PONTIANAK – Diskusi grup terfokus Dayak International Organization (DIO) dan Majelis Hakim Adat Dayak Nasional (MHADN) menuntut pengembalian hukum adat Dayak pada proporsi yang sebenarnya.
Hal itu tertuang dalam rekomendasi FDG di Pontianak, dengan tema: Kearifan Lokal Suku Dayak dalam Rangka Menegakkan Hukum Adat Secara Proporsional dalam Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia, Rabu, 10 November 2021,
FGD dihadiri sejumlah kalangan dari organisasi kemasyarakatan Suku Dayak, dengan menampilkan empat narasumber, yakni Yulius Yohanes, Sekretaris Jenderal Dayak International Organization, dengan judul: Kebudayaan Dayak, Geostrategi dalam Geopolitik Indonesia Pasca Pemindahan Ibu Kota Negara ke Provinsi Kalimantan Timur.
Kristianus Atok, Anthropolog Sekolah Tinggi Agama Katolik Negeri Pontianak, dengan judul: Religi Dayak sebagai Sumber Pembentukan Karakter dan Jatidiri Suku Dayak.
Salfius Seko, Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura, Pontianak, dengan judul: Kearifan Lokal Suku Dayak dalam Sinergitas Penerapan Hukum Nasional di Indonesia.
Tobias Ranggie, Praktisi hukum dan Ketua Peradilan Adat dan Hukum Adat Majelis Hakim Adat Dayak Nasional, dengan judul: Tata Cara dan Implementasi Hukum Adat Dayak dalam Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia
Tujuh rekomendasi FGD DIO dan MHADN sebagai berikut. Pertama, “Menuntut pengembalian hukum adat Dayak kepada proporsi yang sebenarnya sebagai kerangka kembali kepada karakter dan jatidiri Dayak dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia, demi terciptanya stabilitas keamanan regional, nasional dan internasional.”
Kedua, “Mendorong penguatan kompetensi dan integritas para Hakim Adat Dayak yang disebut Temenggung di Provinsi Kalimantan Barat, Damang di Provinsi Kalimantan Tengah, Kepala Adat di Provinsi Kalimantan Timur, Pemanca di Negara Bagian Sarawak dan Anak Negeri di Negara Bagian Sabah, Federasi Malaysia.”
Ketiga, “Dalam rangka sinergisitas penegakan hukum di Negara Kesatuan Republik Indonesia di Kalimantan, maka dalam penyelesaian perkara hukum yang sudah diputuskan oleh Hakim Adat Dayak yang sah, bersifat final dan mengikat, sehingga tidakk lagi dibawa ke ranah hukum negara.”
Keempat, “Dalam penegakan hukum adat Dayak di Kalimantan diharapkan dapat menciptaan kondusifitas keamanan sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Kelima, “Mendorong sinergisitas pengamalan ideologi Pancasila dalam Kebudayaan Dayak, bekerjasama dengan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).”
Keenam, “Mengembalikan nama wilayah administrasi pemerintahan yang tidak sesuai kearifan lokal, demi mewujudkan identitas lokal dalam integrasi regional, nasional dan internasional.”
Ketutujuh, “Menuntut diakomodirnya Kebudayaan Dayak dalam diplomasi kebudayaan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, melalui Program Indonesia Arts and Culture Scholarship (IACS) dan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia, melalui Wonderful Indonesia, seiring diplomasi kebudayaan menjadi tren sebagai alat berdiplomasi antar negara pada abad ke-21.” (*/mnk)