23.9 C
Pontianak
Monday, June 5, 2023

Berjibaku Layani Korban Banjir

PONTIANAK – Lebih dari tiga pekan banjir merendam sejumlah daerah di Kalimantan Barat. Tidak hanya rumah, fasilitas umum, perkantoran dan pertokoan yang menjadi korban. Tetapi tidak sedikit pula pusat layanan kesehatan yang terpaksa harus tutup karena dampak banjir besar itu.

Kondisi tak biasa ini ternyata tidak menyurutkan tekad para tenaga kesehatan (nakes) untuk tetap memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat yang membutuhkan.

Jika lazimnya pelayanan kesehatan dilakukan di polindes, puskesmas, atau rumah sakit, kini pelayanan kesehatan dilakukan di tempat-tempat pengungsian.

Para nakes harus berjuang, menyambangi warga yang terdampak banjir di tempat-tempat pengungsian atau rumah warga yang terendam banjir.  Seperti yang dilakukan oleh Donatus Leo, tenaga kesehatan Puskesmas Sungai Durian, Sintang.

CEK PENGUNGSI: Sejumlah tenaga kesehatan saat memeriksa warga di tenda pengungsian di Desa Mungguk Bantok, Kecamatan Sintang. ARIEF NUGROHO/PONTIANAK POST

Ia bersama dua rekannya harus menaiki perahu sampan atau speedboat, mengarungi sungai  untuk mendatangi setiap lokasi pengungsian di daerah banjir. Maklum saja, banjir yang melanda Sintang sejak tiga pekan lalu menyebabkan akses darat terputus. Perahu atau sampan menjadi satu-satunya alat transportasi yang bisa digunakan.

Seperti saat mengunjungi Desa Mungguk Bantuk, Kecamatan Sintang, contohnya. Dalam kondisi normal, desa yang berada di pesisir Sungai Melawi itu memiliki akses berupa jalan darat yang menghubungkan antardesa hingga ke ibu kota Kabupaten_Sintang. Namun, sejak banjir melanda, jalur ini lumpuh. Daratan berubah menjadi kolam-kolam dengan kedalaman yang bervariasi.

Desa Mungguk Bantok adalah satu dari 29 desa/kelurahan di Kecamatan Sintang. Di sini, lebih dari 671 warga yang terdampak. Rumah mereka tenggelam akibat banjir yang terjadi sejak 25 Oktober 2021. Tak sedikit dari warga terpaksa harus meninggalkan rumah untuk mengungsi, karena ketinggian muka air semakin hari semakin naik.  Donatus Leo dan rekannya menyambangi satu per satu warga di pengungsian.

Baca Juga :  PT Kartika Prima Cipta Tanam Seribu Pohon untuk Cegah Banjir Berulang

“Bapak, ibu, bagaimana keadaannya, apakah ada keluhan?” kata Leo menyapa warga di tenda pengungsian.  Jika ada warga yang mengalami kondisi kurang sehat, Leo dan dua tenaga medis lainnya segara memeriksa. Seperti yang dilakukan kepada seorang lansia di tenda pengungsian, kemarin. Perempuan itu mengeluh demam dan sakit kepala.

Leo, sapaan akrabnya, langsung mengeluarkan alat mengukur tekanan darah. “Ibu, saya periksa dulu ya,” katanya dengan ramah. Setelah selesai pemeriksaan tekanan darah, seorang rekan memeriksa detak jantung pasien dengan stetoskop. Sementara Leo sibuk mengeluarkan obat-obatan dari tas jinjingnya.

Bagi warga yang menderita penyakit serius, ia tidak segan-segan melakukan evakuasi ke pusat Kota Sintang,  Soalnya di sana sudah ada posko penanganan kesehatan bagi warga yang terdampak banjir.

Menurut Leo, dalam kondisi banjir seperti ini, warga mudah terserang penyakit, seperti batuk, pilek dan gatal-gatal. Namun pada kondisi tertentu, warga juga mudah terserang penyakit darah tinggi.

Selain Leo, ada pula Yustini, tenaga kesehatan yang tertugas di RSUD Sekadau.  Meski tidak turun langsung ke lapangan, Yustini tetap harus mengabdikan diri, memberikan pelayanan kesehatan kepada warga. walaupun dia sendiri merupakan korban banjir.

