PONTIANAK – Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar) Hary Agung mengungkapkan, salah satu fokus bidang kesehatan yang perlu menjadi perhatian adalah penanganan stunting. Dalam penanganannya dijelaskan dia, perlu ada dua intervensi, yakni intervensi spesifik dan intervensi sensitif.
Intervensi spesifik, menurutnya, dilakukan oleh tenaga kesehatan (nakes). Sedangkan intervensi sensitif yang memegang peran, dijelaskan dia, ialah sektor-sektor lain di luar kesehatan.
“Ini (intervensi sensitif) perannya 70 persen bahkan dalam upaya penurunan angka stunting. Ini yang perlu kami optimalkan, bagaimana sektor-sektor di luar kesehatan juga berperan dalam penurunan stunting secara terencana dan sistematis bersama-sama,” ungkapnya.
Sedangkan intervensi spesifik, dikatakan dia, berkaitan dengan upaya ke arah medis. Dimisalkan dia seperti asupan gizi pada anak dan lain sebagainya.
“Tapi intervensi sensitif itu punya dampak yang (lebih) besar terhadap gizi masyarakat seperti ketersediaan air bersih, sanitasi, ketersediaan pangan. Itu punya andil besar dalam peningkatan gizi masyarakat,” terangnya.
Oleh karena itu, disebutkan dia, upaya menurunkan stunting memang menjadi pekerjaan rumah (PR) bersama. Di sektor kesehatan, Dinas Kesehatan Kalbar dipastikan dia akan terus berupaya. Seperti dalam hal peningkatkan gizi anak, dikatakan Hary, bagaimana mereka menjamin bahwa setiap anak atau bayi di bawah usia lima tahun (balita) selalu ditimbang.
“Jangan sampai ada satu balita yang tak ditimbang. Artinya balita itu harus dimonitor tumbuh dan kembangnya, jangan sampai terlewatkan,” kata sosok yang berprofesi sebagai dokter gigi tersebut.
Ketika balita selalu dimonitor perkembangannya, otomatis, menurut dia, bisa cepat diintervensi. Dia memisalkan, ketika ada penurunan berat badan, jika tiap bulan ditimbang tentu akan diketahui.
“Tapi kalau kita tak bisa menjamin setiap anak bisa ditimbang, kita akan kecolongan, karena tidak bisa memonitor tiap bulan. Anak-anak yang turun berat badan secara drastis bisa saja karena penyakit lain, tapi kalau kaitan dengan asupan gizi, selama dimonitor setiap bulan, kalau ada penurunan, tenaga medis bisa intervensi segera,” paparnya.
Hary mengatakan, pemerintah mulai dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota sudah berupaya menyediakan makanan dan tambahan gizi untuk intervensi gizi. Terutama, dia menambahkan, bagi masyarakat yang kurang mampu.
“Itu ada di Puskesmas-puskesmas, tinggal meyakinkan dan menjamin semua balita dilakukan penimbangan,” tambahnya.
Selain itu, untuk intervensi sensitif dipaparkan Hary bahwa ranahnya memang di luar kewajiban tenaga kesehatan. Itu, menurut dia, dilakukan sektor lain dan bahkan dampaknya bisa 70 persen untuk penurunan stunting. Karena itu, dia menambahkan, diperlukan upaya kerja sama dan koordinasi bersama terkait program integrasi dan terpadu, bukan hanya dalam pelaksanaan tapi juga perencanaan.
“Karena lokus-lokus atau daerah yang berisiko tinggi terhadap stunting sudah diketahu dari hasil Riskesdas atau SSGI (Studi Status Gizi Indonesia). Jadi memang antara intervensi sensitif dan spesifik itu harus berkesinambungan,” terangnya.
Sejak 2021, leading sector stunting, menurut dia, memang berada di Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Namun demikian, dia menambahkan, BKKBN tidak bisa bekerja sendirian.
“Makanya kita harus terus melakukan upaya semaksimal mungkin. Harapannya kami bisa juga jadi inisiator dalam program gizi dan penurunan stunting bersama dinas teknis lainnya,” katanya lagi.
Selain dengan intervensi sensitif dan spesifik, peran masyarakat juga dinilai dia sangat penting. Setiap program yang berkaitan dengan stunting, menurut dia, harus melibatkan masyarakat. Keterlibatan masyarakat dalam suatu program diistilahkan dia sebagai Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat (UKBM).
“Justru dengan melibatkan masyarakat, masyarakat akan merasa satu program itu milik masyarakat itu sendiri. Jadi ini hal yang penting bagaimana satu program bisa berkelanjutan kalau melibatkan masyarakat,” pungkasnya. (bar)