PONTIANAK – Kalimantan Barat memiliki lahan gambut yang cukup luas, yaitu sekitar 1,6 juta hektare. Dengan luasan lahan gambut tersebut, Kalimantan Barat rentan terhadap bencana kebakaran hutan dan lahan hingga banjir.
Untuk mengantisipasi dampak bencana tersebut Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Kalimantan Barat bersama ICRAF Indonesia menggelar workshop Indentifikasi Isu Strategis dan Kesiapan Data Pengelolaan Fungsi Ekosistem Gambut dalam Rangka Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (RPPEG) Provinsi Kalbar, Jumat (16/9).
Pada kesempatan itu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kalimantan Barat, Adi Yani mengatakan, pelaksanaan workshop ini tidak terlepas dari persoalan-persoalan lingkungan yang ada di Kalbar.
Dikatakan Adi Yani, persoalan lingkungan dan kerusakannya tidak terlepas dari luasnya area Kalimantan Barat yang dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan, baik di kawasan hutan, APL, dan kawasan lainnya, termasuk gambut.
Menurut Adi Yani, Kalimantan Barat memiliki luasan gambut sekitar 1,6 juta hektar, sekaligus menjadi salah satu yang terluas di Indonesia. Namun dengan luasan tersebut, Kalimantan Barat rentan terhadap bencana, baik itu kebakaran hutan dan lahan maupun banjir.
Oleh sebab itu, kata Adi Yani, diperlukan adanya perbaikan atau restorasi.
“Restorasi ini sudah kita lakukan dengan berkerja sama BGRM dan KLHK. Namun, itu tidak cukup kalau kita tidak punya landasan hukum yang bisa kita kedepankan bagaimana mengatur strategi untuk pengelolaannya,” terangnya.
Untuk mengatur masalah tersebut, pihaknya harus memiliki strategi pengelolaan gambut yang baik, salah satunya dengan memiliki dokumen RPPEG rencana pengelolaan sistem gambut di wilayah Kalimantan Barat.
“Kita sudah punya PERDA No.8 tahun 2018, tentang Perlindungan dan Pengelolaan Gambut dan Mangrove. Namun itu tidak cukup sehingga diperkuat dengan RPPEG. Didalam RPPEG harus ada isu-isu yang muncul sebagai dasar strategi dalam pelaksanaan kegiatan, yang terbagi dalam isu ekonomi, sosial, dan lingkungan,” katanya.
Dikatakan Adi Yani, dalam permasalahan ekonomi masyarakat, misalnya. Bagaimana pemerintah melihat perekonomian warga di wilayah gambut. Selanjutnya nilai sosialnya apakah areal yang dikelola oleh masyarakat itu sudah dilakukan sesuai dengan kaidah gambut.
Selanjutnya, adalah ekologi. Bagaimana mengantisipasi agar tidak terjadi karhutla dan bagaimana cara menangani karhutla. Perlu tata kelola yang baik di dalam dokumen.
“Dalam tim ini pelaku usaha juga dilibatkan. Pemanfaatan lahan untuk kegiatan usahanya itu, di Kalbar ini ada beberapa kegiatan besar, satu perusahaan perkebunan sawit, di Kalbar ini ada 3,2 juta hektare, izinnya sebanyak 368 belum lagi izin tambang,” ucapnya.
Perusahaan juga punya tanggung jawab, kata Adi Yani mereka harus membuat bagaimana pengelolaan lahan gambut di tempatnya. Mereka juga harus membuat dokumen untuk melihat berapa topografi gambut di areal mereka.
“Mereka harus melakukan pengukuran tinggi muka air gambut, bagaimana kerja sama masyarakat di areal gambut, dan Perda Nomor 6 tahun 2018 tentang pengelolaan usaha berbasis lahan berkelanjutan,” lanjutnya.
Sementara itu, Koordinator Program Peat-Impacts Indonesia, Feri Johana, mengungkapkan untuk menyusun strategi program kegiatan tentunya harus ada cara terstruktur, salah satunya adalah pokja untuk menyusun identifikasi atau menampung aspirasi keseluruhan masyarakat yang ada di Kalbar terkait pengelolaan gambut.
“Di situ dielaborasi sedalam mungkin, siapa pun berhak menyampaikan masalah apa yang bisa dihadapi. Dari daftar panjang ini ada hal-hal seperti prioritas, tapi sebenarnya masalah-masalah mana yang mungkin relevan dan mungkin bisa dicari solusi secepat mungkin, itu dikenal dengan penentuan isu prioritas,” paparnya.
Perusahaan juga diminta pendapatnya untuk fungsi ekosistem lindung sehingga busa menjadi bahan komitmen bersama. Prosesnya, kata Feri, nanti dapat dilakukan FGD.
“Isu itu ada tiga komponen terkait dengan sosial, aspek ekonomi dan ekologi. Jadi nanti isu-isu akan dikelompokkan berdasarkan isu kelompok tadi agar peserta lebih mudah berdiskusi,” tukasnya.
Terpisah, Koordinator Peat-IMPACT Kalimantan Barat, ICRAF Indonesia, Happy Hendrawan mengatakan, dalam proses ini posisi ICRAF adalah belajar dan bekerja bersama dalam proses penyusunan RPPEG.
Menurutnya, saat ini baru pada tahap identifikasi isu strategis, yang diharapkan akan dilakukan oleh para pemangku kepentingan di Kalimantan Barat secara keseluruhan dengan adanya draft 0 yang telah disusun.
“Diharapkan akan muncul adanya kesepahaman pandangan dan langkah dalam perlindungan dan pengelolaan fungsi ekosistem gambut di Provinsi Kalimantan Barat.” katanya. (arf)