JAKARTA – Polemik transaksi mencurigakan Rp 300 triliun di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) berakhir anti klimaks. Inspektorat Jenderal (Irjen) Kementerian Keuangan Awan Nurmawan Nuh menegaskan bahwa transaksi yang awalnya disebut pergerakan uang tidak lazim di Direktorat Jenderal Pajak dan Bea Cukai itu bukan korupsi atau tindak pidana pencucian uang (TPPU).
”Jadi prinsipnya angka Rp 300 triliun itu bukan angka korupsi ataupun TPPU pegawai di Kementerian Keuangan,” ujar Irjen Kemenkeu di Gedung Djuanda I Kemenkeu, Jakarta, kemarin (14/03).
Awan menegaskan Kemenkeu berkomitmen melakukan pembersihan secara menyeluruh di lingkungan Kemenkeu.
“Mengenai informasi-informasi pegawai (yang bergaya hidup mewah, Red), itu kita tindaklanjuti secara baik, secara proper, kita panggil dan sebagainya. Intinya kerja sama antara Kementerian Keuangan dan PPATK sudah begitu cair,” jelasnya.
Di kesempatan yang sama, Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana menjelaskan, Kemenkeu merupakan salah satu penyidik tindak pidana asal sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.
Aturan itu mengatur tentang kewajiban PPATK untuk melaporkan kepada Kemenkeu segala bentuk transaksi mencurigakan yang terkait dengan kejahatan kepabeanan dan perpajakan. Nah, Rp 300 triliun yang disebut itu merupakan total keseluruhan hasil analisis atas kasus-kasus terkait kepabeanan dan perpajakan yang mana sudah menjadi kewajiban PPATK untuk menyampaikannya kepada Kemenkeu agar ditindaklanjuti.
Sementara terkait kejahatan yang lain, seperti korupsi dan narkotika, PPATK melaporkannya ke aparat penegak hukum lain, seperti KPK, Kejaksaan Agung dan Polri.
“Kasus-kasus itulah (kejahatan perpajakan dan kepabeanan, Red) yang secara konsekuensi logis memiliki nilai yang luar biasa besar, yang kita sebut dengan kemarin Rp 300 triliun,” terangnya.
Ivan menyebut transaksi dalam jumlah besar fantastis itu bukan tentang abuse of power atau penyalahgunaan wewenang pegawai Kemenkeu. Bukan juga soal adanya korupsi yang dilakukan oleh oknum pegawai di Kemenkeu.
”Ini sekali lagi bukan tentang penyimpangan ataupun bukan tentang tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pegawai Kementerian Keuangan,” ujar Ivan.
Di sisi lain, KPK kemarin meminta klarifikasi Kepala Bea Cukai Makassar Andhi Pramono sebagai tindak lanjut gaya hidup mewah yang ramai disorot masyarakat di ruang digital. Kepada KPK, Andhi mengaku telah menjelaskan secara rinci terkait harta kekayaannya.
”Saya telah lengkap menyampaikan dan telah diklarifikasi secara kooperatif dan profesional,” ujarnya usai diperiksa KPK.
Terkait rumah mewah yang menjadi salah satu titik poin sorotan warganet, Andhi mengaku bahwa hunian itu ditempati orang tuanya sejak lama. Andhi mengaku berada di situ ketika sedang menjaga orang tuanya. ”(Rumah mewah, Red) belum diwariskan kepada saya,” terangnya.
Sementara terkait foto-foto gaya hidup hedon putrinya yang juga menjadi sorotan publik, Andhi menyebut jika anak perempuannya itu tengah menekuni dunia fashion sekaligus berprofesi sebagai selebgram. Saat ini, putri Andhi sedang menempuh kuliah double degree di Universitas Indonesia (UI) dan universitas di Australia.
Selain memeriksa Andhi, KPK kemarin juga memanggil Kepala Kantor Pajak Madya Jakarta Timur Wahono Saputro. Hanya saja, Wahono enggan berkomentar usai menjalani pemeriksaan LHKPN. Dia langsung meninggalkan gedung KPK tanpa memberikan keterangan apa pun kepada awak media.
Juru Bicara KPK Bidang Pencegahan Ipi Maryati Kuding menyebut klarifikasi yang dilakukan KPK terhadap Andhi dan Wahono itu untuk memastikan keduanya telah lengkap melaporkan harta kekayaannya. KPK juga ingin memastikan darimana sumber penghasilan atau penerimaan keduanya.
”KPK akan menganalisis penjelasan yang disampaikan (Andhi dan Wahono, Red),” ungkapnya.
Terpisah, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) telah mengambil keputusan atas permohonan perlindungan yang diajukan oleh AG, kekasih Mario Dandy Satriyo (anak eks pegawai pahak Rafael Alun Trisambodo).
”Permohonan perlindungan AG ditolak karena tidak memenuhi syarat perlindungan,” ungkap Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo.
Selain karena AG berstatus pelaku anak, dalam kasus tersebut aparat kepolisian telah menetapkan anak mantan pegawai DJP Rafael Alun Trisambodo, Mario Dandy Satriyo, sebagai tersangka. Menurut Hasto, penolakan permohonan AG diputuskan melalui Sidang Mahkamah Pimpinan LPSK pada Senin (13/3). Syarat yang tidak dipenuhi oleh AG tertera dalam pasal 28 (1) huruf a dan huruf d.
Hasto menjelaskan bahwa pasal itu mengatur tentang sifat pentingnya keterangan saksi atau korban. Kemudian mengatur tentang rekam jejak tindak pidana yang pernah dilakukan oleh saksi atau korban.
”Status hukum pemohon (AG, Red) sebagai anak yang berkonflik dengan hukum, tidak termasuk ke dalam subjek perlindungan LPSK yang diatur dalam pasal 5 ayat 3 UU Nomor 31 tahun 2014,” ujar dia.
Meski begitu, Hasto menambahkan, Sidang Mahkamah Pimpinan LPSK juga telah memberikan rekomendasi kepada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) yang ditembusi ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Itu dilakukan oleh LPSK supaya Kementerian PPPA dan KPAI bisa mendampingi AG dan memastikan haknya terpenuhi. Menurut dia, itu sesuai dengan pasal 3 UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Selain itu, hak AG sebagai anak yang berkonflik dengan hukum juga diatur dalam pasal 64 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Lebih lanjut, Hasto menyampaikan bahwa pihaknya telah memutuskan untuk menerima permohonan perlindungan yang diajukan oleh dua orang saksi dalam kasus penganiayaan terhadap David. Yakni saksi berinisial R dan N.
Hasto menegaskan, kedua saksi tersebut telah memenuhi syarat untuk menjadi terlindung LPSK. Jenis perlindungan yang diberikan kepada saksi R adalah pemenuhan hak prosedural. Sedangkan terhadap pemohon N, LPSK memberikan pemenuhan hak prosedural dan rehabilitasi psikologis. Alasan lain yang melatari LPSK menerima permohonan mereka adalah jenis tindak pidana yang mereka saksikan.
”Tindak pidana tertentu sebagaimana diatur dalam UU nomor 31 tahun 2014,” imbuhnya. (dee/tyo/syn)