23.9 C
Pontianak
Wednesday, June 7, 2023

Pengadilan PN Pontianak Diduga Langgar SEMA

PONTIANAK – Ketiga terdakwa korupsi klaim pembayaran asuransi tenggelamnya kapal tongkang Labroy 168, sepertinya memiliki keistimewaan di mata penegakan hukum di Kalimantan Barat. Selain tidak kunjung dieksekusi, permohonan peninjauan kembalinya, juga diterima Pengadilan Negeri (PN) Pontianak.

Dari informasi yang didapat Pontianak Post, ketiga terdakwa yakni mantan Kepala Cabang Jasindo Pontianak Thomas W, Kepala Divisi Klaim Asuransi Jasindo Danang Saroso, dan Direktur Teknik dan LN Jasindo Ricky Tri Wahyudi, pada 27 Juni 2022 lalu mengajukan permintaan peninjauan kembali (PK) atas perkara yang dihadapinya ke PN Pontianak.

Kuasa hukum PT Surya Bahtera Sejati (SBS), Herawan Utoro, mengatakan, permintaan PK tersebut diajukan oleh kuasa hukum ketiga terdakwa, tanpa dihadiri ketiga terdakwa. “Dan anehnya, PK tersebut diterima meski dalam aturannya, PK hanya dapat diterima ketika yang mengajukan permintaan adalah terdakwa langsung,” ujar Herawan.

Menanggapi permintaan PK yang diajukan ketiga terdakwa tersebut, lanjut Herawan, seharusnya yang pertama kali dilakukan oleh PN Pontianak adalah memberitahukan terlebih dahulu amar putusan MA, pada 20 April 2021, yang membatalkan putusan PN Pontianak, pada 10 Agustus 2020 yang menyatakan ketiga terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama.

Bahwa, lanjut Herawan, dalam amar putusan MA, ketiga terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama. Dijatuhi pidana penjara selama lima tahun dan denda sebesar Rp200 juta.

“Amar putusan ini harusnya disampaikan PN Pontianak, kepada penuntut umum dan ketiga terdakwa,” kata Herawan, Senin (14/11).

Herawan menerangkan, berdasarkan pemberitahuan amar putusan tersebut, maka ketiga terdakwa memiliki hak untuk mengajukan upaya hukum lain dan bagi penuntut umum memilik hak untuk memanggil ketiga terdakwa untuk mengikuti proses eksekusi secara sukarela.

Herawan mengatakan, dalam perkara korupsi klaim pembayaran asuransi tenggelamnya kapal tongkang Labroy 168, ketiga terdakwa memiliki hak untuk mengajukan permintaan PK. Akan tetapi proses pengajuan permintaan PK tersebut harus dilakukan sendiri.

Baca Juga :  Sengketa Hukum Tak Harus ke Pengadilan

Herawan menjelaskan, berdasarkan surat edaran MA nomor 1 tahun 2012 tentang pengajuan permohonan peninjauan kembali dalam perkara pidana, bahwa PK kepada MA hanya dapat diajukan oleh terpidana sendiri atau ahli waris. Permintaan PK yang diajukan oleh kuasa hukum terpidana, tanpa dihadiri oleh terpidana harus dinyatakan tidak dapat diterima dan berkas perkaranya tidak dilanjutkan.

“Jadi jelas, tugas penasihat hukum hanya mendampingi. PK hanya bisa diajukan oleh terpidana sendiri. Syarat ini harus dipenuhi. Kalau tidak maka, berkas permintaan PK seharusnya tidak dapat diterima dan tidak dapat dikirim ke MA,” tegas Herawan.

Herawan menyatakan, terhadap permintaan PK tersebut, maka seharusnya permintaan itu hanya dapat dilakukan oleh mereka yang sedang atau sudah pernah menjalani masa hukuman pidana dengan status terpidana.

“Pada perkara ini, perlu dilakukan juga ketiga terdakwa belum dieksekusi,” tutur Herawan.

Herawan menilai, sikap panitera pengadilan tindak pidana korupsi pada PN Pontianak yang menerima permintaan PK ketiga terdakwa, merupakan sikap yang tidak benar dan menyalahi aturan.

“Apa yang dilakukan PN Pontianak, jelas sudah melanggar surat edaran MA nomor 1 tahun 2012,” tegas Herawan.

Herawan menilai dengan tidak tereksekusinya ketiga terdakwa oleh kejaksaan dan diterimanya permintaan PK oleh PN Pontianak,seperti paket spesial yang diterima ketiga terdakwa. Karena hal itu tidak umum terjadi.

“Paket istimewa ini harusnya tidak hanya diberikan kepada mereka yang punya dan berkuasa. Tapi juga diberikan kepada masyarakat biasa,” ujar Herawan.

Dan yang lebih anehnya, Herawan menambahkah, kejaksaan tidak keberatan dengan permintaan PK yang diajukan ketiga terdakwa ke PN Pontianak. Seharusnya kejaksaan mendesak Kepala Pengadilan Negeri (KPN) Pontianak untuk tidak menerima dan tidak meneruskan berkas tersebut ke MA.

