JAKARTA – Pemerintah telah menyatakan perang terhadap tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mohammad Mahfud MD menegaskan kembali hal itu setelah memimpin pertemuan ASEAN Political and Security Council (APSC) di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur (NTT), kemarin (9/5).
Menurut Mahfud, tidak ada ampun bagi pelaku TPPO. Dia menegaskan bahwa pelaku TPPO tidak berhak atas restorative justice. Sebab, TPPO bukan kejahatan biasa. ”TPPO adalah kejahatan serius yang tidak bisa didamaikan. Pelakunya harus dihukum,” tegasnya. Dia mengakui, TPPO merupakan salah satu topik penting yang dibahas dan mendapat perhatian khusus dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN Ke-42.
Mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu menyatakan, TPPO sudah menjadi penyakit yang mengancam kehidupan masyarakat. Sehingga perlu dibahas bersama oleh negara-negara ASEAN. ”Nanti akan diputuskan oleh negara-negara ASEAN bentuk kerja samanya,” kata Mahfud. Topik itu kian penting lantaran KTT ASEAN Ke-42 diselenggarakan di NTT, salah satu daerah di Indonesia yang korban TPPO-nya tinggi.
Kondisi tersebut diakui secara langsung oleh Mahfud. ”NTT itu daerah yang paling banyak tindak pidana perdagangan orangnya,” ucap dia. Menurut Mahfud, setiap tahun selalu ada masyarakat asal NTT yang kembali ke kampung halaman sudah dalam keadaan meninggal dunia. ”Pulang dari luar negeri sudah menjadi mayat. Karena diperjualbelikan sebagai budak oleh mafia perdagangan orang,” tambah pria berdarah Madura tersebut.
Karena itu, pemerintah mengambil kebijakan menindak tegas pelaku TPPO. Pemerintah juga menyiapkan semua perangkat yang dibutuhkan untuk menghukum pelaku kejahatan tersebut. Berdasar informasi dari Kemenko Polhukam, salah satu prioritas capaian dari keketuaan Indonesia di ASEAN pada komponen ASEAN Matters tahun ini adalah kesepakatan dan implementasi kerja sama penanganan TPPO akibat penyalahgunaan teknologi. Sebab, bukan hanya WNI yang menjadi korban TPPO. Banyak juga warga negara ASEAN lainnya yang menjadi korban kejahatan perdagangan orang. Karena itu, pemerintah menilai perlu kerja sama yang kuat di antara aparat hukum negara-negara ASEAN.
Dalam pertemuan ASPC Ke-26 kemarin, Mahfud secara tegas menyampaikan bahwa ASEAN harus memiliki instrumen yang memadai untuk mengatasi kejahatan perdagangan orang atau TPPO. ”Termasuk melalui adopsi Leaders Declaration on Combating Trafficking in Persons Caused by Abuse of Technology yang memuat pendekatan komprehensif dalam hal pencegahan dan perlindungan korban serta meningkatkan kolaborasi antarnegara,” beber dia.
Pada bagian lain, Kadivhumas Polri Irjen Pol Sandi Nugroho mengatakan, tim pemeriksa dan repatriasi telah berangkat ke Filipina kemarin (9/5). Tim tersebut terdiri atas perwakilan dari Bareskrim, Baintelkam, dan Divhubinter Polri. Ada sejumlah kegiatan yang akan dilakukan di Filipina. ”Selama di Filipina, tim akan bekerja sama dengan Philippine National Police (PNP),” ucapnya.
Sesuai rencana, tim tersebut akan melakukan pemeriksaan terhadap dua tersangka WNI. Lalu dilanjutkan kunjungan ke Pampanga, lokasi safe house para WNI yang diamankan PNP. ”Akan dilakukan pemeriksaan dan wawancara di sana,” ujarnya.
Tim juga berupaya mendalami dugaan keterlibatan WNI lain. Yang belum tertangkap atau mungkin berada di Indonesia. Dua WNI yang menjadi tersangka berperan sebagai leader dan recruiter jaringan trafficking. ”WNI yang terlibat scamming dan bukan tersangka akan direpatriasi atau dipulangkan,” jelasnya.
