28.9 C
Pontianak
Tuesday, March 21, 2023

Harlah Ke-95 Nahdlatul Ulama

Oleh: Khairul Fuad 

NAHDLATUL Ulama (NU) itu satu (the one and only) yang ber-harlah ke-95 pada 31 Januari 2021, bukan Nahdlatul Ulama ke-95 yang berhari lahir. Organisasi masyarakat (Ormas) keagamaan terbesar bersama Muhammadiyah di Republik ini, NU selama hampir seabad telah mengiringi perjalanan Republik ini dari pra sampai pascakemerdekaan dan era reformasi. Segala pahit getir, aral melintang dijumpai, dan onak-duri ditemui menjadi batu ujian dan batu loncatan kiprah NU membersamai Republik ini sampai detik ini.

Loyalitas NU terhadap Republik ini bukan lagi persoalan tidak bisa ditawar lagi, melainkan sudah tanpa batas penawaran. Jika dibahasakan kaum milineal, NU sampai lupa rasanya galau selama membersamai Republik ini. Saat Republik kelam hitam, NU tetap menyulam, saat berwarna ungu, NU tetap menunggu, saat berwarna abu-abu, NU tak perlu mengadu, dan saat Republik ini haru-biru, NU tetap menghijau menjaga asa damai selalu.

Menjelang sepuluh dekade lustrum ke depan merupakan jaminan fleksibilitas perjalanan NU sendiri dan dalam membersamai Republik ini. Selama itu pula dialektika NU pada dimensi ruang dan waktu sehingga dinamika organisasi melalui menajemen konflik mampu menyikapi situasi yang tengah berkelindan waktu itu. Fleksibilitas tersebut tetap pada ranah kebersamaan yang disepakati dalam bingkai NKRI.

Sepertinya bagi NU, kesepakatan bersama dapat dimaknai sebagai global ethic atau common platform meminjam sitiran Komarudin Hidayat, cendekiawan muslim UIN Syarif Hidayatullah, dalam halaman Opini media mainstreams nasional. Keragaman dan keberagaman adalah keniscayaan yang harus dirawat dan diruwat untuk tidak terperosok dalam keseragaman yang eksklusif. Kesepakatan bersama merupakan Raison d’etre berdirinya Republik ini yang kerap dilontarkan Par excellence Gus Dur (Allah yarham) berdasar lontaran Soekarno tentang perbedaan sekar-sekat Republik ini.

Baca Juga :  Menggapai Asa Kinerja Anggaran yang Lebih Baik 

Kemudian, jargon terkenal usul fikih yang sering dilontarkan para Nahdliyyin, al-muhafadzatu ‘ala al-qadim al-salih wa al-‘akhdzu bi al-jadid al-’aslah, merupakan konsep mumpuni mendasari proses dialektika dalam ruang dan waktu. Tetap berpijak pada identitas, tetapi juga terbuka (inklusif) terhadap fenomena sosial yang tengah berlangsung. Oleh karena itu, tradisionalitas dan modernitas tetap berkelindan seiring tanpa saling mendahului apalagi saling menafikan.

Menarik tawaran Amin Abdullah, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga,  atas jargon usul fikih tersebut saat memosisikan ilmu keagamaan (the religion knowledge) berhadapan dengan fenomena sosial. Jargon tersebut dibagi ke dalam dua matra, matra pertama gambaran ilmu keagamaan yang merasa cukup, sebaliknya matra kedua gambaran interaksi sentuhan dengan keilmuan lain. Dua matra ini harus bersinergi bermutualisma jika tidak ingin punya masa depan yang dapat diharapkan (2020: 25).

Dengan demikian, NU dengan salah satu jargon usul fikih tersebut memiliki relevansinya terhadap fenomena sosial yang berkembang waktu itu di Republik ini. Dinamika NU secara organisasi menjadi jaminan bahwa NU selalu selaras dengan kekinian waktu itu. NU sebagai jam’iyyah, faksi parpol, parpol, sampai khittah 1926 saat Muktamar ke-27 NU Situbondo kembali ke jam’iyyah merupakan jawaban-jawaban atas kekinian waktu itu.

Termasuk, gambaran fenomena sosial dalam ranah politik saat Muktamar ke-29 NU Cipasung 1994, tarik-menarik kepentingan politik kekuasaan begitu tampak jelas. Gus Dur reperentasi penguatan sipil (civil empowering) nyatanya mampu menghalau intrik-intrik politik kekuasaan atas NU dengan tetap menakhodai NU sebagai petahana (incumbent) sejak 1984. Sebuah Muktamar panas, vis a vis masyarakat sipil (civil society)-kekuasaan (power) dan NU mampu mempertahankan identitasnya atas kepentingan politik kekuasaan sesaat.