“Inikan lucu, permintaan PK dibiarkan. Lalu ketika dibentuk majelis untuk pemeriksaan berkas PK yang dihadiri ketiga terdakwa, penuntut umum tidak melakukan eksekusi. Padahal ada di depan matanya,” ucap Herawan.

Baca Juga :  Midji Siap Tanggung Jawab Soal Dugaan Penyimpangan Pengadaan 12 Ambulans Infeksius

Herawan menyatakan, dirinya tidak menyalahkan penuntut umum tidak melakukan eksekusi. Karena untuk mengeksekusi ketiga terdakwa, tentu harus mengantongi surat perintah.

Herawan menyatakan, atas dugaan pelanggaran aturan yang telah dilakukan PN Pontianak, pihaknya sudah mengajukan keberatan ke MA, agar mengembalikan berkas tersebut ke Pontianak.

“Jumat 11 November lalu, surat keberatan itu sudah kami kirim ke MA,” terang Herawan.

Ketua Perwakilan Komisi Yudisial (KY) Kalbar, Budi Darmawan, mengatakan, PK memang hak semua orang. Akan tetapi dalam proses permintaan PK tersebut ada aturan main yang harus diikuti oleh pihak terkait.

Budi menerangkan, aturan mainnya ada pada surat edaran MA, nomor 1 tahun 2012 tentang pengajuan permohonan peninjauan kembali dalam perkara pidana, PK hanya dapat diajukan oleh terpidana  sendiri atau ahli waris.

“Kalau terdakwa belum dieksekusi, kemudian permintaan PK nya diterima, ini ada apa? tanya Budi, ketika diwawancarai Pontianak Post, melalui telepon genggam.

Budi meminta kepada PN Pontianak, untuk lebih selektif memproses permohonan permintaan PK, dengan merujuk ketentuan undang undang dan surat edaran MA.

“Apabila ada permohonan permintaan PK yang bertentangan dengan SE MA, panitera harus hati-hati. Berilah pemahaman masyarakat yang benar,” ucap Budi.

Menurut Budi, kalau sudah diberikan pemahaman, tapi pihak yang mengajukan masih tidak terima,  maka PN harusnya menolak permohonan permintaan PK tersebut.

Sementara itu, Panitera Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada PN Pontianak, Utin Reza Putri ketika dikonfirmasi mengatakan tidak dapat memberikan keterangan apapun.

“Maaf saya tidak bisa memberikan keterangan apapun. Karena saat ini sedang cuti sakit. Kalau mau konfirmasi silakan langsung ke kantor,” pungkas Utin Reza Putri, ketika di konfirmasi melalui telepon genggam. (adg)

PONTIANAK – Ketiga terdakwa korupsi klaim pembayaran asuransi tenggelamnya kapal tongkang Labroy 168, sepertinya memiliki keistimewaan di mata penegakan hukum di Kalimantan Barat. Selain tidak kunjung dieksekusi, permohonan peninjauan kembalinya, juga diterima Pengadilan Negeri (PN) Pontianak.

Dari informasi yang didapat Pontianak Post, ketiga terdakwa yakni mantan Kepala Cabang Jasindo Pontianak Thomas W, Kepala Divisi Klaim Asuransi Jasindo Danang Saroso, dan Direktur Teknik dan LN Jasindo Ricky Tri Wahyudi, pada 27 Juni 2022 lalu mengajukan permintaan peninjauan kembali (PK) atas perkara yang dihadapinya ke PN Pontianak.

Kuasa hukum PT Surya Bahtera Sejati (SBS), Herawan Utoro, mengatakan, permintaan PK tersebut diajukan oleh kuasa hukum ketiga terdakwa, tanpa dihadiri ketiga terdakwa. “Dan anehnya, PK tersebut diterima meski dalam aturannya, PK hanya dapat diterima ketika yang mengajukan permintaan adalah terdakwa langsung,” ujar Herawan.

Menanggapi permintaan PK yang diajukan ketiga terdakwa tersebut, lanjut Herawan, seharusnya yang pertama kali dilakukan oleh PN Pontianak adalah memberitahukan terlebih dahulu amar putusan MA, pada 20 April 2021, yang membatalkan putusan PN Pontianak, pada 10 Agustus 2020 yang menyatakan ketiga terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama.

Bahwa, lanjut Herawan, dalam amar putusan MA, ketiga terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama. Dijatuhi pidana penjara selama lima tahun dan denda sebesar Rp200 juta.

“Amar putusan ini harusnya disampaikan PN Pontianak, kepada penuntut umum dan ketiga terdakwa,” kata Herawan, Senin (14/11).

Herawan menerangkan, berdasarkan pemberitahuan amar putusan tersebut, maka ketiga terdakwa memiliki hak untuk mengajukan upaya hukum lain dan bagi penuntut umum memilik hak untuk memanggil ketiga terdakwa untuk mengikuti proses eksekusi secara sukarela.

Herawan mengatakan, dalam perkara korupsi klaim pembayaran asuransi tenggelamnya kapal tongkang Labroy 168, ketiga terdakwa memiliki hak untuk mengajukan permintaan PK. Akan tetapi proses pengajuan permintaan PK tersebut harus dilakukan sendiri.

