23 C
Pontianak
Thursday, March 30, 2023

Uang Sekolah Habis Untuk Bioskop, Sempat Diskors Satu Bulan 

Hari ini Gubernur Kalbar Sutarmidji merayakan ulang tahunnya yang ke-59. Apa yang sudah ia capai sampai hari ini, menurutnya merupakan bagian dari pembentukan karakter di masa remaja khususnya SMA. Seperti apa perjalanan kisahnya di masa putih abu-abu itu?

IDIL AQSA AKBARY, Pontianak

Sekolah Menengah Atas (SMA) Santo Paulus Pontianak menjadi saksi Gubernur Kalimantan Barat (Kalbar) Sutarmidji mengenyam pendidikan dan menghabiskan masa remajanya. Ia masuk ke sekolah tersebut tahun 1979 dan lulus di angkatan 1981. Atau genap sudah 40 tahun yang lalu.

Midji, sapaan karibnya, mengungkapkan alasan memilih melanjutkan di SMA Santo Paulus. Pertama, karena memang ia sudah terbiasa bersekolah di lingkungan mayoritas non-muslim. Ketika Sekolah Menengah Pertama (SMP), Midji sempat satu kali pindah sekolah, dari SMP PGK (Persatuan Guru Katolik), lalu lulus di SMPN 01 Pontianak.

Alasan kedua karena lokasinya yang paling dekat. Seperti diketahui Midji lahir dan besar di Jalan Rajawali, Pontianak Kota. Untuk sekolah ke SMA Santo Paulus di Jalan Arif Rahman Hakim, ia cukup berjalan kaki atau terkadang juga naik sepeda.

Lalu alasan yang terakhir menurutnya saat itu SMA Santo Paulus sudah menjadi salah satu sekolah berkualitas di Kota Pontianak. “Jadi pilihan-pilihan, pertimbangannya itu,” katanya saat menceritakan masa SMA, Sabtu (27/11).

GURU: Fransiskus Sumijo (68) salah satu guru Sutarmidji semasa SMA, yang mengajar Bahasa Indonesia.

Seperti remaja pada umumnya, masa putih abu-abu merupakan waktu yang paling berkesan selama menempuh pendidikan. Di sekolah, Midji sebenarnya masuk kategori pelajar yang biasa-biasa saja. Secara akademis ia tidak terlalu menonjol. Tapi ketertarikannya di bidang politik justru sudah muncul saat itu.

Pria yang hari ini genap berusia 59 tahun itu ingat betul, ia sering berdiskusi soal politik dengan salah satu gurunya di SMA. Yaitu guru mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP). “Jadi pertanyaan saya ke guru (PMP) itu persoalan politik, sementara kawan-kawan yang (mayoritas) dari etnis Tionghoa kan tidak tertarik mereka (bicara politik), mereka bersorak saja ketika saya bertanya (soal politik),” ujarnya.

Namun di luar akademis, kegiatannya di sekolah tidak banyak. Belum ada pilihan ekstrakurikuler yang beragam seperti pramuka dan lain sebagainya. Yang ada saat itu hanya kegiatan olahraga seperti basket, voli dan atletik. “Saya waktu SMA main basket, karena lapangan basket di situ ada dua atau tiga,” ucapnya.

Di sekolah pun ia tidak bisa fokus seratus persen. Selain bersekolah, ia juga harus mencari uang untuk biaya pendidikannya. Anak keenam dari pasangan Tahir Abubakar dan Djaedah itu memang dikenal sangat mandiri. Sejak bocah ia sudah bisa mencari uang dan membiayai pendidikannya sendiri.

Ketika SMA, Midji masuk sekolah siang hingga sore. Lalu waktu pagi dan malam harinya ia habiskan untuk berjualan. Midji kecil senang berkeliling jualan kue, surat kabar dan majalah. Lokasi berjualannya mulai dari pelabuhan, kantor wali kota, pasar tengah, feri penyeberangan dan sekitarnya. Itu ia lakoni mulai dari kelas dua Sekolah Dasar (SD) hingga kuliah semester tujuh.

