Oleh: Syamsul Kurniawan
SERING muncul kritik pada generasi-generasi muda kita, yang tidak sedikit dari mereka yang tercebur pada aksi kenakalan remaja dan perbuatan-perbuatan amoral. Kejahatan jalanan atau klitih yang sedang marak di Jawa Tengah dan DI Yogyakarta misalnya, menunjukkan bagaimana sedang terjadinya krisis karakter di tengah generasi muda kita.
Jika pada generasi muda kita ini padanya sedang mengalami krisis, lantas bagaimana mungkin mereka akan menjadi pelopor-pelopor pembangunan?
Masalah ini sudah selayaknya mendapatkan perhatian penuh dari semua pihak, tak terkecuali kiyai dan ustaz, sehingga pada konten-konten dakwah mereka bisa menyasar dan menyentuh hati generasi muda. Bulan Ramadan sebagaimana saat ini, bisa saja menjadi momentum yang pas untuk melakukannya.
Mengapa Perlu Diperhatikan?
Terlepas krisis yang dialami generasi muda saat ini. Faktanya dalam sejarah umat manusia, generasi muda juga dianggap punya peran strategis dan potensial, terutama untuk meneruskan cita-cita bangsa seperti melakukan kerja-kerja pembangunan.
Bahkan banyak pendapat yang mengaitkan antara masa depan sebuah negara dengan kiprah atau peran fungsional dari generasi mudanya. Salah satunya, Syaikh Khudhairi Beik, yang pernah menyebutkan bahwa jika ingin melihat berhasil atau tidaknya sebuah negara maka lihatlah bagaimana generasi mudanya ini.
Apabila karakter generasi mudanya baik maka baiklah negara tersebut, dan demikian juga sebaliknya. Jika karakter dari generasi mudanya buruk maka demikian pula semestinya nasib negaranya.
Merujuk bahasa Al-Qur‘an, istilah “generasi muda” yang disebut dengan asy-syabab, didefinisikan dengan ungkapan sifat dan sikap seperti:Pertama, tidak bersikap apatis, eskapis dan apalagi hedonis. Justru yang ditunjukkan adalah sikap berani merombak dan bertindak revolusioner terhadap konstruksi sistem sosial yang rusak. Seperti Ibrahim di masa mudanya,
“Mereka berkata: ‘Siapakah yang (berani) melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami? Sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang dzalim.’ Mereka berkata: ‘Kami dengar ada seorang pemuda yang (berani) mencela berhala-berhala ini yang bernama Ibrahim.” (Qs Al-Anbiya’/ 21: 59-60)
Kedua, memiliki standar moral yang baik berlandaskan agama yang ia anut, berwawasan, optimis, teguh pada pendirian, dan konsisten pada apa yang ia katakana. Seperti sikap yang ditunjukkan oleh pemuda-pemuda dalam kisah Ashabul Kahfi.
“Kami ceritakan kisah mereka kepadamu (Muhammad) dengan sebenarnya. Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka dan Kami tambahkan mereka wawasan; dan Kami telah meneguhkan hati mereka di waktu mereka berdiri, lalu mereka mengatakan:
‘Tuhan kami adalah Tuhan langit dan bumi; kami sekali-kali tidak menyeru Tuhan selain Dia, sesungguhnya kami kalau demikian telah mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran.” (Qs Al-Kahfi/ 18: 13-14)
Ketiga, seorang yang tidak berputus asa atau pantang mundur sebelum cita-citanya tercapai. Seperti digambarkan pada pribadi Nabi Musa di waktu mudanya. “Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya, “Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun.” (Qs Al-Kahfi/ 18: 60).
Demikianlah, generasi muda telah sejak dulu dianggap sebagai individu-individu yang penting perannya, karena usianya yang produktif dan kualitas karakternya yang positif. Jelas, generasi muda harusnya adalah pihak yang paling siap dengan perubahan sosial, dan bahkan menjadi pelopor bagi perubahan sosial itu sendiri. Apa yang saya ungkap di atas, adalah kisah-kisah heroik tentang generasi muda masa lampau yang kemudian diabadikan oleh Alquran.
Itulah mengapa, krisis generasi muda pada hari ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Mereka perlu diperhatikan dan diberikan pembinaan secara berkelanjutan. Pada konteks ini, jelas tidak hanya guru-guru di sekolah/madrasah yang harus mengambil peran, para kiyai dan ustaz sebagai pendakwah selayaknya juga demikian.
Bagaimana Caranya?
Dalam hal ini, agar hasil dakwah kepada generasi muda ini optimal, maka mereka (baca: kiyai dan ustaz) pun harus memperbarui model dakwah mereka. Model dakwah merekaharuslah memperhatikan selera generasi muda zaman sekarang, yang oleh Marx Prensky, dikelompokkan sebagai digital native.
Apakah ini sulit? Tentu tidak!. Model dakwah seperti ini tidak lagi sulit dilakukan, mengingat akses teknologi komunikasi dan informasi saat ini yang canggih, sehingga bisa membuat komunikasi dan akses data semakin mudah didapat, sehingga jarak dan waktu kini tidak menjadi hambatan lagi dalam dakwah. Penggunaan youtube dan media sosial misalnya bisa dimanfaatkan untuk berdakwah pada generasi-generasi muda ini.
Dengan media baru, mereka (baca: generasi muda) jelas akan lebih mudah menerima, sebab mereka yang dalam istilah Marx Prensky sebagai digital native memang karakteristiknya lebih menyukai cara-cara dakwah melalui media-media baru tersebut ketimbang cara-cara yang konvensional.
Namun ini bukannya berarti, cara-cara yang konvensional seperti ceramah dan kultum di mimbar-mimbar ceramah itu tidak efektif. Bukannya itu maksud penulis. Di bulan suci Ramadan, ceramah dan kultum yang secara masif digelar di masjid-masjid, surau, musala, dan bahkan di acara-acara buka bersama di perkantoran tetaplah penting digelar.
Namun demikian, hemat penulis perlulah pula ada yang secara masif dari kiyai dan ustaz yang berdakwah melalui media-media baru, yang sebagaimana telah penulis singgung lebih cocok dengan karakteristik generasi muda sebagaidigital native.*
Sekretaris Lembaga Hubungan Umat Beragama dan Peradaban
PW Muhammadiyah Kalbar.
Sekretaris Bidang Keilmuan, Riset dan Perguruan Tinggi
KAHMI Wilayah Kalbar