Sementara itu, terkait kasus TPPO di Myanmar, Sandi mengatakan, setelah memeriksa sembilan orang saksi, penyidik menetapkan dua orang tersangka, yakni AT dan AD. ”Alat bukti yang didapatkan surat jalan CV dan paspor,” terangnya kemarin.
Menurut Sandi, kedua tersangka menggunakan dua dokumen itu untuk mengelabui petugas imigrasi. Sehingga para korban bisa keluar Indonesia dengan aman. ”Yang lalu dikirim ke Myanmar,” katanya.
Di Myanmar, para korban dijadikan operator scamming dengan sasaran warga Amerika Serikat dan Kanada. ”Pendalaman masih dilakukan. Rencananya, akan ada pemeriksaan di Bangkok,” terangnya.
Terpisah, Executive Director Migrant Care Wahyu Susilo mengungkapkan, kian banyak yang memanfaatkan media sosial untuk merekrut pekerja guna menjalankan kejahatan digital. Selain kemudahan akses, para perekrut ini memanfaatkan kondisi masyarakat di masa pandemi yang banyak membutuhkan pekerjaan.
Perekrutan, misalnya, dilakukan melalui Facebook, WhatsApp, dan Telegram. Perekrut mengirimkan link hingga iklan tawaran kerja dengan berbagai janji manis. Mulai gaji hingga USD 12 ribu, komisi 5–10 persen, biaya keberangkatan gratis, fasilitas selama bekerja, bahkan klaim bukan merupakan jual beli orang. ”Janjinya dijadikan customer service, admin, dan bagian input data,” ungkapnya.
Saat korban terpikat, mereka akan dimasukkan ke dalam grup WhatsApp atau Telegram. Grup tersebut jadi ruang edukasi dan pendampingan korban sampai nanti tiba di negara tujuan. Lalu, ada tes typing dalam bentuk video. Kadang ada tes wawancara juga. Dalam grup tersebut, mereka juga diajari cara menjawab ketika proses pembuatan paspor atau vaksin. ”Saat pembuatan paspor dan vaksin, mereka diajari untuk menjawab tujuannya berlibur,” jelasnya.
Saat tiba di negara tujuan, janji tinggal janji. Apa yang tersaji jauh berbeda dari mimpi-mimpi. Mereka dipekerjakan bukan sebagai CS ataupun admin. Mereka dipaksa melakukan online scamming. Biasanya mereka diminta berpura-pura menjadi perempuan. Lalu mencoba menjerat target/korban melalui media sosial atau dating apps.
Setelah itu mereka disuruh menawarkan investasi kepada target dengan mengirim link/url. Untuk lebih meyakinkan, disediakan model untuk melakukan video call dengan calon korban. Jika sukses menggaet korban, nantinya ada deposit yang disetorkan dan admin yang bertugas mengurus uang tersebut.
Dalam bekerja, mereka diberi target deposit Rp 600 ribu per orang per hari. Mereka biasanya bekerja dalam tim, di mana satu tim terdiri dari 5–6 orang dengan target USD 30 ribu. ”Ketika member secara akumulasi sudah mencapai target, akses akun dan akses contact semua social media ditutup,” paparnya.
Selain itu, tak ada libur. Mereka dipekerjakan mulai pukul 09.00 sampai 01.00. Rata-rata 14–16 jam per hari. Tak ada waktu beribadah hingga makan yang diberikan tak layak. Nahasnya lagi, mereka tak mendapat gaji. Kalaupun ada yang digaji, baru diberikan setelah 45 hari kerja. Mereka juga tak diberi akses komunikasi.
Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Dokumen pribadi mereka ditahan pihak perekrut. Sehingga, ketika menerima denda hingga hukuman berupa kekerasan, baik fisik maupun verbal, mereka kesulitan untuk lari. ”Kalau mau keluar harus menebus. Penebusan ini sebesar Rp 35 sampai 150 juta. Atau pekerja pengganti, dua sampai tiga orang,” jelasnya. (syn/idr/mia/c9/oni)