Rumahnya yang berada di Desa Tanjung, Kecamatan Sekadau Hilir, Kabupaten Sekadau ikut terendam.  “Sebagai nakes, saya harus tetap bekerja, meskipun rumah saya sendiri kebanjiran,” kata Yustini kepada Pontianak Post, kemarin.

Baca Juga :  Banjir Meluas ke Enam Kecamatan di Ketapang

Menurut Yustini, air di dalam  rumahnya  sudah lebih dari sedada orang dewasa (sekitar 1,4 meter). Bahkan, beberapa jendela kaca rumahnya pecah akibat ombak perahu motor yang lewat.

Untuk menunjang aktivitasnya, Yustini dan keluarganya harus menggunakan sampan meskipun di dalam rumah. Termasuk saat ia berangkat kerja.  “Kalau mau beraktivitas (kerja/pasar) harus bersampan dulu dari dapur ke depan (teras). Baru naik perahu motor,” terangnya.

“Alhamdulillah kami masih bisa beraktivitas seperti biasa walaupun terhambat banjir. Jadi pergi kerja harus lebih awal dari jam biasanya. Karena jalan raya Sekadau-Sintang pun sudah banyak titik genangan air. Yang paling parah sedalam lebih dari lutut orang dewasa, jadi kami yang pakai motor harus menggunakan rakit,” sambungnya.

Bagi Yustini, banjir bukanlah halangan untuk tetap mengabdikan diri kepada masyarakat. Namun, ia tidak pernah menyangka banjir yang terjadi sekarang begitu parah dan lama.

“Ini merupakan banjir terbesar yang saya alami selama tinggal di Desa Tanjung. Biasanya kalaupun banjir sampai masuk ke dalam rumah, paling-paling besarnya hanya sampai sepaha orang dewasa. Kalau menurut cerita bapak mertua saya terkhir banjir sebesar ini pada tahun 1963,” bebernya.

Kendati rumahnya terendam banjir, ia masih tetap bertahan di dalam rumah karena rumah yang ia tinggali memiliki dua lantai.

“Kami masih bertahan di rumah karena lantai dua masih aman dan ada wc/kamar mandi di atas. Alhamdulillah,  untuk pekerjaan masih bisa diatasi. Hanya untuk akses ke tempat kerja yang terkendala,” pungkasnya. (arf)

PONTIANAK – Lebih dari tiga pekan banjir merendam sejumlah daerah di Kalimantan Barat. Tidak hanya rumah, fasilitas umum, perkantoran dan pertokoan yang menjadi korban. Tetapi tidak sedikit pula pusat layanan kesehatan yang terpaksa harus tutup karena dampak banjir besar itu.

Kondisi tak biasa ini ternyata tidak menyurutkan tekad para tenaga kesehatan (nakes) untuk tetap memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat yang membutuhkan.

Jika lazimnya pelayanan kesehatan dilakukan di polindes, puskesmas, atau rumah sakit, kini pelayanan kesehatan dilakukan di tempat-tempat pengungsian.

Para nakes harus berjuang, menyambangi warga yang terdampak banjir di tempat-tempat pengungsian atau rumah warga yang terendam banjir.  Seperti yang dilakukan oleh Donatus Leo, tenaga kesehatan Puskesmas Sungai Durian, Sintang.

CEK PENGUNGSI: Sejumlah tenaga kesehatan saat memeriksa warga di tenda pengungsian di Desa Mungguk Bantok, Kecamatan Sintang. ARIEF NUGROHO/PONTIANAK POST

Ia bersama dua rekannya harus menaiki perahu sampan atau speedboat, mengarungi sungai  untuk mendatangi setiap lokasi pengungsian di daerah banjir. Maklum saja, banjir yang melanda Sintang sejak tiga pekan lalu menyebabkan akses darat terputus. Perahu atau sampan menjadi satu-satunya alat transportasi yang bisa digunakan.

Seperti saat mengunjungi Desa Mungguk Bantuk, Kecamatan Sintang, contohnya. Dalam kondisi normal, desa yang berada di pesisir Sungai Melawi itu memiliki akses berupa jalan darat yang menghubungkan antardesa hingga ke ibu kota Kabupaten_Sintang. Namun, sejak banjir melanda, jalur ini lumpuh. Daratan berubah menjadi kolam-kolam dengan kedalaman yang bervariasi.