Baca Juga :  Petugas Pelayanan Bank Ditahan Kejari

Herawan menjelaskan, berdasarkan surat edaran MA nomor 1 tahun 2012 tentang pengajuan permohonan peninjauan kembali dalam perkara pidana, bahwa PK kepada MA hanya dapat diajukan oleh terpidana sendiri atau ahli waris. Permintaan PK yang diajukan oleh kuasa hukum terpidana, tanpa dihadiri oleh terpidana harus dinyatakan tidak dapat diterima dan berkas perkaranya tidak dilanjutkan.

“Jadi jelas, tugas penasihat hukum hanya mendampingi. PK hanya bisa diajukan oleh terpidana sendiri. Syarat ini harus dipenuhi. Kalau tidak maka, berkas permintaan PK seharusnya tidak dapat diterima dan tidak dapat dikirim ke MA,” tegas Herawan.

Herawan menyatakan, terhadap permintaan PK tersebut, maka seharusnya permintaan itu hanya dapat dilakukan oleh mereka yang sedang atau sudah pernah menjalani masa hukuman pidana dengan status terpidana.

“Pada perkara ini, perlu dilakukan juga ketiga terdakwa belum dieksekusi,” tutur Herawan.

Herawan menilai, sikap panitera pengadilan tindak pidana korupsi pada PN Pontianak yang menerima permintaan PK ketiga terdakwa, merupakan sikap yang tidak benar dan menyalahi aturan.

“Apa yang dilakukan PN Pontianak, jelas sudah melanggar surat edaran MA nomor 1 tahun 2012,” tegas Herawan.

Herawan menilai dengan tidak tereksekusinya ketiga terdakwa oleh kejaksaan dan diterimanya permintaan PK oleh PN Pontianak,seperti paket spesial yang diterima ketiga terdakwa. Karena hal itu tidak umum terjadi.

“Paket istimewa ini harusnya tidak hanya diberikan kepada mereka yang punya dan berkuasa. Tapi juga diberikan kepada masyarakat biasa,” ujar Herawan.

Dan yang lebih anehnya, Herawan menambahkah, kejaksaan tidak keberatan dengan permintaan PK yang diajukan ketiga terdakwa ke PN Pontianak. Seharusnya kejaksaan mendesak Kepala Pengadilan Negeri (KPN) Pontianak untuk tidak menerima dan tidak meneruskan berkas tersebut ke MA.

“Inikan lucu, permintaan PK dibiarkan. Lalu ketika dibentuk majelis untuk pemeriksaan berkas PK yang dihadiri ketiga terdakwa, penuntut umum tidak melakukan eksekusi. Padahal ada di depan matanya,” ucap Herawan.

Baca Juga :  Paham Asing Kian Eksis, Galakkan Empat Pilar

Herawan menyatakan, dirinya tidak menyalahkan penuntut umum tidak melakukan eksekusi. Karena untuk mengeksekusi ketiga terdakwa, tentu harus mengantongi surat perintah.

Herawan menyatakan, atas dugaan pelanggaran aturan yang telah dilakukan PN Pontianak, pihaknya sudah mengajukan keberatan ke MA, agar mengembalikan berkas tersebut ke Pontianak.

“Jumat 11 November lalu, surat keberatan itu sudah kami kirim ke MA,” terang Herawan.

Ketua Perwakilan Komisi Yudisial (KY) Kalbar, Budi Darmawan, mengatakan, PK memang hak semua orang. Akan tetapi dalam proses permintaan PK tersebut ada aturan main yang harus diikuti oleh pihak terkait.

Budi menerangkan, aturan mainnya ada pada surat edaran MA, nomor 1 tahun 2012 tentang pengajuan permohonan peninjauan kembali dalam perkara pidana, PK hanya dapat diajukan oleh terpidana  sendiri atau ahli waris.

“Kalau terdakwa belum dieksekusi, kemudian permintaan PK nya diterima, ini ada apa? tanya Budi, ketika diwawancarai Pontianak Post, melalui telepon genggam.

Budi meminta kepada PN Pontianak, untuk lebih selektif memproses permohonan permintaan PK, dengan merujuk ketentuan undang undang dan surat edaran MA.

“Apabila ada permohonan permintaan PK yang bertentangan dengan SE MA, panitera harus hati-hati. Berilah pemahaman masyarakat yang benar,” ucap Budi.

Menurut Budi, kalau sudah diberikan pemahaman, tapi pihak yang mengajukan masih tidak terima,  maka PN harusnya menolak permohonan permintaan PK tersebut.

Sementara itu, Panitera Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada PN Pontianak, Utin Reza Putri ketika dikonfirmasi mengatakan tidak dapat memberikan keterangan apapun.

“Maaf saya tidak bisa memberikan keterangan apapun. Karena saat ini sedang cuti sakit. Kalau mau konfirmasi silakan langsung ke kantor,” pungkas Utin Reza Putri, ketika di konfirmasi melalui telepon genggam. (adg)

Most Read

Artikel Terbaru