Oleh: Aswandi
SYAHWAT mulut yang tidak terkendalikan dan dipertontontan para pemimpin negeri ini di masa lalu, diwarisi oleh para generasi muda sekarang ini, Generasi penerus bangsa semakin berani mengatakan sesuatu yang mereka tidak ketahui substansi dari apa yang disampaikannya, diperburuk lagi cara menyampaikan pesan tersebut secara tidak sopan, tidak beretika, tidak beradab dan tidak bermartabat.
Pesan yang keluar dari mulutnya, ibarat harimau ganas dan ular berbisa yang hendak menerkan mangsanya. Anehnya, perkataan tidak sopan dan kurang ajar atau bertentangan dengan nilai Agama dan Pancasila tersebut dipertontonkan, bahkan dinikmati oleh sebagian pemirsa yang semestinya mereka mengutuknya. Fenomena syahwat mulut tak terkendali harus dihentikan, segala aturan perundang-undangan tentang ujaran kebencian ditegakkan.
Penulis khawatir, jika syahwat mulut seperti itu tidak dihentikan, dikemudian hari perilaku amoral tersebut menjadi perilaku yang dibenarkan. Lao Tsu seorang fisosof China, hidup ribuan tahun sebelum masehi mengingatkan, “Satu kesalahan tidak dikoreksi, maka kesalahan itu akan menjadi kebenaran”.
Mahatma Gandhi, seorang pemimpin sejati menambahkan, “Satu kesalahan ditoleransi, diwaktu bersamaan seribu kesalahan minta dibenarkan”. Tentu saja, penulis tidak mau menjadi bagian dimana kesalahan itu menjadi kebenaran.
Mulut berfungsi untuk bicara jumlahnya hanya satu, sementara telinga berfungsi untuk mendengar jumlahnya dua, maknanya adalah proporsi bicara semestinya setengah dari mendengar atau 1 : 2. Selain itu mulut yang digunakan untuk bicara dapat menutup dirinya sendiri tanpa memerlukan bantuan bagian tubuh lainnya, mulut yang selalu ingin menceritakan apa saja yang dilihatnya, menjawab sesuatu padahal sesuatu itu tidak ditanyakan kepadanya, menurut Atailah dalam kitabnya “Al-Hikam” adalah mulut bagi orang tolol atau bodoh.
Rasulullah Saw bersabda “Lebih Baik Diam” dan Jalaluddin Rumi seorang ahli tasawuf menegaskan bahwa “Diam atau tidak menjawab itu adalah sebuah jawaban”.
Leonardo da Vinci mengemukakan sebuah metafora; “Kerang terbuka total saat bulan purnama, dan ketika kepiting melihat seekor kerang yang terbuka, ia melemparkan sebutir batu atau ganggang laut ke dalamnya supaya si kerang tak bisa menutup lagi, jadi si kepiting bisa menyantap dagingnya. Begitulah nasib orang yang terlalu sering membuka mulutnya dan menempatkan dirinya pada belas kasihan pendengarnya”.
Robert Greene (2007) dalam bukunya “The 48 Laws of Power” mengatakan, bahwa “Dalam banyak hal, kekuasaan adalah permainan penampilan, dan ketika anda bicara lebih sedikit dari pada yang perlu anda ucapkan, anda pasti tampak lebih hebat, tampak semakin mendalam, misterius, dan lebih kuat dari yang sesungguhnya. Kekuasaan tidak bisa dimiliki oleh orang-orang yang bicara sembarangan.
Orang yang berkuasa membuat orang lain terkesan dengan lebih jarang bicara. Semakin banyak kata yang anda ucapkan, maka anda akan tampak biasa-biasa saja dan semakin kurang terkendali atau semakin banyak kemungkinan bagi anda untuk mengucapkan sesuatu yang konyol”.
Berbeda dengan telinga yang digunakan untuk mendengar dan tidak bisa menutup dirinya sendiri, melainkan memerlukan bantuan dari bagian tubuh lainnya seperti tangan, maknanya adalah mendengar jauh lebih penting dari pada bicara. Perhatikan dan pelajari kisah atau orang sukses, maka akan ditemukan dari mereka satu karakteristik utama yakni mereka memiliki “Kecerdasan Mendengar” yang tinggi.
Sebaliknya, banyak orang menjadi tidak terhormat karena mereka berbicara secara berlebih-lebihan. Contohnya, Ibnu Abbas ra seorang ahli fiqih yang semua ucapannya menjadi pedoman, tuntunan dalam beragama dan bermasyarakat dari sejak Rasulullah Saw hingga sekarang ini, ia dikenal sebagai sosok fugaha yang pendiam.