Desa Mungguk Bantok adalah satu dari 29 desa/kelurahan di Kecamatan Sintang. Di sini, lebih dari 671 warga yang terdampak. Rumah mereka tenggelam akibat banjir yang terjadi sejak 25 Oktober 2021. Tak sedikit dari warga terpaksa harus meninggalkan rumah untuk mengungsi, karena ketinggian muka air semakin hari semakin naik.  Donatus Leo dan rekannya menyambangi satu per satu warga di pengungsian.

Baca Juga :  Perjuangkan Status Penyandang Disabilitas Bersama Albino Indonesia Family

“Bapak, ibu, bagaimana keadaannya, apakah ada keluhan?” kata Leo menyapa warga di tenda pengungsian.  Jika ada warga yang mengalami kondisi kurang sehat, Leo dan dua tenaga medis lainnya segara memeriksa. Seperti yang dilakukan kepada seorang lansia di tenda pengungsian, kemarin. Perempuan itu mengeluh demam dan sakit kepala.

Leo, sapaan akrabnya, langsung mengeluarkan alat mengukur tekanan darah. “Ibu, saya periksa dulu ya,” katanya dengan ramah. Setelah selesai pemeriksaan tekanan darah, seorang rekan memeriksa detak jantung pasien dengan stetoskop. Sementara Leo sibuk mengeluarkan obat-obatan dari tas jinjingnya.

Bagi warga yang menderita penyakit serius, ia tidak segan-segan melakukan evakuasi ke pusat Kota Sintang,  Soalnya di sana sudah ada posko penanganan kesehatan bagi warga yang terdampak banjir.

Menurut Leo, dalam kondisi banjir seperti ini, warga mudah terserang penyakit, seperti batuk, pilek dan gatal-gatal. Namun pada kondisi tertentu, warga juga mudah terserang penyakit darah tinggi.

Selain Leo, ada pula Yustini, tenaga kesehatan yang tertugas di RSUD Sekadau.  Meski tidak turun langsung ke lapangan, Yustini tetap harus mengabdikan diri, memberikan pelayanan kesehatan kepada warga. walaupun dia sendiri merupakan korban banjir.

Rumahnya yang berada di Desa Tanjung, Kecamatan Sekadau Hilir, Kabupaten Sekadau ikut terendam.  “Sebagai nakes, saya harus tetap bekerja, meskipun rumah saya sendiri kebanjiran,” kata Yustini kepada Pontianak Post, kemarin.

Baca Juga :  Bantu Turunkan Kurva Positif Covid-19, Hadirkan Event Daring

Menurut Yustini, air di dalam  rumahnya  sudah lebih dari sedada orang dewasa (sekitar 1,4 meter). Bahkan, beberapa jendela kaca rumahnya pecah akibat ombak perahu motor yang lewat.

Untuk menunjang aktivitasnya, Yustini dan keluarganya harus menggunakan sampan meskipun di dalam rumah. Termasuk saat ia berangkat kerja.  “Kalau mau beraktivitas (kerja/pasar) harus bersampan dulu dari dapur ke depan (teras). Baru naik perahu motor,” terangnya.

“Alhamdulillah kami masih bisa beraktivitas seperti biasa walaupun terhambat banjir. Jadi pergi kerja harus lebih awal dari jam biasanya. Karena jalan raya Sekadau-Sintang pun sudah banyak titik genangan air. Yang paling parah sedalam lebih dari lutut orang dewasa, jadi kami yang pakai motor harus menggunakan rakit,” sambungnya.

Bagi Yustini, banjir bukanlah halangan untuk tetap mengabdikan diri kepada masyarakat. Namun, ia tidak pernah menyangka banjir yang terjadi sekarang begitu parah dan lama.

“Ini merupakan banjir terbesar yang saya alami selama tinggal di Desa Tanjung. Biasanya kalaupun banjir sampai masuk ke dalam rumah, paling-paling besarnya hanya sampai sepaha orang dewasa. Kalau menurut cerita bapak mertua saya terkhir banjir sebesar ini pada tahun 1963,” bebernya.

Kendati rumahnya terendam banjir, ia masih tetap bertahan di dalam rumah karena rumah yang ia tinggali memiliki dua lantai.

“Kami masih bertahan di rumah karena lantai dua masih aman dan ada wc/kamar mandi di atas. Alhamdulillah,  untuk pekerjaan masih bisa diatasi. Hanya untuk akses ke tempat kerja yang terkendala,” pungkasnya. (arf)

Most Read

Artikel Terbaru