PONTIANAK – Gubernur Kalbar Sutarmidji mengungkapkan, beberapa faktor yang membuat banjir di provinsi ini khususnya di daerah hulu Kalbar terus terjadi. Selain intensitas hujan yang tinggi, ia menilai saat ini kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Kapuas sudah rusak mencapai 70 persen.
“DAS Kapuas itu 70 persen sudah rusak,” katanya baru-baru ini.
Maka dari itu hal yang harus dilakukan ke depan menurutnya adalah bagaimana memperbaki DAS yang sudah rusak. Karena ketika DAS Kapuas sudah semakin rusak, Midji sapaan karibnya yakin sedimentasi di sungai tersebut sangat tinggi. Semisal dijelaskan dia, terjadi pendangkalan setinggi satu meter, maka volume air yang akan pindah ke darat juga setinggi satu meter.
“Kalau pendangkalan lebih dari satu meter maka air yang ke darat juga lebih dari itu. Karena tempat tampungan airnya berkurang,” ujarnya.
Bahkan untuk saat ini di wilayah Kabupaten Sintang, Melawi dan Kapuas Hulu menurutnya jika sudah terjadi hujan dengan intensitas tinggi serta ditambah wilayah Kalimantan Tengah terjadi banjir, maka tiga kabupaten tersebut pasti banjir. Untuk itu perbaikan DAS dinilai penting termasuk harus dilakukan penghijauan secara masif.Dengan upaya-upaya tersebut diharapkan daerah resapan air terutama di kawasan DAS Kapuasbisa terjaga.
“Maka perbaikan DAS perlu, penghijauan juga perlu,” katanya.
Lalu yang kedua Midji memperkirakan ada pendangkalan yang cukup tinggi di sepanjang Sungai Kapuas. Terutama di kawasan muara sungai yang menjadi pintu keluar air ke laut. Untuk itu pihaknya bakal menyurati Kementerian PUPR agar dilakukan pengerukan.
“Perkiraan saya karena dua tahun ini (muara) tidak pernah dikeruk, sehingga sedimentasinya sangat tinggi,” ungkapnya.
Hal tersebut yang kemudian diperkirakan membuat arus air sungai keluar ke laut menjadi lambat. Dulu dikatakan dia ketika Pelindo masih menggunakan pelabuhan utama di Pontianak, setiap tahun muara Sungai Kapuas pasti dikeruk. Tapi sudah sekitar dua tahun terakhir, pengerukan tidak lagi dilakukan.
“Sudah dua tiga tahun ini mungkin tidak ada (pengerukan). Nah ini mungkin menjadi salah satu penyebab (banjir) itu,” ucapnya.
Sebelumnya, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalimantan Barat menyebut, bencana banjir yang terjadi di sejumlah daerah di Kalimantan Barat adalah bagian dari krisis iklim.
Kepala Divisi dan Kampanye Walhi Kalbar Hendrikus Adam mengatakan, bencana ekologis banjir yang terjadi, mengonfirmasi terjadinya krisis iklim. Hal itu ditandai dengan anomali cuaca ekstrem di Kalbar.
“Kalau kita melihat bencana banjir ini tidak terjadi secara ujug-ujug. Tapi ada persolan mendasar yang lebih besar, yaitu rusaknya daerah penyangga atau bentang alam. Kemampuan daya tampung air jadi terganggu,” kata Adam.
“Artinya, hujan di sini hanya sebagai pemantik. Ada persoalan yang lebih besar,” sambung Adam.
Menurutnya, upaya ekstraksi sumber daya alam yang berlebihan, melalui pemberian izin konsesi dengan skala yang besar, baik itu di sektor perkebunan, pertambangan maupun kehutanan, juga menjadi salah satu penyebab kerusakan daerah penyangga tersebut.
Dalam konteks yang lain, lanjutnya, selain izin konsesi dan praktik eksploitasi, pengelolaan wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS), melalui pengerukan sekitar badan sungai, juga berpotensi menyebabkan pendangkalan sehingga ketika debit air besar, sangat memungkinan meluap.
Untuk penanganan jangka pendek, pemerintah diharapkan segera merespon, untuk memastikan hak-hak masyarakat/korban banjir. Sedangkan untuk jangka panjang, menurut Adam, perlu upaya perbaikan dan pemulihan terhadap bentang alam yang mengalami kerusakan.
Ia juga menyebutkan, bicara soal banjir bukan hanya bicara soal sektor per wilayah, melainkan kebijakan pemerintah lintas kabupaten. Kebijakan tersebut bukan berbasis pada kepentingan politis, melainkan lebih pada langkah mitigasi.
Deteksi dini terhadap wilayah yang rentan juga dinilai penting. Masyarakat hendaknya diberikan informasi yang bisa dipahami secara mudah sehingga langkah-langkah antisipasi bisa segera dilakukan, baik oleh pemerintah maupun masyarakat. (bar)