27.8 C
Pontianak
Saturday, June 3, 2023

Lelong Belum Menjadi Sumber Pendapatan Asli Daerah

PONTIANAK – Ketua Komisi III DPRD Kota Pontianak, Mujiono memandang keberadaan penjualan pakaian bekas belum berdampak pada sumbangsih pendapatan asli daerah Kota Pontianak. Perlu penataan agar usaha ini bisa memberikan dampak baik bagi PAD Kota Pontianak.

“Penjualan pakaian bekas saat ini tengah dipantau oleh pemerintah pusat. Peredaran pakaian bekas infonya justru mematikan usaha-usaha tekstil. Di Pontianak tak sedikit yang bermain usaha ini. Agar semuanya bisa berjalan seiring, mesti ada payung hukumnya,” ujar Mujiono kepada Pontianak Post, Senin (20/3).

Ia tak menutupi akibat keberadaan penjualan pakaian bekas juga mematikan pedagang yang menjual pakaian baru. Tak hanya itu, penjualan barang bekas kini juga mulai menyasar pada sepatu bermerk. Harganya juga bukan-bukan. Namun meski harganya mahal, tetap miliki pangsa pasarnya sendiri.

Menurut Mujiono, dalam upaya menyelesaikan persoalan ini. Pemerintah mesti melakukan kajian betul-betul. Sebab cukup banyak pelaku usaha yang bermain di usaha ini.

Di Pontianak secara tegas, ia mengatakan bahwa penjualan pakaian bekas dan sepatu bekas tidak bersumbangsih dalam pemberian PAD bagi Kota Pontianak. Harusnya, mesti dibuatkan payung hukum sehingga ke depan penjualan barang bekas juga bisa ikut bersumbangsih bagi Kota Pontianak.

Kini persoalan penjualan pakaian dan barang bekas masih menjadi polemik ditataran pusat. Pemerintah Kota Pontianak hendaknya melakukan pemantauan dalam peredaran usaha ini.

Baca Juga :  PDAM Digratiskan Hingga Tiga Bulan

“Kita tunggu kebijakan pusat seperti apa. Saya pikir Pemkot Pontianak juga mesti bersikap,” ujarnya.

Salah satu masyarakat Kota Pontianak Dian mengatakan harga pakaian bekas dan sepatu kini harganya sudah tidak masuk akal. Apalagi ketika barang tersebut bermerek. Pedagang mematok dengan harga tinggi.

Begitu pula di media sosial. Pakaian bekas yang kini ngehits ditataran anak muda menyebut bisnis thrifting dalam postingannya menjual dengan harga tidak masuk akal. Seperti kaos-kaos asli yang miliki sejarah, atau produk yang dijual dengan jumlah tertentu bisa diharga hingga jutaan. Bahkan beberapa penjual mematok dengan harga belasan juta.

Alasan pedagang bermacam. Mulai dari produksi terbatas, hingga sejarah dari baju tersebut. Padahal kondisinya bekas. Warna kaos juga sudah memudar. “Ini seperti bisnis monkey. Dibesar-besarkan oleh komunitas. Sehingga harganya naik. Kalau laku atau tidaknya saya kurang tahu. Tapi kalau saya pribadi melihat harganya sudah tak masuk akal,” ungkapnya.

Mungkin tindakan tersebut juga memicu pemerintah melakukan penindakan pada usaha penjualan pakaian bekas ini. Memang tidak semua yang berlaku seperti ini. Sebagai pedagang justru masih banyak menjual dengan harga standar. Seperti baju kaos bekas Rp50 ribu bisa dapat tiga helai.

Wakil Ketua DPRD Kalbar, Syarif Amin Muhammad meminta pemerintah dapat mencarikan solusi untuk para pedagang pakaian bekas impor yang terdampak aktivitas jual beli. Jangan hanya memberikan larangan tanpa ada sebuah solusi tepat.

Baca Juga :  Berburu Merek Luar di Lelong

“Usaha barang bekas impor baik pakaian, sepatu dan lainnya telah menjadi penopang hidup masyarakat di Kalbar. Kontribusinya bagi penyediaan lapangan pekerjaan di Kalbar juga cukup tinggi,” ucapnya.

Menurut dia, pernyataan pemerintah melarang impor barang-barang lelong untuk usaha memiliki sisi positif dan negatif. Di satu sisi, Indonesia mungkin dianggap tempat sampah barang-barang bekas bergai merk dan produk dari luar negeri, namun berimbas juga industri konveksi, tekstil dan sepatu dalam negeri.

“Ini bicara dari sisi positifnya,” ucapnya.

Hanya saja, dari sisi lain industri pakaian bekas juga sangat berdampak untuk ekonomi masyarakat di Kalbar. Di Kota Pontianak, Kabupaten Kubu Raya, Mempawah hingga 14 kabupaten/kota lain di Kalbar, tidak sedikit usaha lelong impor dengan nama lelong yang beroperasi. Tidak sedikit masyarakat menggantungkan hidupnya dari bisnis ini.

“Kontribusi pembukaan lapangan pekerjaan juga tidak sedikit,” ucap dia.

Oleh karena itulah, pemerintah tidak boleh langsung melakukan penertiban usaha lelong tanpa solusi jelas dan nyata.

