PONTIANAK – Fenomena kelangkaan minyak goreng belum juga mereda di Indonesia termasuk di Kalimantan Barat. Walaupun sudah berlangsung berbulan-bulan, salah satu komoditas sembako ini masih langka dan mahal. Pemerintah memang telah menggulirkan sejumlah program, namun hasilnya dinilai belum efektif.
Bahkan pemerintah melalui Kementerian Perdagangan RI, sudah mencabut ketentuan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng kemasan. Pemerintah berdalih banyak oknum mafia ikut bermain, sehingga di lapangan masih terjadi kelangkaan.
Komisi II DPRD Provinsi Kalbar juga ikut menyoroti masalah ini. Pembahasan pun dilakukan melalui rapat kerja bersama Dinas Perdagangan dan Industri Kalbar, Bulog, dan Gapki Kalbar pada Senin (21/3) di Gedung DPRD Kalbar.
“Kami (komisi dua) bersama Wakil Ketua DPRD Kalbar, Suriansyah mengadakan rapat kerja dengan Disperindag Kalbar, Distanak, Bulog, dan Gapki Kalbar membahas kelangkaan minyak goreng di Kalbar dan hal lain. Khusus masalah minyak goreng, ini sudah membuat ricuh ibu-ibu di seluruh daerah di Kalbar,” kata Affandi, Ketua Komisi II DPRD Kalbar, seusai rapat.
Menurutnya, berdasarkan keterangan dari Disperindag Kalbar, dugaan penimbunan memang ada. Namun asalnya justru bukan dari pabrik melainkan dari pihak distributor (penyalur). Di Kalbar sendiri, penghasil minyak goreng hanya PT. Wilmar dan PT. Unggul Persada di Kijing, Mempawah. Sementara pihak distributor di Kalbar setidaknya ada tiga perusahaan.
“Jadi selama ini distributorlah yang bertugas menyalurkan minyak goreng ke masyarakat di 14 Kabupaten/Kota. Sementara PT. Wilmar dan Unggul Persada hanya memproduksi minyak goreng saja,” ucapnya.
Nah, pihak distributor inilah yang harus dikejar. Komisi dua bakal memanggil distributor dan perusahaan produsen minyak goreng. Hanya saja, berdasarkan peraturan perundang-undangan, kategori penimbun memiliki batas waktu 90 hari kerja. Ayat karet ini dinilai aneh karena minyak goreng disamaratakan dengan jualan beras dan punya jangka waktu.
Politisi Demokrat Kalbar ini kembali melanjutkan, sejak penetapan HET, minyak goreng menjadi langka. Berdasarkan hasil rapat kerja tersebut, terungkap juga fakta bahwa mekanisme subsidi yang digaungkan pemerintah hingga Rp7 triliun kurang jelas.
“Tidak ada ketegasan pemerintah. Sering diadakan sidak-sidak bersama, tetapi tetap saja minyak goreng langka dan mahal. Harusnya tegas memberi subsidi, ya subsidi. Makanya karena tidak ada kejelasan, para pengusaha justru belum berani melepas minyak goreng ke distributor,” ucapnya.
Affandi berharap menjelang Ramadan dan Idul Fitri 2022, stok mintak goreng sudah harus tersedia merata. Tidak ada lagi rebut-rebutan dan antre sampai nyawa menjadi korban. Sebab, stok di Kalbar tersedia melimpah.
Ia berpendapat, pasal yang mengatur soal jangka waktu kategori penimbun haruslah diubah. Hal ini menjadi urusan pemerintah pusat.
“Kami hanya minta diubah. Cukuplah dua minggu saja. Jangan kategorikan penimbun dengan jangka waktu 90 hari,” ucapnya.
Lebih lanjut dikatakan, PT. Unggul Persada, selama ini hanya melakukan ekspor. Sementara PT. Wilmar yang memproduksi minyak goreng perannya memang lebih kepada menyalurkan ke pihak distributor. Tanpa menyebutkan nama pihak distributor, Komisi II berjanji segera melakukan pemanggilan.
“Tiga perusahaan tersebut, akan segera kami panggil. Nama distributor tersebut, kami juga belum tahu siapa-siapa saja,” katanya.
Anggota DPRD Kalbar dari dapil Kubu Raya-Mempawah ini menambahkan produksi minyak goreng di Kalbar mencapai 15.000 ton per bulan. Sementara untuk konsumsi warga 14 kabupaten/kota di Kalbar, hitungannya berkisar 0,76  liter per bulan dikalikan jumlah penduduk. Kebutuhan minyak goreng di Kalbar sekitar 4000-5000 ton per bulan.
“Jadi sebenarnya untuk produksi sudah lebih. Namun, memang masalah harga seperti ada ketidakjelasan pemerintah dan perusahaan. Harusnya kalau mau tetap konsisten mensubsidi, belajar dari pemerintah Malaysia. Harga minyak goreng subsidi di sana hanya Rp8.500 per kilogram. Rakyat di sana dimuliakan,” tukasnya.
Di sisi lain, Affandi juga mengungkapkan, menjelang Ramadan dan Idulfitri 2022, pihaknya sudah meminta Banmus menjadwalkan kembali rapat terkait antisipasi ketersediaan kebutuhan pokok menjelang hari sakral keagamaan tersebut. Dia tak menampik sejumlah komoditas pokok mulai mengalami kenaikan sejak kemarin.
Misalnya harga daging ayam naik Rp5.000. Harga gula naik Rp1000. “Naik boleh saja, namun jangan terlampau tinggi. Ini sudah harus diantisipasi pemerintah. Pemerintah sudah harus melakukan intervensi dan menggelar pasar murah. Pemkab di daerah juga harus menyubsidi. Jelang Ramadan dan Lebaran 2022, biasanya kenaikan tak terkendali,” ucap dia. (den)