Keseriusan penegak hukum dalam menangani kasus kebakaran hutan dan lahan (Kartula) kerap kali dipertanyakan. Terlebih jika melibatkan perusahaan atau
korporasi perkebunan. Berikut laporan jurnalis Pontianak Post, Arief Nugroho.
Dengan mengenakan baju lengan panjang berbalut seragam tahanan bertuliskan WBP (Warga Binaan Pemasyarakatan), Samsul Bahri, duduk dengan tatapan mata yang kosong. Sesekali wajahnya menunduk, seperti ada perasaan yang ia sembunyikan.
Hari itu ia genap 25 hari mendekam di balik jeruji Rutan Kelas IIA Pontianak, setelah dinyatakan bersalah oleh hakim majelis hakim Pengadilan Negeri Pontianak, pada 13 Juli 2021.
Samsul dijatuhi hukuman pidana tiga tahun penjara dan denda Rp3 miliar, dalam kasus membuka lahan dengan cara dibakar.

Ia secara sah dan meyakinkan melanggar pasal 108 Jo Paal 69 ayat (1) huruf h Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Ia tidak mengira lahan yang ia bakar seluas 10×20 meter persegi itu, membawanya ke penjara.
Kepada Pontianak Post yang menemuinya di Rutan Kelas IIA Pontianak, Samsul menceritakan kisahnya itu.
Peristiwa nahas itu berawal dari niatnya membersihkan lahan miliknya yang terletak di Jalan Wak Sidik, Kelurahan Benua Melayu Darat, Kecamatan Pontianak Tenggara, untuk dibangun sebuah pondok, yang akan ditempatinya bersama istri dan dua orang anaknya.
Lahan yang berlokasi tidak jauh dari pusat kota Pontianak itu ia beli setahun yang lalu, dengan harga Rp5 juta.
Secara bertahap, lahan itu ia garap sendiri. Sebagian telah ditanami cabai dan buah-buahan. Sebagian lagi kondisinya masih tertutup semak belukar.
“Itu lahan saya sendiri. Untuk bangun Pondok,” kata Samsul, saat ditemui Ponti- anak Post di Rutan Kelas IIA Pontianak, 6 Agustus 2021.
Menurutnya, selama ini ia bersama keluarganya tinggal dan menumpang di tanah milik orang lain, di Komplek Korpri, Sungai Raya Dalam, Kabupaten Kubu Raya.

“Karena tanah yang saya tumpangi mau dipakai pemiliknya, saya diminta pindah,” lanjutnya.
Lantaran itu, Ia berniat untuk memberisihkan lahannya tersebut, dengan cara membakar. Namun, sebelum dibakar, ia menebas rumput. Bekas tebasan lalu dikumpulkan jadi satu tumpukan di tengah lahan. Ia juga membuat parit mengelilingi lahan, agar api tidak menjalar ke lahan yang lain.
“Saya tahu, karena lahan gambut, api pasti mudah menjalar. Makanya saya buat parit di sekelilingnya,” lanjutnya.
Karena waktu itu musim penghujan, kata Samsul, ia mengurungkan niatnya untuk membakar tumpukan bekas tebasan, dan menunggu hingga mengering.
Sebulan kemudian, Samsul yang sehari-hari bekerja sebagai kuli bangunan mendapat pekerjaan yang lokasinya tidak jauh dari lahan miliknya. Hari itu, sekitar pukul 11.00 wib, ia datang ke lahan miliknya itu, dan membakar tumpukan bekas tebasan tersebut, menggunakan korek api gas dan ban bekas yang sudah ia siapkan.
Setelah api menyala, ia sempat menunggunya hingga api membakar habis tumpukan bekas tebasan itu. Setelah habis terbakar, ia kemudian memadamkannya.
“Karena saya harus kembali bekerja, api itu saya padamkan. Tapi memang waktu itu masih ada asap,” katanya.
“Saya tidak tahu apinya kembali menyala,” sambungnya.
Api tersebut diduga menjalar dan membakar puluhan hektare lahan di sekitarnya.
Samsul dituduh menjadi penyebab kebakaran lahan tersebut. Ia ditangkap oleh penyidik Polda Kalbar, dan ditetapkan sebagai tersangka.
“Saya ditangkap saat sedang nguli bangunan. Sejak itu saya ditahan,” bebernya.
“Kata penyidik, lahan yang saya bakar menyebabkan kebakaran lahan seluas 13 hektare. Tapi saat itu, ada beberapa orang yang juga membakar dalam waktu bersamaan,” sambungnya.
Samsul kini hanya bisa menyesali perbuatannya dan menjalani putusan hakim tanpa banding. Ia harus mendekam di Blok A, nomor A8, Rutan Kelas IIA Ponti- anak.
