23.9 C
Pontianak
Monday, June 5, 2023

Sunat Perempuan, Bukan Sunat Biasa

Syarat utama dalam khitan perempuan yang biasanya diterapkan di Indonesia cukup dengan mengiris sedikit bagian clitoris sampai berdarah, tanpa perlu membuangnya. Tidak ada praktik mutilasi dalam prosedur tersebut.

ANDRI JANUARDI, Pontianak

“NANGES die (menangis dia) tu ha,” ucap Bi Sur, perempuan yang menangani proses khitan putri keduaku, Alnaira Asania, sambil mencoba menenangkannya. Putriku menangis, namun hanya sekejap. Setelah itu ia tertidur dalam gendongan ibuku.

Siang itu dia baru saja dikhitan. Sebelumnya, putriku telah mengikuti proses gunting rambut atau kikahan, karena usianya telah menginjak 40 hari. Rangkaian prosesi yang diiringi dengan pembacaan surah Albarzanji itu, berlangsung di kediaman orang tuaku di Kampung Bansir, Kecamatan Pontianak Tenggara.

Baca Juga :  Semangat Membara Anggota Zidam dan Masyarakat Membangun Jalan

Hari itu, tepat pada perayaan Imlek, 29 Januari 2017, aku melakukan kikahan terhadap putri keduaku yang lahir pada 18 Desember 2016. Sebagaimana kakaknya, Allila, putri sulungku, tradisi kikahan atau gunting rambut tersebut juga kurangkai dengan khitanan. Khitanan sendiri dilakukan oleh orang pandai di kampungku, yang pasti seorang perempuan. Perempuan itu, kami menyapanya Bi Sur. Dia memiliki kemampuan untuk membantu persalinan serta memijat perempuan-perempuan hamil, agar lancar dalam persalinan. Dia juga memiliki keahlian dalam mengkhitan perempuan. Itu sebabnya, siang itu kupercayakan putriku untuk dikhitan olehnya.

Khitan terhadap perempuan ini sendiri dilakukan cukup dengan hanya menghilangkan selaput (jaldah/colum/praeputium) yang menutupi klitoris. Tidak boleh dilakukan secara berlebihan, seperti memotong atau melukai klitoris (insisi dan eksisi) yang mengakibatkan dlarar. Dengan merobek klitorisnya ini dimaksudkan agar saat besar nanti bisa tumbuh ke atas. Hal ini dilakukan agar dalam perkembangannya, anak perempuan yang telah menjalani khitan mampu menstabilkan syahwat. (*)

Syarat utama dalam khitan perempuan yang biasanya diterapkan di Indonesia cukup dengan mengiris sedikit bagian clitoris sampai berdarah, tanpa perlu membuangnya. Tidak ada praktik mutilasi dalam prosedur tersebut.

ANDRI JANUARDI, Pontianak

“NANGES die (menangis dia) tu ha,” ucap Bi Sur, perempuan yang menangani proses khitan putri keduaku, Alnaira Asania, sambil mencoba menenangkannya. Putriku menangis, namun hanya sekejap. Setelah itu ia tertidur dalam gendongan ibuku.

Siang itu dia baru saja dikhitan. Sebelumnya, putriku telah mengikuti proses gunting rambut atau kikahan, karena usianya telah menginjak 40 hari. Rangkaian prosesi yang diiringi dengan pembacaan surah Albarzanji itu, berlangsung di kediaman orang tuaku di Kampung Bansir, Kecamatan Pontianak Tenggara.

Baca Juga :  Anang Selalu Senang Setiap Akan ”Sunat”

Hari itu, tepat pada perayaan Imlek, 29 Januari 2017, aku melakukan kikahan terhadap putri keduaku yang lahir pada 18 Desember 2016. Sebagaimana kakaknya, Allila, putri sulungku, tradisi kikahan atau gunting rambut tersebut juga kurangkai dengan khitanan. Khitanan sendiri dilakukan oleh orang pandai di kampungku, yang pasti seorang perempuan. Perempuan itu, kami menyapanya Bi Sur. Dia memiliki kemampuan untuk membantu persalinan serta memijat perempuan-perempuan hamil, agar lancar dalam persalinan. Dia juga memiliki keahlian dalam mengkhitan perempuan. Itu sebabnya, siang itu kupercayakan putriku untuk dikhitan olehnya.

Khitan terhadap perempuan ini sendiri dilakukan cukup dengan hanya menghilangkan selaput (jaldah/colum/praeputium) yang menutupi klitoris. Tidak boleh dilakukan secara berlebihan, seperti memotong atau melukai klitoris (insisi dan eksisi) yang mengakibatkan dlarar. Dengan merobek klitorisnya ini dimaksudkan agar saat besar nanti bisa tumbuh ke atas. Hal ini dilakukan agar dalam perkembangannya, anak perempuan yang telah menjalani khitan mampu menstabilkan syahwat. (*)

Most Read

Artikel Terbaru