Alasannya berhenti berdagang di semester tujuh, karena ingin fokus dan cepat menyelesaikan kuliah. Dan pula, saat itu ia sudah mendapat beasiswa. “Jadi saya walaupun sempat menganggur (tamat SMA) tapi cepat selesai kuliah, kurang lebih empat tahun saja di Fakultas Hukum (Untan) itu,” katanya.

Selain itu, di sekolah Midji juga dikenal menjadi bagian dari pelajar-pelajar yang tergolong nakal. Terutama di kelas tiga ketika ia memilih jurusan sosial atau IPS. Kelas mereka dijuluki Sasosa, tiga sosial A. Yang saking bandelnya, kelas tersebut pernah diskors selama hampir satu bulan.

“Masuk kelas tapi tidak ada guru yang mau ngajar (diskors), gara-gara suka kelahi, suka meledek. Lalu ribut antar IPA dengan IPS, karena membandingkan-bandingkan guru IPA dengan IPS, artinya gurunya tidak ada apa-apa, kitanya yang ledek-ledekan,” terangnya.

Baca Juga :  Vaksinasi Nakes Lampaui Target

Pernah di suatu waktu, Midji ingat ketika pembagian rapor, kepala sekolah saat itu bernama Pak Junaidi tidak mau membagikan rapor ke kelas mereka. Saking marahnya dengan kelas tersebut, para pelajar disuruh kepala sekolah membagikan rapor sendiri. “Belum lagi yang suka kelahi itu (sering), suka bolos, sudahlah,” ucapnya.

Kenakalan remaja sewaktu SMA yang ia ingat juga senang menonton bioskop. Tak jarang film yang ditonton juga yang di atas ketentuan usia. Meski ketat dan sering ada razia penonton di bawah umur, Midji selalu bisa menghindarinya. Ia hanya akan masuk menonton ketika yakin tidak ada razia.

Saat itu ada bioskop yang namanya Pontianak Teater. Karena sering menonton di sana, uang untuk bayar sekolah sempat tidak ia bayarkan selama sembilan bulan. Uang itu habis dibelikan tiket untuk menonton bioskop. “Jadi (uang) habis untuk nonton di Pontianak Teater, jadi kelas kami itu, kelas bandelah,” jelasnya.

Belum lagi, pria kelahiran 1962 itu menceritakan, kelas mereka juga sempat ribut dengan warga tetangga sekolah. Itu karena letak kelas yang berada di lantai dua, dan karena iseng, mereka main lempar-lemparan ke arah permukiman masyarakat di bawahnya. “Kami lempar-lempar dari atas kan, eh yang bawah (warga) juga balas, akhirnya Pak Bruder Hermanus (kepala sekolah saat itu) marah,” ingatnya.

Meski demikian, ketika dewasa teman-teman sekelasnya rata-rata terbilang sukses. Ikatan persahabatan mereka juga masih terjalin dengan baik hingga saat ini. Dari 38 orang total pelajar di kelas tersebut, sampai sekarang masih sering berkomunikasi.

“Jadi (yang masih komunikasi) 36 orang, dua sudah meninggal, itu berhasil lah ya rata-rata. Sekarang menikmati masa tua saja, ada yang pegawai sudah pensiun, ada pimpinan bank, tapi komunikasi kami masih (baik), kadang kami reuni,” ungkap Midji.

Banyak hal ia pelajari sewaktu SMA dulu. Sebagai minoritas di lingkungan sekolah, ayah tiga anak itu sudah terbisa dengan perbedaan. Pihak sekolah juga menurutnya punya toleransi yang sangat tinggi. Terbukti ketika uang sekolahnya sempat menunggak hingga sembilan bulan, ia tetap diperkenankan mengikuti ujian dan belajar seperti biasa.

