Hari Kesadaran Epilepsi (Epilepsy Awareness Day) atau Purple Day diperingati setiap tanggal 26 Maret. Berkenaan dengan hal itu, Pontianak Post akan mengangkat perjuangan para penderita epilepsi. Bagaimana kisah mereka?
SITI SULBIYAH, Pontianak
BOCAH kecil berusia 2 tahun itu sekilas tampak seperti balita pada umumnya. Ceria dan aktif bermain. Namun siapa sangka, 2 tahun terakhir ia telah melewati serangkaian pengobatan. Itu dilakukan setelah ia divonis menderita epilepsi.
Anak itu bernama Aishwa. Sang ibu, Enny menceritakan, putri pertamanya itu pertama kali mengalami kejang saat berusia 7 bulan. “Saat itu bergetar seluruh badan,” kata Enny, menceritakan peristiwa yang terjadi pada sang buah hati.
Pada waktu itu, hampir setiap hari Aishwa mengalami kejang ringan terutama setiap bangun tidur. Ada pula gerakan mata yang menurutnya tidak biasa. Itu sebabnya ia memeriksakan kondisi anaknya kepada dokter.
Setelah diperiksa, dokter mengatakan bahwa anaknya menderita epilepsi. Betapa terkejutnya Enny dan suami mendengar hal itu. Rasa khawatir menggelayut, namun penuh dengan ketidakpercayaan.
Kondisi tersebut ditolak oleh Enny. Selama beberapa bulan ia mencoba berbagai pengobatan alternatif. Termasuk menggunakan jasa orang pintar. Disarankan orang berobat ke mana pun, ia jalani demi kesembuhan sang buah hati.
Namun hasilnya tidak begitu baik, bahkan cenderung tidak ada perubahan. Kejang-kejang yang dialami anaknya masih sering terjadi. Ia pun memutuskan untuk kembali ke penanganan medis.
“Diberikan obat dan harus diminum tepat waktu, ada yang dua kali sehari, ada yang tiga kali,” ucap warga Pontianak ini.
Pemberian obat pun diakuinya dilakukan secara bertahap sesuai dengan kondisi anak. Pada dosis tertentu dinilai dokter kurang maka akan ditambah. Kondisi ini dipantau dua minggu sekali oleh dokter. Enny pun disiplin menjalankan saran dokter sehingga kejang pada anaknya tak timbul sekitar empat bulan.
“Diusahakan juga hindari pencetusnya (epilepsi), seperti kepanasan dan kedinginan,” ujarnya,
Epilepsi yang dialami itu ternyata berdampak pada tumbuh kembang anaknya. Bila anak yang tumbuh kembangnya normal bisa duduk pada usia sekitar enam bulan, maka Aishwa baru bisa duduk saat umur 1 tahun. Tak hanya itu, anaknya juga tidak seaktif balita pada usianya.
“Tidak aktif dan jarang senyum,” imbuhnya.
Suatu ketika Aishwa menunjukkan kondisi yang mengkhawatirkan. Ia mengalami muntah-muntah dan sulit makan. Diberi ASI juga dimuntahkan. Ia dibawa ke IGD di salah satu rumah sakit dan dilakukan CT Scan. Hasilnya ia mengalami infeksi di otak. Lagi-lagi, Enny dikejutkan dengan kondisi yang menimpa anaknya itu.
Setelah serangkaian pengobatan, kondisi Aishwa mulai menunjukkan tanda-tanda membaik. Kini ia tampak lebih ceria dari sebelumnya. Selain itu, ia juga mulai aktif dan mulai belajar untuk berjalan lancar dan berbicara.
Enny juga sudah bisa menerima keadaan yang dialaminya. Ia yakin anaknya bisa tumbuh dan berkembang secara normal.
Enny bergabung dalam Komunitas Epilepsi Indonesia. Dari sana ia banyak mendapatkan edukasi sekaligus saling berbagi cerita dengan para orang tua yang anaknya epilepsi. Ia juga banyak belajar dari penderita epilepsi itu sendiri.
“Semoga ibu-ibu yang punya anak dengan epilepsi itu supaya bisa lebih sabar. Dan sebaiknya segera diperiksa bila anak ada tanda-tanda yang mengarah ke sana (epilepsi). Karena kalau misalnya anaknya cepat ditangani kemungkinan bisa tertangani dengan baik lebih besar,” pungkasnya.
Buat Yayasan
Banyaknya penderita epilepsi yang memerlukan pertolongan, mendorong Melky Oktav untuk membuat sebuah yayasan untuk memperjuangkan hak bagi semua penderita epilepsi dalam pendidikan, sosial, budaya dan kesehatan.
