Oleh:
Pendidikan Agama Islam atau PAI adalah salah satu mata pelajaran yang diajarkan pada tingkat SD hingga SMA/SMK. Menurut Nazaruddin (2007 : 12), salah satu tujuan pembelajaran PAI adalah meningkatkan keimanan, ketakwaan, pemahaman, penghayatan dan pengamalan siswa terhadap ajaran Islam sehingga menjadi manusia muslim yang bertakwa kepada Allah SWT serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, bernegara dan berbangsa.
Keluhan klasik yang dialami oleh para guru PAI dari mulai SD-SMA adalah durasi (lama pembelajaran) yang sangat terbatas, yakni 3 jam tatap muka dengan lama setiap tatap mukanya adalah 35 menit (SD), 40 menit (SMP) dan 45 menit (SMA/SMK). Padahal PAI memiliki karakteristik khusus, karena menyangkut penguatan keyakinan (imtaq) yang dianut peserta didik dan sarat akan materi pembelajaran. Belum lagi problema kekinian yang semakin kompleks. Seorang guru PAI disamping wajib memiliki tingkat kompetensi yang baik (kompetensi akademik dan pedagodik), dan juga harus memiliki tingkat kepekaan yang tinggi juga kemampuan mengelola pembelajaran dengan baik dengan waktu yang cukup singkat.
Selain itu, yang tidak kalah menariknya adalah tantangan para guru untuk bagaimana mengintegrasikan nilai-nilai spiritual terhadap siswa. Sejatinya tugas ini bukan semata-mata menjadi “beban professional” guru PAI, tapi menjadi tanggungjawab bersama para tenaga pendidik, kependidikan, dan institusi pendidikan.
Namun, terdapat beberapa kendala dalam pelaksanaannya. Pertama, durasi lama pembelajaran. Seperti yang disinggung di atas, bahwa lama pembelajaran pada jenjang SD 3 jam pelajaran (35 menit), pada jenjang SMP (40 menit) dan jenjang SMA (45) menit. Terbatasnya jumlah tatap muka yang hanya 3 jam per-minggu ini sering dijadikan alasan klasik para guru mengingat PAI itu sarat akan materi sementara jumlah pertemuan tatap mukanya sangat singkat.
Kedua, masih adanya dikotomi antara pendidikan agama dan pendidikan umum. Sebetulnya problema ini sudah agak lama, termasuk pendidikan umum pun lazim dipisahkan antara golongan eksak dan golongan sosial. Lepas dari itu, dengan menjadikan mapel PAI “berdiri sendiri” menggiring asumsi seolah-olah pembinaan moral siswa menjadi tanggung jawab guru PAI semata-mata. Dan ujung-ujungnya guru non-PAI bisa berlepas tangan dari tanggungjawab itu.
Ketiga, transfer of knowledges. Dalam kenyataan di lapangan, masih banyak para guru yang memberikan materi pembelajaran “sekedar menyampaikan ilmu atau materi” apabila target kurikulum sudah tercapai dalam kurun tertentu, satu semester misalnya, maka merasa seolah-olah tugasnya sudah selesai. Pada akhir pembelajaran, merasa sudah mampu menyelesaikan tugas manakala semua target sudah tercapai dan bahkan sudah memberikan angka-angka hasil belajar siswa (di atas KKM).
Keempat, menjadikan siswa sebagai objek. Masih banyak ditemukan fenomena bahwa guru dalam menyampaikan pembelajarannya belum variatif, masih menggunakan metode konvensional seperti ceramah dan media papan tulis saat menyampaikan materi, sehingga siswa kurang memperhatikan guru (Sopiyatun, 2013). Seharusnya guru menjadikan siswa sebagai pusat pembelajaran (students centre) dengan memberikan ruang keleluasaan mengeksplor kemampuan siswa, guru hanya bertugas mendampingi, membimbing dan mengarahkan.
Kelima, karakteristik mata pelajaran yang berjenjang. Masalah ini terlihat jelas pada pendidikan madrasah. PAI di madasah (Quran, Hadits, Fiqih, Akidah Akhlak dan SKI) pada dasarnya merupakan kelanjutan dari jenjang sebelumnya. Misalnya, materi pembelajaran Quran Hadits di MA adalah kelanjutan dari materi Quran Hadits di MTs, demikian seterusnya. Kondisi ini agak menyulitkan para siswa yang berasal dari SMP untuk beradaptasi.