Baca Juga :  Ekspedisi Rupiah Berdaulat Sambangi Lima Pulau di Kalbar

Pada gilirannya, tidak mengherankan jika NU kemudian menghiasi panggung politik nasional dengan simbol nyata Gus Dur menjabat Presiden ke-4 RI 1999–2001. Wajar dipahami sebagai buah dari proses dialektika panjang dengan fenomena sosial yang tergambar melalui partisipasi dalam politik kekuasaan. Bahkan menurut Fachry Ali, analis politik, era Abdurrrahman Wahid yang jarang menyebutnya Gus Dur merupakan booming generasi muda NU memasuki istana negara dari anggota dewan sampai masuk jajaran kabinet menteri.

Organisasi identik kaum sarungan tradisional, NU mampu berinteraksi dengan dinamika fenomena sosial dalam rentang 95 tahun dengan mengambil posisi pada porsi semestinya. Sikap seperti ini kemungkinan besar karena identitas kultur NU para Nahdliyyin merupakan basis  batu pijakan menyikapi perubahan, baik dalam ranah sosial maupun politik, tentu termasuk ranah ekonomi kemasyarakatan.

Perjalanan akhir-akhir ini atau lima tahun ke depan dihadapkan oleh isu digitalisasi di era milineal dengan disrupsi interaksi sosial. NU tampaknya telah menyambut disrupsi ini melalui setidaknya, ngaji virtual melalui berbagai aplikasi elektronik yang diampu oleh para Kyai pesantren. NU dengan basis pesantren tetap dapat menyajikan ngaji tradisional ala pesantren melalui unggahan ke kanal-kanal media sosial.

Satu titik tolak NU dalam ranah kebangsaan dan keagamaan menjadi tolok-ukur menyikapi fenomena sosial yang rentan berubah. Kesepakatan bersama berbangsa menjadi batu pijakan NU dalam menyikapi pluralitas Republik ini dengan tetap dalam bingkai NKRI. Tradisi lokal NU dalam ilmu keagamaan (‘ulum al-din) menjadi basis pemikiran saat berdialektika dengan fenomena sosial demi memeroleh posisi yang semestinya.**

*Penulis, Peneliti Sastra Balai Bahasa Kalbar.  

Oleh: Khairul Fuad 

NAHDLATUL Ulama (NU) itu satu (the one and only) yang ber-harlah ke-95 pada 31 Januari 2021, bukan Nahdlatul Ulama ke-95 yang berhari lahir. Organisasi masyarakat (Ormas) keagamaan terbesar bersama Muhammadiyah di Republik ini, NU selama hampir seabad telah mengiringi perjalanan Republik ini dari pra sampai pascakemerdekaan dan era reformasi. Segala pahit getir, aral melintang dijumpai, dan onak-duri ditemui menjadi batu ujian dan batu loncatan kiprah NU membersamai Republik ini sampai detik ini.

Loyalitas NU terhadap Republik ini bukan lagi persoalan tidak bisa ditawar lagi, melainkan sudah tanpa batas penawaran. Jika dibahasakan kaum milineal, NU sampai lupa rasanya galau selama membersamai Republik ini. Saat Republik kelam hitam, NU tetap menyulam, saat berwarna ungu, NU tetap menunggu, saat berwarna abu-abu, NU tak perlu mengadu, dan saat Republik ini haru-biru, NU tetap menghijau menjaga asa damai selalu.

Menjelang sepuluh dekade lustrum ke depan merupakan jaminan fleksibilitas perjalanan NU sendiri dan dalam membersamai Republik ini. Selama itu pula dialektika NU pada dimensi ruang dan waktu sehingga dinamika organisasi melalui menajemen konflik mampu menyikapi situasi yang tengah berkelindan waktu itu. Fleksibilitas tersebut tetap pada ranah kebersamaan yang disepakati dalam bingkai NKRI.

Sepertinya bagi NU, kesepakatan bersama dapat dimaknai sebagai global ethic atau common platform meminjam sitiran Komarudin Hidayat, cendekiawan muslim UIN Syarif Hidayatullah, dalam halaman Opini media mainstreams nasional. Keragaman dan keberagaman adalah keniscayaan yang harus dirawat dan diruwat untuk tidak terperosok dalam keseragaman yang eksklusif. Kesepakatan bersama merupakan Raison d’etre berdirinya Republik ini yang kerap dilontarkan Par excellence Gus Dur (Allah yarham) berdasar lontaran Soekarno tentang perbedaan sekar-sekat Republik ini.