“Sekarang, yang ada di pikiran saya itu, ya anak. Anak-anak saya masih kecil. Yang pertama baru berusia 6 tahun, dan yang kedua usia 2 tahun. Mereka juga tidak tahu, kalau saya dipenjara. Mereka tahunya saya sedang bekerja,” katanya sembari mengusap air matanya.
Selain Samsul, hal serupa juga dialami Suwarno warga Dusun Tekam, Desa Sejegi Kecamatan Mempawah Timur, Kabupaten Mempawah.
Suwarno membersihkan lahan seluas 3/4 hektare dengan cara dibakar. Lahan tersebut rencananya akan digunakan untuk menanam cabai.
Sebelum membakar lahan, ia mengumpulkan rumput dan ranting-ranting yang sudah mengering menjadi satu tumpukan, kemudian bagian tepi tumpukan rumput dan ranting-ranting tersebut ditebas agar tidak merembet kerumput kering lainnya.
Setelah itu, ia bakar dengan menggunakan korek api gas, sampai api membesar. Setelah lahan terbakar habis kemudian ia pulang. Namun, pada siang hari sekitar pukul 14.00 Wib, seorang warga memberitahunya bahwa api yang berada dilahan miliknya semakin membesar.
Mengetahui hal itu, ia pun bergegas kembali ke lahan sambil membawa ember, na- mun karena api terlalu besar, ia meminta bantuan warga dengan cara meminjam mesin air. Ia menyemprotkan api menggunakan mesin air tersebut hingga api padam. Suwarno dinyatakan bersalah dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri Mempawah pada 12 Juli 2021.
Ia dijatuhi hukuman Sembilan bulan pidana penjara dan denda Rp 10 juta, dengan ketentuan, jika tidak membayar denda maka akan diganti pidana penjara dua bulan pidana penjara.
Keterlibatan Perusahaan
Kasus yang menjerat Samsul Bahri dan Suwarno hanya sebagian dari deretan kasus kebakaran hutan dan lahan yang menyeret masyarakat di Kalimantan Barat.
Padahal, dalam rentang tahun 2015 hingga 2021, tidak sedikit perusahaan perkebunan terlibat dalam kasus kebakaran hutan dan lahan.
Tahun 2015, misalnya. Tercatat ada 35 kasus yang ditangani Polda Kalbar. Empat kasus di antaranya adalah perusahaan perkebunan.
Tahun 2018, tercatat ada 29 kasus. Di tahun yang sama, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga menyegel lima perusahaan perkebunan karena diduga membakar lahan di areal konsesinya.
Tahun 2019 sebanyak 70 kasus. Tujuh diantaranya melibatkan perusahaan dan 63 ka- suslainnyaadalahmasyarakat. Di tahun yang sama, Polda Kalbar dan jajaran juga menyegel 31 perusahaan.
Terakhir, hingga maret 2021, setidaknya ada 10 kasus yang ditangani Polda Kalbar dan jajaran.

Berdasarkan catatan Pontianak Post, dari sekian kasus itu, tidak semua masuk ke persidangan. Dari empat kasus kebakaran yang melibatkan perusahaan, tahun 2015, misalnya. Hanya tiga yang di- lakukan penyelidikan hingga tahap satu di kejaksaan.
Sedangkan, satu perusahaan, yakni PT. Rajawali Jaya Perkasa (RJP), dihentikan penyidikannya. PT. RJP mengantongi izin usaha perkebunan (IUP) kurang lebih seluas 4.500 hektare di Desa Sungai Bulan, Kecamatan Rasau Jaya, Kabupaten Kubu Raya. Tahun 2015, di lokasi perusahaan perkebunan kelapa sawit itu terjadi kebakaran seluas 5 hek- tare dan tercatat dalam Laporan Polisi Nomor : LP/196/IX/ 2015/Kalbar/SPKT tanggal 18 September 2015.
Namun, dalam perjalanan kasusnya, penyidik kesulitan mengungkap pelaku pemba- karan lahan di areal perkebunan sawit itu. Kemudian, pada 7 Maret 2016, Polda Kalbar melalui Direskrimsus menggeluarkan surat Nomor : Sprin / 41 / III / 2016 sebagai dasar dikeluarkannya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
Perusahaan RJP pun lolos dari jerat hukum. Namun, pada tahun 2018, PT. RJP, termasuk satu dari lima perusahaan yang disegel Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan karena diduga terjadi kebakaran di areal konsesinya.
Pontianak Post mencoba mendatangi titik lokasi kebakaran PT. RJP di Desa Sungai Bulan, Kecamatan Sungai Raya. Lokasinya berada sekitar 47 kilometer dari ibu kota Provinsi Kalimantan Barat, Pontianak.
Sayangnya, Pontianak Post tidak bisa menjangkau titik kebakaran tersebut, karena akses menuju ke lokasi harus melintasi camp dan pabrik milik perusahaan.