Memperhatikan fenomana syahwat mulut tak terkendalikan akhir-akhir ini, izinkan penulis mengutip nasehat Aristoteles seorang filosof mengenai pintu-pintu masuk dalam menyampaikan pesan, apa pun media yang digunakan yakni “Sampaikan kebenaran yang diperlukan untuk kebaikan dengan penuh rasa tanggung jawab”.
Nasehat Aristoteles tersebut mengandung 4 (empat) kata kunci, yakni; kebenaran, diperlukan, kebaikan dan tanggung jawab.
Empat kata kunci tersebut menjadi pintu-pintu masuk secara berurutan, yakni: pintu pertama adalah “Kebenaran”, pintu kedua “Diperlukan”, pintu ketiga adalah “Menjadi Kebaikan” dan pintu keempat adalah Tanggung Jawab”.
Masuklah terlebih dahulu melalu pintu pertama, setelah itu baru masuk melalui pintu kedua dan seterusnya.
Pintu pertama, pastikan bahwa pesan yang akan disampaikan adalah pesan kebenaran, ada dasar dan buktinya, bukan opini. Untuk memastikan pesan tersebut adalah sebuah kebenaran, maka setiap orang harus mempelajarinya dengan baik, teliti dan cermat.
Bagi penulis, memasuki pintu pertama ini saja sudah sangat sulit karena kebenaran ilmu pengetahuan yang selama ini penulis pelajari dan tekuni adalah kebenaran yang tidak objektif, dan metafisik, epistemologi serta aksiologi ilmu pengetahuan selalu mengalami pergeseran, belakangan ini terjadi meta marfosis ilmu pengetahuan yang secara terus menerus mengalami konvergensi.
Seorang pakar mengatakan, ilmu pengetahuan yang kita pelajari saat ini sesungguhnya sudah kadaluarsa, setidaknya sudah tertinggal selama 18 tahun. Akhirnya, untuk memastikan bahwa pesan yang akan penulis sampaikan adalah sebuah kebenaran, maka penulis harus sering membaca dan membolak-baik tafsir Al-Qur”an, Hadist Rasulullah Saw, beliau selalu mengingatkan agar sebelum pesan itu disampaikan lakukan terlebih dahulu cek and recek, dan Kitab-kitab para Ulama lainnya.
Setelah memasuki pintu pertama dimana pesan yang akan disampaikan dipastikan adalah kebenaran, maka lanjutkan memasuki pintu kedua, yakni pastikan pesan kebenaran tersebut sangat diperlukan untuk disampaikan.
Pada pintu kedua ini, banyak hal yang harus dipertimbangkan, antara lain memperhatikan siapa audient atau penerima pesan dan dalam batasan apa saja pesan kebenaran itu disampaikan. Pintu ketiga, setelah memastikan bahwa pintu pertama (pesan kebenaran) dan pintu kedua (diperlukan), silakan memasuki pintu ketiga yakni memastikan bahwa pesan kebenaran yang diperlukan tersebut akan membawa kebaikan bagi semua orang.
Jangan sampai pesan kebenaran yang diperlukan tersebut disampaikan, namun membawa dampak tidak menyenangkan, apalagi mencemarkan nama baiknya seseorang, maka sebaiknya komunikator bertahan saja pada pintu kedua. Sebaliknya, jika dipastikan bahwa pesan kebenaran yang diperlukan akan membawa kebaikan, maka sampaikanlah pesan tersebut.
Ketika pesan itu telah disampaikan, maka pesan tersebut menjadi milik banyak orang yang membaca dan mendengarnya. Boleh jadi, ada yang senang terhadap pesan yang Anda sampaikan, sebaliknya, boleh jadi ada juga pendengar dan pembaca yng tidak senang, bahkan tersinggung terhadap pesan yang Anda disampaikan.
Maka selaku penyampai pesan, harus masuk ke pintu ke empat, yakni bertanggung jawab terhadap pesan yang disampaikan. Sering terjadi, sedikit saja pesan yang disampaikan membuat orang lain tidak senang, maka mereka yang terganggu oleh pesan yang Anda sampaikan tersebut menempuh jalur hukum.
Jika hal tersebut terjadi, maka harus Anda hadapi dengan penuh rasa tanggung jawab. Alhamdulillah, penulis dalam setiap menyampaikan pesan selalu ingat nasehat Aristoteles tersebut di atas. Oleh karena itu, jika ada pembaca dan pendengar merasa tidak nyaman atau terganggu terhadap pesan yang penulis sampaikan, maka penulis siap untuk bertanggung jawab (Penulis, Dosen FKIP UNTAN)