Keenam, mekanisme penerimaan peserta didik baru yang terbuka. Sesuai dengan UU Sisdiknas dan SKB Peraturan Menteri Pendidikan dan Menteri Agama, bahwa penyelenggaraan pendidikan madrasah dan umum mempunyai kesetaraan kedudukan. Dalam pengertian lulusan MI bisa melanjutkan ke SMP, atau SD bisa melanjutkan ke MTs demikian seterusnya sampai ke jenjang Perguruan Tinggi. Satu sisi positif, tapi tantangannya adalah sejauhmana guru dan lembaga pendidikan memahami kondisi peserta didik (input) yang varian itu.
Dari beberapa permasalahan di atas, penulis mencoba menarik benang merah. Bahwa sejatinya masalah itu bisa diminimalisir efek negatifnya apabila tenaga pendidik mampu mengintegrasikan nilai-nilai spiritual, menyatu kedalam proses pembelajaran baik yang intrakurikuler, ekstrakurikuler maupun kookurikuler.
Menurut Tengku Kasim (2014) nilai spiritual dapat diintergrasikan dalam pembelajaran di kelas dan di luar kelas. Bahkan, dalam struktur kurikulum 2013 nilai dan sikap spiritual sebagai kompetensi inti (KI) yang bersifat generic yang selalu melingkupi kompetensi yang ditanamkan pada peserta didik. Setiap kompetensi dasar (KD) yang akan disampaikan harus diiringi dengan sikap spiritual. Integrasi nilai-nilai spiritual itu tampak jelas dengan adanya KI -I yaitu sikap spiritual yang menjadi fondasi dari KI-II (sikap sosial), KI-III pengetahuan dan KI-IV keterampilan.
Menurut Crick (2011), sikap spiritual melingkupi kompetensi yang akan ditanamkan pada peserta didik. Setiap KD yang akan disampaikan harus diiringi dengan sikap spiritual. Karena sifatnya umum dan melingkupi tersebut, maka sikap spiritual tidak diajarkan secara langsung. Penguatan dalam proses pembelajaran ditekankan pada setiap saat namun terstruktur, dinilai secara terus menerus dan berkelanjutan, penilaiannya bersifat otentik, artinya perilaku yang diamati itu yang dinilai sehingga valid hasilnya. Untuk itu sejumlah instrument sudah harus dipersiapkan dalam menilai proses pembelajaran. Pola-pola pembiasaan yang terstruktur maupun tidak terstruktur akan menjadi titik tolak dalam menilai sikap spiritual.
Nilai-nilai spiritual yang dimaksud, misalnya, religius (semangat berketuhanan, semangat beragama), jujur, toleransi (lapang dada), disiplin, bersahabat (komunikatif), cinta damai, peduli sosial, tangung jawab dan lain sebagainya.
Penanaman dan penguatan nilai spiritual bisa dilakukan dengan proses yang verbal, yakni terintegral pada proses pembelajaran bisa juga pembiasaan-pembiasaan budaya organisasi kependidikan, terciptanya lingkungan dengan spirit religiutas yang tinggi dan sebagainya. Penguatan imtaq dengan mengintegrasikan proses belajar mengajar bisa melalui kegiatan Intra, ekstra dan kokurikuler. Intrakurikuler adalah kegiatan yang dilakukan oleh sekolah yang sudah diatur, jelas dan terjadwal dengan sistematis yang merupakan program utama dalam mendidik siswa. Kokurikuler biasanya dilaksanakan di luar jadwal dengan maksud agar siswa lebih memahami dan memperdalam materi yang disampaikan guru. Ekstrakurikuler adalah kegiatan yang diarahkan untuk memperluas pengetahuan siswa, mengembangkan nilai-nilai atau sikap dan menerapkan secara ;lebih lanjut pengetahuan yang telah dipelajari siswa dalam PBM di kelas.
Proses penguatan imtaqrhadap peserta didik merupakan ikhtiar solutif dalam mencapai tujuan pendidikan sebagaimana amanah UU Sisdiknas dan Permnendikbud 54/2013 yakni generasi muda yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, berilmu, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Poses imtaq dimaksudkan dilakukan dengan mengintegrasikan nilai-nilai spiritual (menyatu dalam proses belajar mengajar) atau dilakukan dengan di luar jam pembelajaran dan pembiasaan-pembiasaan serta lingkungan yang kondusif dan semangat religiutas yang tinggi.
Penulis adalah guru di MAN 2 Ketapang.