Sub-Komisi PBB untuk Hak Asasi Manusia mengadopsi 6 Februari sebagai Peringatan Hari Internasional Nol Toleransi Sunat Perempuan. Di Indonesia sendiri, tradisi sunat terhadap anak perempuan masih menjadi pro dan kontra.
MARSITA RIANDINI, Pontianak
SUNAT atau khitan bagi perempuan masih dilakukan oleh sejumlah orang tua terhadap buah hatinya. Beragam pandangan terkait boleh atau tidaknya sunat bagi perempuan. Baik dari sisi agama, kesehatan, maupun kultur budaya.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa mengenai sunat perempuan pada tahun 2008. Pada fatwa tersebut dikatakan bahwa yang wajib menjalani sunat hanyalah laki-laki. Sementara pada perempuan, melakukan sunat berarti merupakan makrumah atau ibadah yang dianjurkan.
“Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam fatwanya Nomor 9 A Tahun 2008 menyatakan bahwa khitan bagi laki laki dan perempuan termasuk fitrah (aturan) dan syiar Islam untuk kebersihan, dan khitan bagi perempuan adalah makrumah atau ibadah yang dianjurkan,” ujar M. Basri HAR, ketua Umum MUI Kalbar.
Dalam praktiknya, kata Basri, tak ada ketentuan usia, bahkan ada yang masih berusia balita. “Yang penting sudah layak, khususnya kaitan kesehatan. Caranya saya kurang tahu dan tidak pernah menyaksikan,” ungkapnya.
Bila merujuk dari sisi kesehatan, organisasi kesehatan dunia (WHO) mengatakan khitan pada anak perempuan tidak memiliki manfaat kesehatan dan berisiko menimbulkan perdarahan. Bahkan Kementerian Kesehatan menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 6 Tahun 2014. Di dalam peraturan tersebut, disebutkan sunat pada perempuan yang pelaksanaannya tidak berdasarkan indikasi medis dan belum terbukti bermanfaat bagi kesehatan. Namun, karena secara tradisi sunat perempuan masih sering dilakukan di Indonesia, Kementerian Kesehatan mengimbau agar khitan pada perempuan harus memperhatikan keselamatan dan kesehatan objek yang disunat, serta tidak melakukan mutilasi alat kelamin perempuan.
Menanggapi praktik sunat perempuan, dokter spesialis kulit dan kelamin, Retno Mustikaningsih tak memungkiri bahwa secara kultur, sunat perempuan masih banyak dilakukan di masyarakat Indonesia. Namun dari sisi kesehatan, menurut dia pada dasarnya tidak perlu dilakukan. Hal yang dalam pengamatan dia berbeda pada laki-laki, di mana sunat memiliki manfaat bagi kesehatan.
“Kalau pada laki-laki itu akan lebih sehat yang disunat daripada yang tidak disunat. Sementara bagi perempuan tidak berpengaruh apa-apa sih. Tidak disunat, tidak apa-apa,” katanya.
Hal lain yang perlu diperhatikan, kata Retno, adalah pada praktik sunat yang dilakukan. Mulai dari siapa yang menyunat dan bagaimana cara, serta menjaga keamanan dan kesehatan saat sunat dilakukan.
Sepengetahuan Retno, ada praktik sunat yang dilakukan dengan memotong sedikit pada bagian tertentu, ada juga yang hanya mengoleskannya dengan kunyit. Apapun tindakan yang dilakukan, kata Retno, harus memperhatikan berbagai aspek keamanan dan kebersihan alat yang digunakan. Apalagi jika penyunat bukan berasal dari tenaga medis.
“Ketika penatalaksanaannya tidak tepat, bisa berakibat fatal,bahkan bisa menimbulkan rasa sakit,” ungkap Kepala Bidang Organisasi Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (Perdoski) Cabang Pontianak tersebut. Perdoski sendiri dalam hal ini sepertinya tidak berada pada pihak yang mendukung serta menolak larangan praktik khitan pada perempuan.
Kiprah Perdoski Pontianak
Perdoski Cabang Pontianak berdiri sejak 2017. Berawal dari lima dokter, kini tergabung 14 dokter yang tersebar di Kota Pontianak, Mempawah, Kota Singkawang, Sambas, Ketapang, dan Sintang.
Kepala Bidang Organisasi Perdoski Cabang Pontianak, Retno Mustikaningsih mengakui bahwa jumlah ini tentu saja masih belum cukup, apalagi belum semua kabupaten di provinsi ini memiliki dokter spesialis kulit kelamin. “Tentu saja belum cukup, apalagi tidak semua kabupaten terwakili,” katanya.
Beragam kiprah Perdoski Cabang Pontianak dilakukan. Sebagai dokter spesialis kulit dan kelamin, banyak orang awam mengira bahwa mereka hanya mengatasi wajah dan persoalan kecantikan. Padahal, para dokter ini mempelajari ilmu mengatasi berbagai persoalan kulit dan kelamin, mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki. Seperti perawatan wajah, rambut, badan, hingga alergi, infeksi, dan lainnya.
Perdoski Cabang Pontianak sering mengadakan simposium baik untuk dokter umum, maupun dokter spesialis. Mereka juga kerap mengadakan bakti sosial, terutama mengedukasi masyarakat pentingnya menjaga kesehatan kulit kelamin. “Ada rencana mau baksos ke Ketapang, tapi karena covid tidak jadi,” ulasnya.
Belum lama ini, mereka ikut terlibat dalam pelayanan kesehatan gratis di Sintang. Misi mereka memberikan pelayanan langsung di lokasi yang terdampak banjir. Rencananya, dalam waktu dekat mereka akan menggelar simposium tentang penuaan kulit, sehingga kulit tetap sehat meski usia sudah tua. (*)