Kemudian berkaitan dengan pelajaran agama misalnya, karena beragama islam, ia tetap diberi kebebasan. Mau ikut pelajaran agama katolik dipersilahkan, mau keluar juga boleh. “Tapi kan kita harus dapat nilai (mata pelajaran agama), maka saya ketika tes ikut. Ada untungnya juga, karena ketika S-2 kan saya hukum dan ilmu pengetahuan islam, ada (mata kuliah) perbandingan agama, jadi saya tahu dikit-dikitlah, karena tadi itu (belajar agama katolik),” jelasnya.

Pada prinsipnya dikatakan Midji, tidak pernah ada pemaksaan dalam berkeyakinan selama ia sekolah di SMA Santo Paulus. Para guru agama di sana juga fleksibel atau tetap menghormati agama dari masing-masing pelajar. “Saya sudah biasa (dengan keberagaman), makanya ketika saya jadi gubernur ini tidak suka dengan (membeda-bedakan agama), kalau mau maju itu kita harus saling menghormati,” imbuhnya.

Mantan Wali Kota Pontianak dua periode itu menyimpulkan, masa SMA merupakan masa pembentukan karakter untuk bekal di jenjang kehidupan berikutnya. Ketika karakter di masa SMA sudah dibentuk dengan baik, maka ia yakin seseorang akan mudah menyesuaikan kehidupannya di saat dewasa hingga tua.

“Saya tertarik di politik juga sejak SMA, makanya ketika tamat SMA saya mendaftar sebagai anggota PPP (Partai Persatuan Pembangunan), sehingga PPP itu kartu (anggota) saya tahun 81, sekarang berarti saya sudah 40 tahun (di PPP),” tambahnya.

Baca Juga :  Dua Ribu Paket Bantuan Untuk Tujuh Desa Terdampak Banjir di Sambas

Di luar politik, setelah menuntaskan masa SMA di tahun 1981, Midji sempat langsung diterima bekerja di salah satu bank swasta. Itu karena ia memiliki ijazah bon A, yang kala itu ijazah tersebut bisa dikatakan tiket masuk yang banyak dicari untuk memasuki dunia kerja. Namun kesempatan itu tidak ia ambil.

Hasrat untuk bisa bekerja tetap, di salah satu bank ternama sempat ada di benaknya. Akan tetapi, banyak sahabatnya kala itu mengajak untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Midji pun sempat bingung antara memilih kuliah atau bekerja. Yang ia takutkan hanya tak mampu secara biaya.

Tapi akhirnya ia bertekad melanjutkan kuliah, dengan tetap bekerja sampingan. Jualan koran dan majalah. “Jadi tidak saya lakoni (kerja bank), saya sempat menganggur satu tahun, saya baru masuk kuliah tahun 1982 di Fakultas Hukum (Untan), tahun 1986 selesai, tamat kuliah IP (indeks prestasi) di atas tiga,” pungkasnya.

Aura Kepemimpinan Menonjol Sejak SMA

Ketertarikan Sutarmidji di dunia politik dan aura kepemimpinannya memang sudah muncul sejak SMA. Hal itu dibenarkan oleh salah satu gurunya ketika di SMA Santo Paulus Pontianak. Menurut Fransiskus Sumijo (68), guru Bahasa Indonesia yang mengajarnya di kelas dua dan tiga itu, Sutarmidji memang tidak begitu menonjol secara akademis dan cenderung pendiam.

Hanya saja, meski tidak menjabat sebagai ketua kelas, pelajar di kelasnya rata-rata tunduk, segan dan menghormati Sutarmidji. “Apakah ada karisma tertentu atau bagaimana, tapi yang jelas kelihatannya dia (Sutarmidji) itu bisa menggerakkan teman-temannya gitu lho,” katanya kepada Pontianak Post, Minggu (28/11).

Selain itu, menurut Pak Frans sapaannya, Sutarmidji juga dikenal sangat tekun. Sifat kepemipinannya sudah muncul dan pertemanan antar pelajar dalam satu kelasnya begitu kompak. “Sampai sekarang itu grup (kelas) mereka masih ada,” ucapnya.