Kepala Desa Sungai Bulan Haryono Sutarli membenarkan adanya kebakaran lahan yang terjadi di konsesi PT. RJP tersebut. Hanya saja, Sutarli tidak mengetahui secara pasti asal usul atau sumber api tersebut.
“Benar. Seingat saya dua kali terjadi kebakaran besar. Tahun 2015 dan 2018. Tapi informasinya, api berasal dari luar kawasan izin mereka. Api berasal dari desa seberang,” katanya saat ditemui Ponti- anak Post, Senin, 1 Agustus 2021.
Menurut Sutarli, areal izin konsesi PT. RJP, sebagian meliputi pemukiman desa Sungai Durian. Bahkan, temasuk kantor desa Sungai Durian, masuk dalam areal perizinan mereka.
“Sebagian masuk ke areal pemukiman. Termasuk kantor desa ini, Mas. Tapi, baru tahun 2020, PT. RJP mengurus HGUnya,” katanya.
Sementara itu, Ari pihak PT. Rajawali Jaya Perkasa (RJP) membantah adanya keba- karan lahan di dalam areal konsesi mereka.
“Lahan RJP mana yang terbakar? Info dari mana ya? Karena sejauh ini RJP belum pernah terbakar lahannya,” kata Ari melalui WhatsApp.
Saat Pontianak Post melakukan konfirmasi ulang, yang bersangkutan tidak merespon.
Kepala Divisi Kajian dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Barat, Hendrikus Adam berpendapat, upaya penegakkan hukum pada kasus Karhutla selama ini belum serius. Terutama kasus-kasus yang melibatkan korporasi atau perusahaan.
Menurutnya, jika berkaca dari peristiwa Karhutla selama tahun 2015 hingga 2019, tidak sedikit perusahaan di Kalim- antan Barat, disegel, karena diduga melakukan pemba- karan lahan di areal konsesi mereka.
Namun, kata Adam, penyegalan itu tidak lantas menjadi jaminan untuk proses penega- kan hukum yang tegas. “Saya rasa penyegelan itu hanya se- bagai shock therapy saja. Tidak ada jaminan akan dilanjutkan ke proses hukum,” katanya.
Padahal, lanjut Adam, Gubernur Kalimantan Barat telah mengakui, kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Kalbar, tidak sedikit yang melibatkan sejumlah korporasi. Bahkan, pernyataan tegas Gubernur itu, muncul di media massa. Pada perjalanannya, kata Adam, dari sekian banyak perusahaan yang terkonfirmasi terlibat dalam kasus Karhutla itu sebagian besar di antaranya, hanya diberikan surat peringatan.
“Ini sebenarnya menimbulkan tanda tanya tersendiri bagi kami perihal dengan komitmen penegakan hukum oleh aparat atas kasus-kasus karhutla yang melibatkan korporasi,” bebernya.
Diakui Adam, memang ada beberapa perusahaan yang didenda karena terbukti membakar lahan. Namun, jika dibandingkan dengan jumlah denda dengan kerugian yang ditimbulkan, tidak sebanding. Apalagi, dibandingkan dengan warga yang membuka lahan dengan cara dibakar yang kemudian dipersoalkan di ranah hukum.
“Artinya, perusahaan lebih memiliki power dibanding penegak hukum itu sendiri,” tegasnya.
Komitmen Penegakan Hukum
Kabid Humas Polda Kalbar Kombes Pol Donny Charles Go membantah tudingan itu. Sejauh ini, kata Donny, Polda Kalbar dan jajaran tetap berkomitmen dalam penegakan hukum terhadap siapa saja yang terbukti melakukan pembakaran hutan dan lahan.
Ia mengatakan, pada tahun 2015, pihaknya telah menangani tiga kasus Karhutla yang melibatkan korporasi den- gan luas lahan yang terbakar kurang lebih 95 hektare. Demikian juga pada tahun 2019, terdapat tujuh korporasi yang ditangani dengan total lahan yang terbakar sekitar 4.500 hektare.
Donny mengatakan, sejauh ini pihaknya menangani kasus yang melibatkan korporasi dengan dugaan kelalaian, sehingga menyebabkan menurunnya mutu baku lingkungan berdasarkan UU Pengawasan dan Pelestarian Lingkunagn Hidup.
Sedangkan yang melibatkan masyarakat, kata Donny, penerapan pasalnya meng- gunakan pasal dengan sengaja melakukan pembakaran. Bahkan pelakunya telah mengakui berbuatannya.
“Tentu ini memudahkan penyidik dalam melengkapi berkas perkaranya. Seandainya pelaku korporasi tertangkap tangan membakar lahan, maka bisa dipastikan prosesnya akan jauh lebih mudah,” paparnya.
