JAKARTA – Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin telah mendapatkan laporan baru tentang adanya dua anak yang memiliki gejala Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal (GGAPA) atau acute kidney injury (AKI). Dia meminta dilakukan penyelidikan di laboratorium independen untuk mengetahui kandungan pada obat sirop yang dikonsumsi anak tersebut.
Dia meminta kasus ini ditangani dengan saksama. Satu anak telah terkonfirmasi AKI dan meninggal dunia. Satu lagi masih dalam perawatan.
“Kasusnya sedang diselidiki agar dilihat apakah benar anak-anak ini meninggalnya karena GGAPA,” tuturnya.
Satu anak yang meninggal karena GGAPA pada 1 Februari lalu dikabarkan minum obat sirup merk Praxion. Namun, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sudah menyatakan bahwa obat ini aman dari cemaran etilen glikol (EG) yang melebihi ambang batas.
“Kami akan cek di lab yang independen apakah memang zat kimia tersebut melebihi ambang batas atau tidak,” katanya. Budi memberikan tenggat waktu penelitian itu akan tuntas pada minggu ini.
Sementara itu,Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dr Piprim Basarah SpA(K) menyebut pelaku pencampuran obat sirop dengan EG yang berlebihan merupakan penjahat kemanusiaan. Alasannya, ratusan anak akhirnya mengalami gagal ginjal dan sebagian besar meninggal dunia. ”IDAI ingin anak-anak di Indonesia dilindungi dan kasus ini tidak terulang kembali,” katanya. Dia meminta agar pelaku diusut tuntas.
Selain itu, Piprim mengatakan bahwa dokter anak di Indonesia akan terus memantau. Jika ada kasus yang dicurigai, maka akan dilaporkan dan dibicarakan secara organsasi. Dia mencontohkan pada kasus yang baru-baru ini terjadi di Jakarta. Ketika mendapatkan laporan pada Jumat lalu (3/2), IDAI langsung menyelenggarakan rapat. “Kami laporkan kepada Kemenkes dan BPOM karena pada saat itu status pasien yang meninggal sudah konfirm GGAPA,” katanya.
Sementara itu, Komisi IX DPR RI menyoroti munculnya dua kasus gagal ginjal akut baru. Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PKS Kurniasih Mufidayati minta BPOM benar-benar serius untuk melakukan investigasi jika memang ternyata benar pasien mengonsumsi obat-obatan sirup yang sudah masuk daftar aman oleh BPOM. Jika benar pasien mengonsumsi obat yang masuk daftar aman BPOM, pihaknya minta pertanggungjawaban dari BPOM untuk kembali memastikan apakah semua obat yang beredar di pasaran itu benar-benar aman.
“Tolong, ini menyangkut nyawa anak-anak, bukan main-main,” tegasnya.
Kurniasih mengingatkan, dalam Rapat Kerja Komisi IX DPR RI dengan Kemenkes dan BPOM pada 2 November 2022 lalu, disepakati untuk melakukan penegakan hukum yang berkeadilan dan transparan kepada industri yang terbukti melanggar standar sediaan farmasi.
Anggota Komisi IX lainnya Edy Wuryanto mendukung upaya Kemenkes melibatkan IDAI, BPOM, ahli epidemiologi, Labkesda DKI, Farmakolog, Puslanfor, dan para pakar untuk mengungkap penyebab pasti GGAPA ini. Menurutnya, penyelidikan secara mendalam perlu dilakukan agar mengetahui penyebabnya. Edy juga menyarankan agar ada keterbukaan kepada publik.
“Artinya penyebab dan kronologi pasien mengalami GGAPA harus disampaikan kepada publik supaya bisa diantisipasi masyarakat,” imbuhnya.
Legiselator Dapil Jawa Tengah III itu juga meminta Kemenkes menanggung seluruh biaya perawatan pasien sampai sembuh. Menurutnya, ini merupakan komitmen Kementerian Kesehatan yang harus dilaksanakan sesuai kesimpulan rapat dengan Komisi IX DPR RI beberpa waktu lalu.
Bareskrim Polri pun turun tangan kembali menyikapi temuan dua kasus gagal ginjal baru. Direktur Tindak Pidana Tertentu (Dirtipidter) Bareskrim Polri Brigjen Pipit Rismanto mengatakan, tim telah melakuan penelusuran.
“Petugas akan mencari tahu apa yang dikonsumsi pasien tersebut,” ujarnya.
Bareskrim selama ini telah berupaya mencegah kasus gagal
ginjal akut kembali terjadi. Seminggu yang lalu (30/1) Bareskrim mengungkapkan tentang penangkapan dua buronan kasus gagal ginjal akut. Total empat tersangka individu yang telah ditahan agar tidak mengulangi perbuatannya. “Ada pula lima tersangka korporasi,” terangnya.
Namun, ternyata kasus gagal ginjal akut kembali terjadi. Dia menuturkan bahwa kewenangan pengawasan dalam penggunaan obat ini berada di tangan BPOM. Karena itu, pihak BPOM lah yang dinilai lebih berkompeten menjelaskan mengenai mekanisme pengawasannya. “Perlu dijelaskan bagaimana pengawasannya,” kata dia kemarin. (idr/lyn/lum)