“Kalau dilarang sekarang. Solusinya apa buat para pedagang? Harus ada solusi jelas. Misalnya menyediakan lapangan kerja baru,” katanya. (iza/den)

PONTIANAK – Ketua Komisi III DPRD Kota Pontianak, Mujiono memandang keberadaan penjualan pakaian bekas belum berdampak pada sumbangsih pendapatan asli daerah Kota Pontianak. Perlu penataan agar usaha ini bisa memberikan dampak baik bagi PAD Kota Pontianak.

“Penjualan pakaian bekas saat ini tengah dipantau oleh pemerintah pusat. Peredaran pakaian bekas infonya justru mematikan usaha-usaha tekstil. Di Pontianak tak sedikit yang bermain usaha ini. Agar semuanya bisa berjalan seiring, mesti ada payung hukumnya,” ujar Mujiono kepada Pontianak Post, Senin (20/3).

Ia tak menutupi akibat keberadaan penjualan pakaian bekas juga mematikan pedagang yang menjual pakaian baru. Tak hanya itu, penjualan barang bekas kini juga mulai menyasar pada sepatu bermerk. Harganya juga bukan-bukan. Namun meski harganya mahal, tetap miliki pangsa pasarnya sendiri.

Menurut Mujiono, dalam upaya menyelesaikan persoalan ini. Pemerintah mesti melakukan kajian betul-betul. Sebab cukup banyak pelaku usaha yang bermain di usaha ini.

Di Pontianak secara tegas, ia mengatakan bahwa penjualan pakaian bekas dan sepatu bekas tidak bersumbangsih dalam pemberian PAD bagi Kota Pontianak. Harusnya, mesti dibuatkan payung hukum sehingga ke depan penjualan barang bekas juga bisa ikut bersumbangsih bagi Kota Pontianak.

Kini persoalan penjualan pakaian dan barang bekas masih menjadi polemik ditataran pusat. Pemerintah Kota Pontianak hendaknya melakukan pemantauan dalam peredaran usaha ini.

Baca Juga :  Dewan Mintan BPBD Sigap Tangani Bencana

“Kita tunggu kebijakan pusat seperti apa. Saya pikir Pemkot Pontianak juga mesti bersikap,” ujarnya.

Salah satu masyarakat Kota Pontianak Dian mengatakan harga pakaian bekas dan sepatu kini harganya sudah tidak masuk akal. Apalagi ketika barang tersebut bermerek. Pedagang mematok dengan harga tinggi.

Begitu pula di media sosial. Pakaian bekas yang kini ngehits ditataran anak muda menyebut bisnis thrifting dalam postingannya menjual dengan harga tidak masuk akal. Seperti kaos-kaos asli yang miliki sejarah, atau produk yang dijual dengan jumlah tertentu bisa diharga hingga jutaan. Bahkan beberapa penjual mematok dengan harga belasan juta.

Alasan pedagang bermacam. Mulai dari produksi terbatas, hingga sejarah dari baju tersebut. Padahal kondisinya bekas. Warna kaos juga sudah memudar. “Ini seperti bisnis monkey. Dibesar-besarkan oleh komunitas. Sehingga harganya naik. Kalau laku atau tidaknya saya kurang tahu. Tapi kalau saya pribadi melihat harganya sudah tak masuk akal,” ungkapnya.

Mungkin tindakan tersebut juga memicu pemerintah melakukan penindakan pada usaha penjualan pakaian bekas ini. Memang tidak semua yang berlaku seperti ini. Sebagai pedagang justru masih banyak menjual dengan harga standar. Seperti baju kaos bekas Rp50 ribu bisa dapat tiga helai.

Wakil Ketua DPRD Kalbar, Syarif Amin Muhammad meminta pemerintah dapat mencarikan solusi untuk para pedagang pakaian bekas impor yang terdampak aktivitas jual beli. Jangan hanya memberikan larangan tanpa ada sebuah solusi tepat.

Baca Juga :  Dewan Nilai Kinerja BKD Belum Optimal

“Usaha barang bekas impor baik pakaian, sepatu dan lainnya telah menjadi penopang hidup masyarakat di Kalbar. Kontribusinya bagi penyediaan lapangan pekerjaan di Kalbar juga cukup tinggi,” ucapnya.

Menurut dia, pernyataan pemerintah melarang impor barang-barang lelong untuk usaha memiliki sisi positif dan negatif. Di satu sisi, Indonesia mungkin dianggap tempat sampah barang-barang bekas bergai merk dan produk dari luar negeri, namun berimbas juga industri konveksi, tekstil dan sepatu dalam negeri.

“Ini bicara dari sisi positifnya,” ucapnya.

Hanya saja, dari sisi lain industri pakaian bekas juga sangat berdampak untuk ekonomi masyarakat di Kalbar. Di Kota Pontianak, Kabupaten Kubu Raya, Mempawah hingga 14 kabupaten/kota lain di Kalbar, tidak sedikit usaha lelong impor dengan nama lelong yang beroperasi. Tidak sedikit masyarakat menggantungkan hidupnya dari bisnis ini.

“Kontribusi pembukaan lapangan pekerjaan juga tidak sedikit,” ucap dia.

Oleh karena itulah, pemerintah tidak boleh langsung melakukan penertiban usaha lelong tanpa solusi jelas dan nyata.

“Kalau dilarang sekarang. Solusinya apa buat para pedagang? Harus ada solusi jelas. Misalnya menyediakan lapangan kerja baru,” katanya. (iza/den)

Most Read

Artikel Terbaru