Pak Frans juga ingat betul ketika kelas Sutarmidji dan kawan-kawan diskors. Saat itu ia sendiri yang memberikan sanksi karena ia menjabat sebagai wakil kepala sekolah. “Nakalnya sih menurut saya nakal wajar, tidak brutal, nakal-nakal diam begitu. Entah bagaimana waktu itu dan pelakunya siapa, tapi yang jelas bahwa diskors itu bukan dia (Sutarmidji) sendiri tapi satu kelas,” ceritanya.

Walaupun terbilang bandel, Sutarmidji Cs justru dikenal sangat menghormati para guru. Sifat itu sudah terlihat sejak masih duduk di bangku SMA hingga mereka lulus dan berhasil dengan karir masing-masing. Pak Frans mengatakan cara mereka menghormati guru benar-benar dapat dipertanggungjawabkan.

“Bahkan sampai sekarang, masih ada beberapa guru yang diingat gitu lho. Kadang kalau misalnya ada orang yang ke kantor gubernur atau ketemu beliau, lalu orang itu kenal saya, dia pasti titip salam, masih (sampai sekarang),” paparnya.

Kecintaan dan perhatian Sutarmidji terhadap alamamater juga dinilai cukup tinggi. Setiap diundang dalam berbagai kegiatan sekolah, Pak Frans ingat ia selalu hadir. Sutarmidji juga disebutkan dia sudah sangat disiplin dengan waktu sejak SMA.

Lalu masa remajanya tidak pernah minder meski harus berjualan untuk bisa mencukupi biaya sekolah.

“Jadi masuk sekolah kan jam 13.00 WIB, setengah satu itu dia (Sutarmidji) sudah ada di kelas. (paginya) Dia jualan koran atau jualan kue waktu itu, memang dia itu termasuk, merangkak dari bawah begitu ya. Itu bagi kami yang bisa kami pegang itu, tidak malu karena merasa bahwa itulah yang harus dilakukan,” tutupnya. (*)

Hari ini Gubernur Kalbar Sutarmidji merayakan ulang tahunnya yang ke-59. Apa yang sudah ia capai sampai hari ini, menurutnya merupakan bagian dari pembentukan karakter di masa remaja khususnya SMA. Seperti apa perjalanan kisahnya di masa putih abu-abu itu?

IDIL AQSA AKBARY, Pontianak

Sekolah Menengah Atas (SMA) Santo Paulus Pontianak menjadi saksi Gubernur Kalimantan Barat (Kalbar) Sutarmidji mengenyam pendidikan dan menghabiskan masa remajanya. Ia masuk ke sekolah tersebut tahun 1979 dan lulus di angkatan 1981. Atau genap sudah 40 tahun yang lalu.

Midji, sapaan karibnya, mengungkapkan alasan memilih melanjutkan di SMA Santo Paulus. Pertama, karena memang ia sudah terbiasa bersekolah di lingkungan mayoritas non-muslim. Ketika Sekolah Menengah Pertama (SMP), Midji sempat satu kali pindah sekolah, dari SMP PGK (Persatuan Guru Katolik), lalu lulus di SMPN 01 Pontianak.

Alasan kedua karena lokasinya yang paling dekat. Seperti diketahui Midji lahir dan besar di Jalan Rajawali, Pontianak Kota. Untuk sekolah ke SMA Santo Paulus di Jalan Arif Rahman Hakim, ia cukup berjalan kaki atau terkadang juga naik sepeda.

Lalu alasan yang terakhir menurutnya saat itu SMA Santo Paulus sudah menjadi salah satu sekolah berkualitas di Kota Pontianak. “Jadi pilihan-pilihan, pertimbangannya itu,” katanya saat menceritakan masa SMA, Sabtu (27/11).

GURU: Fransiskus Sumijo (68) salah satu guru Sutarmidji semasa SMA, yang mengajar Bahasa Indonesia.

