar zakat fitrah? Ini merupakan bukti alangkah besarnya kepedulian Allah terhadap problematika sosial terutama kemiskinan. Ia tidak hanya peduli terhadap kesalehan pribadi tapi juga kepada kesalehan sosial sehingga Ia pun menggantungkan keabsahan kesalehan pribadi kepada kesalehan sosial. Karena Ia tidak akan ragu-ragu dan segan menolak puasanya pribadi-pribadi muslim manakala mereka belum menunaikan ibadah sosial berupa zakat fitrah.

Namun patut disayangkan, cita-cita puasa yang punya nilai kemanusian yang tinggi masih belum banyak disadari oleh insan yang berpuasa itu sendiri. Kita masih saja terjebak dengan ritual upacara tahunan tersebut tanpa ada perubahan-perubahan yang mendasar pada perilaku kehidupan keseharian. Kita hanya mengejar kesalehan pribadi tanpa ada ketersambungan sekali dengan kesalehan sosial. Fenomena ini memang bisa dipahami, karena masih jarang para dai atau muballigh yang membedah puasa dalam perspektif ibadah sosial.

Mereka lebih suka mengurai puasa dari sudut pendekatan garis vertikal (hablun minallah) tanpa memberikan relevansinya dengan garis horisontal (hablun minannaas) sehingga membuat puasa tereduksi dalam media privat dan kehilangan daya kontrolnya dalam perilaku kehidupan muslim di tengah kehidupan bermasyarakat sosial. Allahu A’lam.

 Penulis Pimpinan Baznas Kalbar dan Warek 2  UNU Kalbar

Oleh: Dr.H.Hamzah Tawil,M.Si

KEMISKINAN adalah keadaan saat ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pekerjaan dan pendidikan.Kemiskinan juga merupakan masalah global. Tentunya sebagai warga kita turut prihatin dengan kondisi kemiskinan yang ada di sekeliling kita. Lalu, apa korelasinya makna puasa yang sedang kita jalani saat ini dengan kondisi kemiskinan yang ada di sekitar kita?

Puasa merupakan salah satu pilar fundamental tegaknya bangunan Islam. Di antara motivasi dan cita-cita besar Allah mewajibkan umat Islam berpuasa adalah agar menjadi manusia yang bertakwa kepadaNya. Kelebihan puasa dari ritual upacara ibadah lainnya dalam Islam adalah karena sifatnya yang pribadi dan tersembunyi alias tidak terlihat oleh pandangan kasat manusia.

Berangkat dari sinilah, Allah dalam sebuah hadis qudsi di kitab Bukhori dan Muslim berfirman dengan tegas bahwa puasa adalah milikNya yang pribadi dan Ia pun akan memberikan pahala secara spesial dan pribadi kepada hamba-hambanya yang diterima amal ibadah puasanya. (M. Afifuddin Muchit)

Kentalnya nuansa individual seorang hamba dengan Tuhannya dalam dimensi ibadah puasa ini karena pesan tafsir yang banyak diadopsi kaum muslimin dari makna takwa yang mengarah kepada makna kedekatan personal seorang hamba kepada Penciptanya. Ini merupakan sebuah makna konvensional takwa yang banyak dipahami oleh umat Islam selama ini.

Namun, kalau kita mau membaca ulang makna takwa yang terdapat pada surat al-Baqarah 183 maka ia punya makna yang lebih holistik dan komprehensif yang tidak hanya mengarah kepada dimensi vertikal hamba dan Tuhannya saja, akan tetapi punya dimensi garis horisontal yang kental dengan nuansa kehidupan sosial seperti berderma, membebaskan budak (menyantuni orang dhuafa), sabar dalam menerima cobaan. Karena barometer kebajikan bagi Allah bukan diukur dari banyaknya interaksi pribadi hamba kepadaNya akan tetapi kebajikan yang bersifat holistik, yang dapat menjiwainya dalam kehidupan sosial.