Tanggal 31 Mei 2022, Yayasan Bhakti Suara Kesembuhan resmi terbentuk berkat dukungan berbagai pihak. Melky mengatakan, yayasan ini memiliki misi untuk memberikan edukasi kepada masyarakat tentang epilepsi, supaya jangan ada lagi ODE yang dikucilkan.
“Karena Epilepsi bukanlah sesuatu yang hina, bukan kutukan dan bukan pula sakit kerasukan, juga tidak menular,” ujar Melky yang merupakan warga Bandung, Jawa Barat.
Pria kelahiran 1975 ini sebenarnya merupakan Orang Dengan Epilepsi (ODE). Kepada Pontianak Post, Melky menceritakan bahwa dirinya terlahir sehat tanpa ada menunjukkan gejala seperti epilepsi.
Tepat saat duduk dibangku SMP kelas dua, petaka itu datang. Ia dipukul tepat di kepala bagian kiri atas telinga. “Saat itu, saya terjatuh sampai tak sadarkan diri dan dibawa ke rumah sakit. Saat di RS dokter mengatakan tidak apa-apa hanya memar biasa,” ucapnya.
Ia tak menyadari bahwa hal inilah yang menjadi awal dari malapetaka dalam kehidupannya. Jelang akhir menamatkan pendidikan di SMP, ia mulai sering merasakan pusing. Kemampuan menyerap pelajaran juga berkurang drastis.

Kondisi ini berlanjut hingga SMA dan cenderung semakin parah. Ia malah sering terjatuh pingsan dan mengalami kejang.
“Saya dibawa orang tua periksa ke dokter umum dan dianjurkan ke dokter syaraf. Setelah mendatangi dokter syaraf, saya dinyatakan positif epilepsi,” katanya.
Mendengar hal itu, Melky merasa dunia terasa hancur berkeping-keping, frustasi, sedih, marah, stres, dan depresi. Keputusasaan ini bertambah ketika semakin sering kambuh dan nilai pelajaran merosot drastis.
Tidak hanya dalam prestasi akademik, ia mulai merasa kehilangan teman-teman satu per satu. Namun hal ini bukan karena ia merupakan penderita epilepsi, ataupun merasa jijik. Melainkan lebih karena sifatnya yang semakin egois dan emosional sejak didiagnosa epilepsi. Ya, kondisi mentalnya memang terganggu pasca mengetahui hal tersebut.
“Hari-hari saya dipenuhi rasa emosi karena merasa kecewa dengan keadaan, tak jarang marah karena teman yang bercanda,” ujarnya.
“Pernah beberapa kali saya mencoba melakukan bunuh diri karena putus asa, menggunakan benda tajam dan merobek-robek lengan, minum obat sebotol sampai over dosis dan dibawa ke RS dirawat,” sambungnya lagi.
Melky pernah menjalankan operasi di Singapura. Operasi berjalan lancar. Hasilnya kejangnya jarang kambuh. Jika dulu bisa setiap hari, namun setelah operasi sekitar 2 – 3 minggu sekali.
Ia sendiri tak tahu persis bagaimana kondisinya ketika sedang kambuh. “Saya baru tahu ketika istri saya memvideokan saat saya kambuh, lidah tergigit dan ngamuk, kejang-kejang. Setelah tidak kejang mata kosong melotot, pipis di kasur, bahkan tidak jarang BAB di kasur,” tuturnya.
Ia bersyukur memiliki orangtua dan istri yang mendukungnya agar bisa menjalani hidup dengan baik dan terus berpikir positif. Baginya, hati yang gembira adalah obat.
Kondisi ini juga tidak membuatnya pesimistis. Ia tak mau jadi orang malas. Terbukti ia tetap bisa bekerja seperti orang pada umumnya. Ia pernah membuka usaha, bekerja di sebuah perusahaan kontraktor, hingga di pabrik tas.
Kini ia telah menerima keadaan yang menimpanya. Pengobatan masih rutin dilakukan, termasuk pemeriksaan ke dokter. “Beberapa tahun saya tidak kambuh saya merasa sangat bersyukur sekali,” ujarnya
Saat ini ia aktif memberikan edukasi kepada teman-teman yang epilepsi, termasuk melalui Komunitas Epilepsi Indonesia (KEI). “Saya ikut bergabung disitu dan coba memberikan masukan-masukan yang sesuai dengan medis, bukan perdukunan atau alternatif,” pungkasnya. (*)