Oleh: Ikhsanudin
SELAMAT Idulfitri. Ramadan baru saja berlalu. Semoga amal ibadah kita diterima oleh Allah. Semoga nilai-nilai Ramadan akan membimbing kita dalam menjalani babak kehidupan selanjutnya.
Berpuasa dalam Islam adalah proses menjadi (learning to be) orang bertakwa melalui metode menahan hawa nafsu dan prosedur serta tata tertib yang telah diajarkan oleh Rasulullah Muhammad SAW. Pelbagai petunjuk dan fasilitas diberikan kepada hamba yang beriman agar menjalankannya dengan sepenuh hati. Namun, benar kan kita berpuasa untuk memenuhi maksud itu? Apakah ada jaminan maksud itu tercapai hanya dengan puasa sebulan penuh? Apakah yang selanjutnya harus dijalani agar kita kembali kepada Allah dalam keadaan bertakwa?
Rata-rata pelantang masjid mengumandangkan Surah Al-Baqarah Ayat 183 di malam-malam bulan Ramadan. “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. Lalu mucul pula kriteria ketakwaan. Misalnya: beriman kepada yang ghaib, mendirikan shalat, dan berinfaq (QS. 2:3) maupun yang lain. Ada juga di ayat lain: berinfaq baik di waktu lapang maupun sempit, menahan amarah dan memaafkan orang (QS. 3:134). Masih ada ayat-ayat lain yang menguraikan kriteria ketakwaan namun tidak dapat disebutkan semua di esai yang terbatas ini. Orang yang bertakwa layak mewakili agamanya menciptakan rasa aman dan nyaman bagi manusia dan makhluk lain di sekitarnya (to live together).
Amat banyak orang berpuasa yang tidak berubah menjadi orang yang bertakwa (HR. Ibnu Majah, No.1690); menjadi representasi kaum yang bertakwa. Hal itu disebabkan orang tersebut tidak berproses dengan baik. Jika demikian, apakah pupus harapan orang untuk menjadi bertakwa jika belum berhasil meraihnya melalui puasa?
Tentu tidak. Ada perintah lain, yang jika dijalankan, orang yang menjalankan itu bisa menjadi orang bertakwa. Perintah itu (mungkin lebih tepatnya “seruan itu”) ditujukan kepada segenap manusia. “Wahai manusia! SembahlahTuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang sebelum kamu, agar kamu bertakwa” (QS. 2:21).
Jalur ini perlu segera ditempuh, yaitu beribadah sesungguh hati hanya kepada Allah agar bisa bertakwa. Jika iman kita belum cukup untuk membawa kita bersedia berproses melalui puasa, kita perlu memperbaiki iman dan selanjutnya menuju takwa. Menjalani proses amatlah penting jika kita hendak menjadi sesuatu. Proses adalah runtunan perubahan (peristiwa) dalam perkembangan sesuatu.
Seseorang memerlukan kemampuan menundukkan diri hingga memiliki kesediaan berproses. Selama seorang manusia tetap sombong maka dia tidak akan bersedia. Amat berat bagi orang sombong mengikuti arahan; terlebih lagi kalau banyak seperti arahan dalam suatu proses. Maunya, dia lah yang memerintah. Minimal, dia tidak diperintah. Tapi, biasanya orang yang seperti itu dungu. Maunya memerintah tapi tak punya ilmu. Ada juga yang tidak mau diperintah Allah tetapi mau diperintah orang lain.
Orang yang tidak mau berproses biasanya tidak cerdas. Pikirannya pendek seperti pikiran kanak-kanak. Nafsunya lebih berkuasa ketimbang akalnya. Kehidupannya ingin instan, maunya here and now atau di sini dan sekarang. Daya nalarnya tidak mampu menjangkau hal-hal jauh dan abstrak. Jika melakukan sesuatu, orang-orang seperti ini menginginkan reward yang segera dan nyata. Maunya cepat mendapat uang dan cepat mendapat kesenangan. Yang agak cerdas bersedia berproses selama lima tahun hingga sepuluh tahun ke depan dan punya kesabaran untuk menerima reward pada waktunya. Sementara itu, orang-orang yang tergolong paling cerdas adalah mereka mampu menghargai tawaran reward yang akan dia terima setelah kematian, sangat jauh dan abstrak, dan proses pencapaiannya panjang.