Prihal penyegelan, lanjut Donny, langkah tersebut wajib dilakukan penyidik untuk mengamankan TKP, sehingga memudahkan melakukan proses lanjut dari penyidikan.
“Apabila dalam perkembangannya diperoleh bukti permulaan yang cukup, maka bisa langsung diproses,” lanjutnya.
Asisten Tindak Pidana Umum Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat, Yulius Sigit Kristanto mengatakan, pada prinsipnya, kejaksaan berkomitmen dalam penanganan kasus kebakaran hutan dan lahan, sesuai dengan koridor aturan yang ada. Menurutnya, yang terpenting adalah bagaimana mencegah.
“Menindak itu mudah. Kalau mencegah itu butuh sosialisasi, dan edukasi. Itu yang penting,” kata Yulius.
Yulius mengatakan, untuk penegakan hukum, pihaknya tidak membanding-bandingkan perkara, baik yang melibatkan masyarakat maupun korporasi. Menurutnya, semua melalui proses. Bukan berarti kasus yang melibatkan masyarakat lebih gampang, sedangkan korporasi lebih sulit.
“Kalau memang alat buktinya tidak cukup, tidak mungkin kami proses,” jelasnya.
Ia mencontohkan, perusahaan memiliki areal yang luas. Dalam penanganan perkara, harus melakukan uji lab, mengkaji sejauh mana kerusakan yang ditimbulkan, hingga ketersediaan sarana prasarana yang telah disiapkan.
Sedangkan perorangan, arealnya cenderung lebih sedikit, sehingga pembuk- tiaannya lebih mudah.
“Tetapi ini bukan persoalan masyarakat atau perusahaan, yang kami pentingkan di sini, apakah unsur pasalnya terpenuhi atau tidak,” jelasnya.
Sejauh ini, kata Yulius, Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat telah melakukan pentuntutan sebanyak enam korporasi, dan semua telah divonis bersalah oleh pengadilan.
“Dari tahun 2019 hingga 2021 ini ada 13 perkara. Enam diantaranya korporasi dan semua telah diputus pengadilan,” lanjutnya.
Dari enam perusahaan tersebut, kata Yulius, rata-rata telah divonis denda sebesar Rp.1 miliar.
“Untuk besaran denda, kami lihat dari tingkat kerusakannya. Luasan area yang ter- bakar. Undang Undang sudah dijelaskan, denda minimal Rp 1 miliar, dan maksimal Rp3 miliar,” paparnya.
Sementara, Direktur Penegakan Hukum Pidana Dirjen Gakkum Lingkungan Hidup dan Kehutanan KLHK, Yazid Nurhuda mengungkapkan, kebakaran hutan dan lahan dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa. Karena dampaknya dirasakan secara langsung, terhadap kesehatan masyarakat, ekosistem, ekonomi, berdampak luas secara wilayah dan terus menerus.
“Karhutla dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa. Karena dampaknya dirasakan langsung oleh masyarakat. Berbeda dengan kejahatan lainnya,” ujar Yazid.
Untuk mengembalikan kerusakan akibat kebakaran hutan dan lahan, pihaknya telah melakukan gugatan perdata. Dalam gugatan perdata, lanjut Yazid, Legal standing-nya sebagai peng- gugat mewakili kepentingan lingkungan yang rusak akibat Karhutla.
Sepanjang tahun 2015 hingga 2021, KLHK melalui Dirjen Penegakan Hukum Gakkum Lingkungan Hidup dan Kehutanan, telah memenangkan gugaran Rp 78,5 miliar, dan berhasil dieksekusi.
“Namun, masih ada 11 kasus karhutla telah inkracht dengan pidana dan denda, 3 masih P-21 dan 5 perusahaan dalam proses sidik. Dari 11 kasus yang inkracht, pemba- yaran ganti rugi hingga kini belum masuk kas negara. Nilainya Rp3,4 triliun lebih,” beber Yazid.
Selain itu, Gakkum KLHK berhasil mencabut 3 izin operasional, 16 pembekuan izin, 91 paksaan pemerintah, menerbitkan 633 surat peringatan dan 743 sanksi administratif. Serta pengawasan terhadap 638 perusahaan dan indvidu yang melakukan aktivitas kehutanan dan lahan di Indonesia.
Bambang Hero Saharjo, Guru Besar Perlindungan Hutan, Fakultas Kehutanan IPB mengatakan, penanganan kasus karhutla tidak sederhana dan butuh waktu lama dalam proses pembuktian. Butuh bukti sains dan teknologi untuk mengungkap kasus tersebut.
“Kita harus bicara scientific evident dalam menelusuri lokasi kebakaran dan mengungkap penyebabnya,” katanya. (**)
Liputan ini didukung oleh The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) dalam program Fellowship Jurnalis Lingkungan “Build Back Better, Karhutla dan Penegakan Hukum”