Oleh: Aswandi
APAKAH pembaca ingin sukses?, YA, sukses itu karena karakter.
Apakah pembaca ingin gagal?, TIDAK, gagal itu karena karakter.
Mahatma Gandhi menegaskan bahwa “Segala Sesuatunya karena Karakter”.
Jadi, Sukses atau gagal itu ditentukan oleh kualitas karakter. Kualitas karakter tinggi berpotensi mengantarkan seseorang mencapai kesuksesannya, demikian sebaliknya.
Generasi berkarakter yang dimaksud pada judul opini di atas adalah generasi berkarakter tinggi (unggul). Mereka diyakini dan dipercayai mampu membawa bangsa Indonesia ini menjadi bangsa maju. Sebaliknya, jika karakter generasi ini lemah, keinginan menjadi “Indonesia Maju” hanyalah mimpi di siang bolong.
Mengawali opini ini, izinkan penulis menyampaikan potret sekilas wajah manusia Indonesia hari ini: “(1) Human Development Index (HDI) ranking 108/152 negara; (2) Competitiveness Index 2014 adalah 86/93 negara; (3) Tenaga kerja yang skilled adalah 7,2%; (4) Muchtar Lubis menambahkan, karakter manusia Indonesia meliputi: munafik (hipokrit), enggan bertanggung jawab, feodal, percaya tahayul (menderita penyakit keimanan yakni TBC), watak lemah, tidak hemat atau boros, lebih suka tidak bekerja keras kecuali jika dipaksa, berani bicara di belakang, suka pamer, mudah meniru, cepat cemburu, dengki dan senang selamatan”, dikutip dari Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan kebudayaan
Pada, 14 Juli 2019, bapak Joko Widodo menyampaikan pidato berjudul “Visi Indonesia”, yakni “Manusia Unggul, Indonesia Maju”.
Pidato beliau mengajak kita semua untuk berubah atau merubah karakter, antara lain agar: adaptif, produktif, inovatif, kreatif dan kompetitif.
Organisasi keagamaan Muhammadiyah merumuskan dimensi Indonesia Berkemajuan, yakni: (1) berkemajuan dalam semangat, alam pikir (mindset), perilaku dan orientasi ke masa depan; (2) berkemajuan untuk mewujudkan kondisi yang lebih baik dalam kehidupan material dan spiritual; dan (3) berkemajuan untuk menjadi unggul di berbagai bidang dalam pergaulan dengan bangsa-bangsa lain.
Memperhatikan pernyataan bapak Joko Widodo dan Organisasi keagamaan Muhammadiyah di atas mengindikasikan bahwa Indonesia maju dan berkepribadian tidak jatuh dari langit dan terjadi dalam waktu sekejab, melainkan melalui proses panjang, usaha keras/cerdas dan penuh taggung jawab.
Para ahli sependapat bahwa kemajuan tersebut sebesar 35% ditentukan oleh sistem dan sebesar 65% ditentukan oleh manusia yang mengendalikan sistem tersebut, yakni kualitas karakter manusia.
Transformasi budaya/nilai, mindset, perilaku harus terjadi jika ingin Indonesia maju, antara ditandai: tidak korupsi, tidak serakah, jujur, sportif, etos kerja tinggi, rasional, kreatif, inovatif, meritokratik, taat hukum dan mandiri.
Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI menggambarkan bahwa sebagai bangsa, kita kehilangan nilai integritas: jujur, dapat dipercaya, berkarakter, dan bertanggung jawab. Faktanya, dalam praktek berbangsa dan bernegara sering kali ketidakjujuran dipertontonkan tanpa ada rasa malu, tidak memegang etika dan moral, tidak bertanggung jawab, tidak dapat dipercaya dan tidak dapat diandalkan.
Dalam bidang ekonomi bangsa ini tertinggal jauh dari bangsa-bangsa lain, 76 tahun merdeka masih saja menyandang predikat negara sedang berkembang. Hal ini terjadi dan terus terjadi, karena kita kehilangan etos kerja: kerja keras, optimis, produktif, daya juang/daya saing, semangat mandiri, kreativitas dan inovatif kategori rendah,
Sebagai bagsa kita mengalami krisis identitas. Semangat gotong royong, saling kerjasama, dan solideritas menuntur, sekalipun ada berbelas kasih (compassion) sebatas ceita dalam sinetron.
Kondisi ini mengharuskan kita segera kembali membangun generasi baru berkarakter: integritas, etos kerja dan gotong royong.