Seperti remaja pada umumnya, masa putih abu-abu merupakan waktu yang paling berkesan selama menempuh pendidikan. Di sekolah, Midji sebenarnya masuk kategori pelajar yang biasa-biasa saja. Secara akademis ia tidak terlalu menonjol. Tapi ketertarikannya di bidang politik justru sudah muncul saat itu.

Pria yang hari ini genap berusia 59 tahun itu ingat betul, ia sering berdiskusi soal politik dengan salah satu gurunya di SMA. Yaitu guru mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP). “Jadi pertanyaan saya ke guru (PMP) itu persoalan politik, sementara kawan-kawan yang (mayoritas) dari etnis Tionghoa kan tidak tertarik mereka (bicara politik), mereka bersorak saja ketika saya bertanya (soal politik),” ujarnya.

Namun di luar akademis, kegiatannya di sekolah tidak banyak. Belum ada pilihan ekstrakurikuler yang beragam seperti pramuka dan lain sebagainya. Yang ada saat itu hanya kegiatan olahraga seperti basket, voli dan atletik. “Saya waktu SMA main basket, karena lapangan basket di situ ada dua atau tiga,” ucapnya.

Di sekolah pun ia tidak bisa fokus seratus persen. Selain bersekolah, ia juga harus mencari uang untuk biaya pendidikannya. Anak keenam dari pasangan Tahir Abubakar dan Djaedah itu memang dikenal sangat mandiri. Sejak bocah ia sudah bisa mencari uang dan membiayai pendidikannya sendiri.

Ketika SMA, Midji masuk sekolah siang hingga sore. Lalu waktu pagi dan malam harinya ia habiskan untuk berjualan. Midji kecil senang berkeliling jualan kue, surat kabar dan majalah. Lokasi berjualannya mulai dari pelabuhan, kantor wali kota, pasar tengah, feri penyeberangan dan sekitarnya. Itu ia lakoni mulai dari kelas dua Sekolah Dasar (SD) hingga kuliah semester tujuh.

Alasannya berhenti berdagang di semester tujuh, karena ingin fokus dan cepat menyelesaikan kuliah. Dan pula, saat itu ia sudah mendapat beasiswa. “Jadi saya walaupun sempat menganggur (tamat SMA) tapi cepat selesai kuliah, kurang lebih empat tahun saja di Fakultas Hukum (Untan) itu,” katanya.

Selain itu, di sekolah Midji juga dikenal menjadi bagian dari pelajar-pelajar yang tergolong nakal. Terutama di kelas tiga ketika ia memilih jurusan sosial atau IPS. Kelas mereka dijuluki Sasosa, tiga sosial A. Yang saking bandelnya, kelas tersebut pernah diskors selama hampir satu bulan.

“Masuk kelas tapi tidak ada guru yang mau ngajar (diskors), gara-gara suka kelahi, suka meledek. Lalu ribut antar IPA dengan IPS, karena membandingkan-bandingkan guru IPA dengan IPS, artinya gurunya tidak ada apa-apa, kitanya yang ledek-ledekan,” terangnya.

Baca Juga :  Semarak, Penetapan Relawan Pajak Kanwil DJP Kalbar

Pernah di suatu waktu, Midji ingat ketika pembagian rapor, kepala sekolah saat itu bernama Pak Junaidi tidak mau membagikan rapor ke kelas mereka. Saking marahnya dengan kelas tersebut, para pelajar disuruh kepala sekolah membagikan rapor sendiri. “Belum lagi yang suka kelahi itu (sering), suka bolos, sudahlah,” ucapnya.

Kenakalan remaja sewaktu SMA yang ia ingat juga senang menonton bioskop. Tak jarang film yang ditonton juga yang di atas ketentuan usia. Meski ketat dan sering ada razia penonton di bawah umur, Midji selalu bisa menghindarinya. Ia hanya akan masuk menonton ketika yakin tidak ada razia.