Baca Juga :  Menggapai Takwa Dalam Bulan Ramadan

Bulan Ramadhan ini sebenarnya punya maksud dan nilai yang sangat mulia yang tidak hanya terbatas pada pembentukan pribadi-pribadi yang shaleh tapi juga membentuk karakter sebuah masyarakat yang saleh dan kokoh. Karena puasa ini sebenarnya sarat dengan pesan etika kesalehan sosial yang sangat tinggi, seperti pengendalian diri, disiplin, kejujuran, kesabaran, solidaritas dan saling tolong-menolong. Ini merupakan sebuah potret yang mengarah kepada eratnya kesalehan pribadi dengan kesalehan sosial.

Menahan makan dan minum selama hampir 13 Jam lebih (Waktu Indonesia Barat) walau kita mampu tentunya menjadikan kita layaknya orang ‘miskin’ yang kelaparan. Rasa lapar, haus dan dahaga selama sebulan penuh mengajarkan kepada kita sakitnya penderitaan saudara-saudara kita yang miskin dan tidak mampu. Bermula dari rasa lapar dan haus inilah seharusnya menjadikan kita lebih peka terhadap kondisi sosial masyarakat yang ada di sekitar kita. Memberi tanpa mengharap imbalan (ikhlas), menolong tanpa melihat suku dan agama tertentu (SARA) adalah kesalehan sosial yang menjadi bagian dari makna la’allakum tattaquun (agar kita menjadi orang yang bertakwa) itu sendiri.

Ibadah lain yang tak kalah pentingnya adalah salat. Khusus di bulan Ramadhan, terdapat satu salat yang tidak terdapat di bulan lain, yaitu salat tarawih. Salat tarawih dilaksanakan secara berjemaah di masjid, dan dilakukan setiap malam di bulan Ramadhan. Ibadah ini pun tak lepas dari dimensi sosialnya.

Baca Juga :  Kursus Singkat Ramadan

Pada salat tarawih, seluruh jemaah berkumpul menjadi satu, setara di hadapan Allah, SWT. Tak ada lagi pangkat, jabatan, atau strata sosial. Semua menjadi satu. Bergerak bersama, berbaris sejajar, duduk sama rendah, dan berdiri sama tinggi. Tak ada lagi batas antara si kaya dan si miskin, pejabat atau pesuruh, atasan maupun bawahan, apalagi hanya sekat-sekat kesukuan atau kedaerahan. Semua lebur menjadi satu

Mengapa puasa Ramadhan ditutup dengan membayar zakat fitrah? Ini merupakan bukti alangkah besarnya kepedulian Allah terhadap problematika sosial terutama kemiskinan. Ia tidak hanya peduli terhadap kesalehan pribadi tapi juga kepada kesalehan sosial sehingga Ia pun menggantungkan keabsahan kesalehan pribadi kepada kesalehan sosial. Karena Ia tidak akan ragu-ragu dan segan menolak puasanya pribadi-pribadi muslim manakala mereka belum menunaikan ibadah sosial berupa zakat fitrah.

Namun patut disayangkan, cita-cita puasa yang punya nilai kemanusian yang tinggi masih belum banyak disadari oleh insan yang berpuasa itu sendiri. Kita masih saja terjebak dengan ritual upacara tahunan tersebut tanpa ada perubahan-perubahan yang mendasar pada perilaku kehidupan keseharian. Kita hanya mengejar kesalehan pribadi tanpa ada ketersambungan sekali dengan kesalehan sosial. Fenomena ini memang bisa dipahami, karena masih jarang para dai atau muballigh yang membedah puasa dalam perspektif ibadah sosial.

Mereka lebih suka mengurai puasa dari sudut pendekatan garis vertikal (hablun minallah) tanpa memberikan relevansinya dengan garis horisontal (hablun minannaas) sehingga membuat puasa tereduksi dalam media privat dan kehilangan daya kontrolnya dalam perilaku kehidupan muslim di tengah kehidupan bermasyarakat sosial. Allahu A’lam.

 Penulis Pimpinan Baznas Kalbar dan Warek 2  UNU Kalbar

Most Read

Artikel Terbaru