Proses mendidik diri untuk menjadi orang yang bertakwa adalah proses panjang, yaitu proses seumur hidup (life-long process). Beribadah dengan benar sepanjang hayat akan menghasilkan ketakwaan dan terpeliharanya ketakwaan. Proses panjang tersebut harus dijalani setahap demi setahap dengan mengikuti tata-cara yang benar sesuai ajaran Nabi SAW untuk menghasilkan ketakwaan yang unggul. Namun, banyak manusia yang gagal berproses. Hawa nafsunya terlalu kuat dan diperkuat oleh godaan iblis. Sementara itu, keimanannya baru tumbuh dan tidak mendapat perawatan yang benar.
Manusia yang ingin unggul hendaknya pandai memilih lembaga untuk berproses. Mengapa harus lembaga? Hanya lembaga yang kerangka kerjanya yang memiliki konsistensi tinggi dan ekspektasi keberhasilan yang jelas. Coba, kita pahami hakikat lembaga. Paling tidak ada tiga contoh lembaga: lembaga pada biji buah, lembaga pendidikan formal, dan lembaga cetakan kue. Ada lagi; Buya Hamka membuat judul buku “Lembaga Budi”.
Lembaga adalah sesuatu yang memiliki sistem operasi atau algoritma kerja baku dan dapat menghasilkan output yang cenderung konsisten. Sebagai contoh: lembaga pada biji mangga. Setiap lembaga pada biji-biji manggayang sejenis akan menghasilkan pohon yang sejenis dan pohon-pohon yang dihasilkan itu akan mengeluarkan buah sejenis pula. Dalam pelajaran di sekolah disampaikan bahwa lembaga adalah bakal individu (baru). Individu itu akan tumbuh dari biji jika biji tersebut berada di tempat yang memungkinkan pertumbuhan. Suatu lembaga memliki calon akar, daun lembaga, batang lembaga, dan putih lembaga. Contoh berikutnya: lembaga pencetak kue boulu. Setiap adonan yang dimasukkan akan mengikuti setiap detil lekuk gerakan tersebut dan hasil panggangannya akan sesuai lekuk-lekuk tersebut.
Di masyarakat ada banyak lembaga: keluarga, sekolah, universitas, masjid, pasar, yayasan, organisasi politik, dan lain-lain. Ketika seseorang memasuki suatu lembaga, dia akan tercelup, terbentuk, dan terasuki oleh milieu dan algoritma yang bekerja secara konsisten pada lembaga tersebut. Maka, jangan salah memilih lembaga untuk berproses. Jangan pula kita salah memilihkan lembaga untuk anak-anak kita. Alangkah baiknya jika para tokoh dan pendidik muslim bergiat membuat lembaga-lembaga yang ditujukan untuk menghasilkan insan-insan yang bertakwa dan berkompetensi tinggi.
Hal berikutnya yang harus ditempuh oleh pejuang ketakwaan adalah bertekun dalam proses dan berproses secara tekun. Puasa memerlukan ketekunan tinggi dan ibadah pasca Ramadan juga harus dijalani dengan tekun. Banyak kelemahan generasi muslim di bidang ketekunan, kesabaran, dan konsistensi dalam berproses. Istilah paling mutakhir dalam dunia pendidikan terkait hal ini adalah resilience. Jurnal-jurnal ilmiah internasional yang paling berkelas pada tahun 2020 dan 2021 banyak memuat hasil penelitian tentang hal ini.
Hendaklah kaum mukminin menjadi kaum yang resilient dalam menjalani proses menuju bertakwa, memelihara kebersihan diri, memelihara ketakwaan, kembali kepada ketakwaan ketika tergelincir, kembali bersuci ketika tergoda iblis dan menjadi kotor, dan terus meningkatkan ketakwaan. Jika komitmen ini dijalani dengan kesabaran tinggi maka kita tidak akan merasa takut dan tidak juga bersedih hati (QS. 2:277). Kepada orang-orang yang beriman, Allah menjanjikan keberuntungan jika orang-orang yang beriman itu bersabar, menguatkan kesabaran, selalu bersiaga, dan bertakwa kepada Allah (QS, 3:200).
Tidak ada keberuntungan yang lebih baik daripada keberuntungan yang diberikan oleh Allah. Orang-orang yang mendapat keberuntungan dari Allah tentu hanya orang-orang yang diridhai dan pasti kita akan senang mendapatkannya. Kita ridha menjalani petunjuk Allah dan Allah ridha atas keridhaan kita kepada-Nya. Insya Allah.
*Penulis, Dosen FKIP Untan dan Wakil Ketua PW Muhammadiyah Kalbar.