Baca Juga :  Berdamai Namun Tetap “Berperang”

Kemudian, jargon terkenal usul fikih yang sering dilontarkan para Nahdliyyin, al-muhafadzatu ‘ala al-qadim al-salih wa al-‘akhdzu bi al-jadid al-’aslah, merupakan konsep mumpuni mendasari proses dialektika dalam ruang dan waktu. Tetap berpijak pada identitas, tetapi juga terbuka (inklusif) terhadap fenomena sosial yang tengah berlangsung. Oleh karena itu, tradisionalitas dan modernitas tetap berkelindan seiring tanpa saling mendahului apalagi saling menafikan.

Menarik tawaran Amin Abdullah, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga,  atas jargon usul fikih tersebut saat memosisikan ilmu keagamaan (the religion knowledge) berhadapan dengan fenomena sosial. Jargon tersebut dibagi ke dalam dua matra, matra pertama gambaran ilmu keagamaan yang merasa cukup, sebaliknya matra kedua gambaran interaksi sentuhan dengan keilmuan lain. Dua matra ini harus bersinergi bermutualisma jika tidak ingin punya masa depan yang dapat diharapkan (2020: 25).

Dengan demikian, NU dengan salah satu jargon usul fikih tersebut memiliki relevansinya terhadap fenomena sosial yang berkembang waktu itu di Republik ini. Dinamika NU secara organisasi menjadi jaminan bahwa NU selalu selaras dengan kekinian waktu itu. NU sebagai jam’iyyah, faksi parpol, parpol, sampai khittah 1926 saat Muktamar ke-27 NU Situbondo kembali ke jam’iyyah merupakan jawaban-jawaban atas kekinian waktu itu.

Termasuk, gambaran fenomena sosial dalam ranah politik saat Muktamar ke-29 NU Cipasung 1994, tarik-menarik kepentingan politik kekuasaan begitu tampak jelas. Gus Dur reperentasi penguatan sipil (civil empowering) nyatanya mampu menghalau intrik-intrik politik kekuasaan atas NU dengan tetap menakhodai NU sebagai petahana (incumbent) sejak 1984. Sebuah Muktamar panas, vis a vis masyarakat sipil (civil society)-kekuasaan (power) dan NU mampu mempertahankan identitasnya atas kepentingan politik kekuasaan sesaat.

Baca Juga :  Menggapai Asa Kinerja Anggaran yang Lebih Baik 

Pada gilirannya, tidak mengherankan jika NU kemudian menghiasi panggung politik nasional dengan simbol nyata Gus Dur menjabat Presiden ke-4 RI 1999–2001. Wajar dipahami sebagai buah dari proses dialektika panjang dengan fenomena sosial yang tergambar melalui partisipasi dalam politik kekuasaan. Bahkan menurut Fachry Ali, analis politik, era Abdurrrahman Wahid yang jarang menyebutnya Gus Dur merupakan booming generasi muda NU memasuki istana negara dari anggota dewan sampai masuk jajaran kabinet menteri.

Organisasi identik kaum sarungan tradisional, NU mampu berinteraksi dengan dinamika fenomena sosial dalam rentang 95 tahun dengan mengambil posisi pada porsi semestinya. Sikap seperti ini kemungkinan besar karena identitas kultur NU para Nahdliyyin merupakan basis  batu pijakan menyikapi perubahan, baik dalam ranah sosial maupun politik, tentu termasuk ranah ekonomi kemasyarakatan.

Perjalanan akhir-akhir ini atau lima tahun ke depan dihadapkan oleh isu digitalisasi di era milineal dengan disrupsi interaksi sosial. NU tampaknya telah menyambut disrupsi ini melalui setidaknya, ngaji virtual melalui berbagai aplikasi elektronik yang diampu oleh para Kyai pesantren. NU dengan basis pesantren tetap dapat menyajikan ngaji tradisional ala pesantren melalui unggahan ke kanal-kanal media sosial.

Satu titik tolak NU dalam ranah kebangsaan dan keagamaan menjadi tolok-ukur menyikapi fenomena sosial yang rentan berubah. Kesepakatan bersama berbangsa menjadi batu pijakan NU dalam menyikapi pluralitas Republik ini dengan tetap dalam bingkai NKRI. Tradisi lokal NU dalam ilmu keagamaan (‘ulum al-din) menjadi basis pemikiran saat berdialektika dengan fenomena sosial demi memeroleh posisi yang semestinya.**

*Penulis, Peneliti Sastra Balai Bahasa Kalbar.  

Most Read

Artikel Terbaru