Setiap menjelang tahun baru Imlek, atau perayaan keagamaan lain, khususnya bagi warga keturunan Tionghoa, permintaan pernak pernik atau piranti sembahyang kian meningkat. Salah satunya adalah dupa atau hio. Berikut laporannya.
Arief Nugroho, Pontianak
Hio memiliki arti harum karena mengeluarkan wangi yang khas ketika dibakar. Hio yang umumnya berbentuk batang dan berwarna merah memiliki fungsi untuk menenangkan dan mengukur waktu. Ada juga kepercayaan bahwa membakar hio akan mengusir hawa negatif.
Dupa atau hio digunakan untuk bersembahyang kepada Tuhan atau permohonan pertolongan kepada sang Dewa dengan segera. Jumlah hio yang dipakai juga memiliki aturan khusus.
Penggunaan satu batang misalnya dapat digunakan untuk memusatkan pikiran di segala upacara sembahyang. Hio tiga batang digunakan untuk bersembahyang kepada Tuhan Yang Maha Esa atau Nabi atau Para Suci.
Pontianak Post berkesempatan melihat langsung proses produksi dupa di rumah produksi milik Hajono di Jalan Adisucipto, Kabupaten Kubu Raya.
Pagi itu, Minggu (30/1), di sebuah lahan kosong berada di Komplek Pemakaman Yayasan Yukemgo, Hajono dan seorang karyawannya terlihat tengah melakukan proses pewarnaan dan penjemuran dupa yang ia produksi.
Dupa yang sebelumnya berwarna putih kecoklatan itu dicelupkan ke dalam wadah atau ember berisi air yang telah diberi bubuk pewarna merah.
Setelah proses pewarnaan, selanjutnya dupa-dupa itu dijemur di bawah terik matahari. Proses penjemuran memakan waktu seharian penuh.
Dirinya menjelaskan jika proses penjemuran dupa pada saat ini sedikit rumit, dikarenakan cuaca yang saat ini tidak bisa diprediksi. Untuk itu, dirinya harus tetap bersiaga, menyiapkan terpal untuk penutup, jika sewaktu-waktu cuaca tidak bersahabat.

Hajono mengatakan, saat ini permintaan dupa kian meningkat dibanding dua tahun sebelumnya. Terutama pada awal pandemi Covid-19.
“Tahun ini permintaan lumayan meningkat dibanding awal awal pandemi. Tahun ini terbilang sudah normal,” kata Hajono kepada Pontianak Post, kemarin.
Rumah produksi dupa milik Hajono sudah berdiri sejak empat tahun lalu. Ia dibantu oleh empat orang karyawan. Setiap hari, rumah produksi dupa Hajono mampu mencetak 1000 sampai 1.200 batang.
Untuk pemasarannya sendiri, Hajono menjualnya ke Kota Singkawang dan daerah lain di luar Kalimantan Barat seperti di Pangkalanbun.
“Tahun ini ada sekitar 300 dus. Satu dus isinya 1.200 batang,” jelasnya.
Meski permintaan dupa kian meningkat, namun ketersediaan bahan baku yang sulit didapat menjadi kendala baginya. Karena hampir semua bahan baku ia datangkan dari luar kota, bahkan dari luar negeri.
Misalnya untuk lidi, ia harus datangkan dari Jember, Jawa Timur, serbuk angin didatangkan dari Semarang, Jawa Tengah dan lem, harus didatangkan dari Thailand.
“Saya sempat mengalami kesulitan bahan pokok yakni seperti lidi, tepung angin pialit, kalsium, dan juga lemnya, nah barang-barang tersebut saya pesan dari luar pulau Kalimantan,” jelasnya.
Untuk harga satuan dupa, ia jual Rp350 per batang. Sedangkan untuk ukuran kecil ia jual perkilogram Rp 22 ribu.
Menurut Hajono, dupa tersebut memiliki makna tersendiri bagi masyarakat Tionghoa.
Dirinya mengatakan jika dupa tersebut memiliki makna untuk persembahan kepada keyakinan masyarakat Tionghoa.
“Makna dari dupa sendiri cuman satu media yang dimana media ini untuk persembahan kepercayaan keyakinan masing-masing aja sih,” tuturnya.
Ia berharap, semoga pandemi cepat berakhir dan juga masyarakat bisa kembali beraktivitas seperti biasa tanpa adanya batasan dari pandemi ini sendiri. (*)