Saat itu ada bioskop yang namanya Pontianak Teater. Karena sering menonton di sana, uang untuk bayar sekolah sempat tidak ia bayarkan selama sembilan bulan. Uang itu habis dibelikan tiket untuk menonton bioskop. “Jadi (uang) habis untuk nonton di Pontianak Teater, jadi kelas kami itu, kelas bandelah,” jelasnya.

Belum lagi, pria kelahiran 1962 itu menceritakan, kelas mereka juga sempat ribut dengan warga tetangga sekolah. Itu karena letak kelas yang berada di lantai dua, dan karena iseng, mereka main lempar-lemparan ke arah permukiman masyarakat di bawahnya. “Kami lempar-lempar dari atas kan, eh yang bawah (warga) juga balas, akhirnya Pak Bruder Hermanus (kepala sekolah saat itu) marah,” ingatnya.

Meski demikian, ketika dewasa teman-teman sekelasnya rata-rata terbilang sukses. Ikatan persahabatan mereka juga masih terjalin dengan baik hingga saat ini. Dari 38 orang total pelajar di kelas tersebut, sampai sekarang masih sering berkomunikasi.

“Jadi (yang masih komunikasi) 36 orang, dua sudah meninggal, itu berhasil lah ya rata-rata. Sekarang menikmati masa tua saja, ada yang pegawai sudah pensiun, ada pimpinan bank, tapi komunikasi kami masih (baik), kadang kami reuni,” ungkap Midji.

Banyak hal ia pelajari sewaktu SMA dulu. Sebagai minoritas di lingkungan sekolah, ayah tiga anak itu sudah terbisa dengan perbedaan. Pihak sekolah juga menurutnya punya toleransi yang sangat tinggi. Terbukti ketika uang sekolahnya sempat menunggak hingga sembilan bulan, ia tetap diperkenankan mengikuti ujian dan belajar seperti biasa.

Kemudian berkaitan dengan pelajaran agama misalnya, karena beragama islam, ia tetap diberi kebebasan. Mau ikut pelajaran agama katolik dipersilahkan, mau keluar juga boleh. “Tapi kan kita harus dapat nilai (mata pelajaran agama), maka saya ketika tes ikut. Ada untungnya juga, karena ketika S-2 kan saya hukum dan ilmu pengetahuan islam, ada (mata kuliah) perbandingan agama, jadi saya tahu dikit-dikitlah, karena tadi itu (belajar agama katolik),” jelasnya.

Pada prinsipnya dikatakan Midji, tidak pernah ada pemaksaan dalam berkeyakinan selama ia sekolah di SMA Santo Paulus. Para guru agama di sana juga fleksibel atau tetap menghormati agama dari masing-masing pelajar. “Saya sudah biasa (dengan keberagaman), makanya ketika saya jadi gubernur ini tidak suka dengan (membeda-bedakan agama), kalau mau maju itu kita harus saling menghormati,” imbuhnya.

Mantan Wali Kota Pontianak dua periode itu menyimpulkan, masa SMA merupakan masa pembentukan karakter untuk bekal di jenjang kehidupan berikutnya. Ketika karakter di masa SMA sudah dibentuk dengan baik, maka ia yakin seseorang akan mudah menyesuaikan kehidupannya di saat dewasa hingga tua.

“Saya tertarik di politik juga sejak SMA, makanya ketika tamat SMA saya mendaftar sebagai anggota PPP (Partai Persatuan Pembangunan), sehingga PPP itu kartu (anggota) saya tahun 81, sekarang berarti saya sudah 40 tahun (di PPP),” tambahnya.

Baca Juga :  Persaingan Sengit, Tim Basket 3x3 Putri Kalbar Satu Grup dengan DKI Jakarta, Sumatera Barat dan Tuan Rumah Papua

Di luar politik, setelah menuntaskan masa SMA di tahun 1981, Midji sempat langsung diterima bekerja di salah satu bank swasta. Itu karena ia memiliki ijazah bon A, yang kala itu ijazah tersebut bisa dikatakan tiket masuk yang banyak dicari untuk memasuki dunia kerja. Namun kesempatan itu tidak ia ambil.