Melahirkan generasi berkarakter dengan kualitas tinggi tidaklah mudah, jauh sebelum bangsa ini menyatakan kemerdekaannya 17 Agustus 1945, upaya penguatan karakter telah dilakukan. Namun hasilnya antara lain sebagaimana digambarkan oleh Muchtar Lubis di atas.
Apapun hasilnya, bangsa ini tidak boleh putus asa untuk memperbaikinya.
Thomas Licona salah seorang pakar pendidikan karakter, mengemukakan 3 (tiga) dimensi utama pendidikan karakter yang perlu mendapat perhatian; (1) moral knowing, misalnya; pertimbangan moral, nilai moral, kesadaran moral, mengenal diri; (2) moral feeling/loving, misalnya; conscience, harga diri, empathy, control diri; and (3) moral action/doing; kompetensi, keinginan dan kebiasaan.
Penulis sampaikan beberapa strategi penguatan karakter berikut ini: (1) memberi pemahaman yang benar tentang dimensi penguatan karakter, sesuai perkembanganan potensi peserta didik; (2) dilaksanakan melalui pembiasaan; (3) pemberian contoh atau tauladan; dan (4) dilaksanakan secara integral dan dialogis.
Penguatan karakter sulit diterapkan dalam kerangka pendidikan di negeri ini adalah ketidakpahaman dan ketidakjelasan konseptual tentang nilai karakter yang kemudian berakibat implementasi pendidikan karakter tidak tetap sasaran dan tidak terintegrasi, serta mengalami persoalan mekanisme evaluasi.
Doni Koesoema dan pakar pendidikan karakter lainnya menegaskan bahwa efektifitas penguatan pendidikan karakter akan efektif harus dimulai dari implementasi nilai karakter yang prioritas dalam jumlah yang sangat terbatas. Jika dilakukan secara konsisten, maka akan membawa perubahan pada nilai-nilai karakter lainnya, dikutip dari Kompas, 16 September 2017 dan sumber lain. Thomas Licona selaku pakar pendidikan krakter secara tegas memilih hanya 2 (dua) nilai utama, yakni: (1) rasa hormat; dan (2) tanggung jawab.
Pembiasaan memegang peran yang sangat penting dalam kehidupan manusia, ia mengambil porsi yang cukup besar dalam usaha manusia. Riset Duke University Amerika Serikat menyimpulkan bahwa perilaku manusia sebesar 40% adalah kebiasaannya, maknanya bahwa perilaku manusia telah dikendaikan oleh kebiasaannya. Oleh karena itu, Mahatma Ghandi mengatakan, “Perhatikan kebiasaanmu, karena ia akan menjadi karaktermu”. Ibn Miskawaih (1998) dalam bukunya “Tahdzib Al-Akhlaq” menyatakan hal yang sama bahwa “karakter manusia terletak pada fikirannya, dan dapat dicapai melalui pendidikan dan pergaulan, pengulangan atau kebiasaan dan disiplin”.
Selanjutnya, Abdullah Nashih Ulwan (1999) dalam bukunya “Tarbiyatul Aulad fil Islam” mengatakan “keteladanan dalam pendidikan merupakan metode yang berpengaruh dan terbukti paling berhasil atau membekas dalam mempersiapkan dan membentuk karakter, moral, spritual dan etos sosial anak”.
Akhir-akhir ini, kalangan birokrasi, pendidik, orang tua dan generasi muda kecewa karena adanya krisis keteladanan. Demikian Komaruddin Hidayat mantan rector UIN Syahid Jakarta (Kompas, 2 Mei 2011). Yudi Latif menyatakan hal yang sama, bahwa saat ini generasi telah kehilangan keteladanan.
Dalam pembentukan karakter, penguatan secara terintegrasi dan dialogis melalui “dialog dilemma moral dan imajinasi moral”.sangat diperlukan, dan indoktrinasi perlu dihindari. Dan pennguatan karakter tidak dapat berdiri sendiri sebagai mata pelajaran.
Penguatan pendidikan karakter memerlukan sinergitas antar unsur, antara lain sinergitas antar tri pusat pendidikan, yakni: informal oleh keluarga, formal oleh sekolah dan nonformal oleh masyarakat. Sinergitas lainnya yang harus saling menguatkan adalah antar unsur: kurikuler, kokurikuler dan ekstrakurikuler.
*Penulis, Dosen FKIP Untan