Hasrat untuk bisa bekerja tetap, di salah satu bank ternama sempat ada di benaknya. Akan tetapi, banyak sahabatnya kala itu mengajak untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Midji pun sempat bingung antara memilih kuliah atau bekerja. Yang ia takutkan hanya tak mampu secara biaya.

Tapi akhirnya ia bertekad melanjutkan kuliah, dengan tetap bekerja sampingan. Jualan koran dan majalah. “Jadi tidak saya lakoni (kerja bank), saya sempat menganggur satu tahun, saya baru masuk kuliah tahun 1982 di Fakultas Hukum (Untan), tahun 1986 selesai, tamat kuliah IP (indeks prestasi) di atas tiga,” pungkasnya.

Aura Kepemimpinan Menonjol Sejak SMA

Ketertarikan Sutarmidji di dunia politik dan aura kepemimpinannya memang sudah muncul sejak SMA. Hal itu dibenarkan oleh salah satu gurunya ketika di SMA Santo Paulus Pontianak. Menurut Fransiskus Sumijo (68), guru Bahasa Indonesia yang mengajarnya di kelas dua dan tiga itu, Sutarmidji memang tidak begitu menonjol secara akademis dan cenderung pendiam.

Hanya saja, meski tidak menjabat sebagai ketua kelas, pelajar di kelasnya rata-rata tunduk, segan dan menghormati Sutarmidji. “Apakah ada karisma tertentu atau bagaimana, tapi yang jelas kelihatannya dia (Sutarmidji) itu bisa menggerakkan teman-temannya gitu lho,” katanya kepada Pontianak Post, Minggu (28/11).

Selain itu, menurut Pak Frans sapaannya, Sutarmidji juga dikenal sangat tekun. Sifat kepemipinannya sudah muncul dan pertemanan antar pelajar dalam satu kelasnya begitu kompak. “Sampai sekarang itu grup (kelas) mereka masih ada,” ucapnya.

Pak Frans juga ingat betul ketika kelas Sutarmidji dan kawan-kawan diskors. Saat itu ia sendiri yang memberikan sanksi karena ia menjabat sebagai wakil kepala sekolah. “Nakalnya sih menurut saya nakal wajar, tidak brutal, nakal-nakal diam begitu. Entah bagaimana waktu itu dan pelakunya siapa, tapi yang jelas bahwa diskors itu bukan dia (Sutarmidji) sendiri tapi satu kelas,” ceritanya.

Walaupun terbilang bandel, Sutarmidji Cs justru dikenal sangat menghormati para guru. Sifat itu sudah terlihat sejak masih duduk di bangku SMA hingga mereka lulus dan berhasil dengan karir masing-masing. Pak Frans mengatakan cara mereka menghormati guru benar-benar dapat dipertanggungjawabkan.

“Bahkan sampai sekarang, masih ada beberapa guru yang diingat gitu lho. Kadang kalau misalnya ada orang yang ke kantor gubernur atau ketemu beliau, lalu orang itu kenal saya, dia pasti titip salam, masih (sampai sekarang),” paparnya.

Kecintaan dan perhatian Sutarmidji terhadap alamamater juga dinilai cukup tinggi. Setiap diundang dalam berbagai kegiatan sekolah, Pak Frans ingat ia selalu hadir. Sutarmidji juga disebutkan dia sudah sangat disiplin dengan waktu sejak SMA.

Lalu masa remajanya tidak pernah minder meski harus berjualan untuk bisa mencukupi biaya sekolah.

“Jadi masuk sekolah kan jam 13.00 WIB, setengah satu itu dia (Sutarmidji) sudah ada di kelas. (paginya) Dia jualan koran atau jualan kue waktu itu, memang dia itu termasuk, merangkak dari bawah begitu ya. Itu bagi kami yang bisa kami pegang itu, tidak malu karena merasa bahwa itulah yang harus dilakukan,” tutupnya. (*)

Most Read

Artikel Terbaru