Oleh: Aswandi
AIB setiap orang tidak terkecuali pada murid berpengaruh terhadap pencitraan negatif atas dirinya, demikian sebaliknya pencitraan positif pada diri seseorang akan menutup aib atas dirinya.
Keduanya sangat berpengaruh terhadap pencapaian prestasi akademiknya, bahkan dalam jangka panjang keduanya berpengaruhi terhadap kehidupannya. Oleh karena itu, kepada guru sebagai pendidik harus selalu diingatkan agar jangan sampai membuka aib muridnya, melainkan menutupnya dengan rapat.
Dalam pandangan agama dan tinjauan psikologi pemahaman yang benar tentang aib menjadi sesuatu yang sangat penting.
Rasulullah Saw dalam sabdaNya menegaskan “Barang siapa menutup aib seseorang Muslim sewaktu di dunia, maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan di akhirat.”, demikian HR. Muslim, Tirmidzi dan Ibnu Majah.
Sungguh pun sudah jelas peringatan Rasulullah Saw terhadap siapa saja yang suka membuka aib orang lain di depan publik, baik di saat ia berada di dunia maupun di akhirat kelak, masih ditemukan banyak orang terutama para pemimpin sangat senang membuka aib orang lain. Membuka aib orang lain di depan umum baginya menjadi suatu kebanggaan. Hal ini cukup menjadi bukti bahwa pemimpin tersebut secara rohani tidak sehat yang semestinya tidak layak dipilih/ diangkat menjadi seorang pemimpin.
Imam Ahmad Hambali adalah Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal Al-Syaibani, seorang ulama fiqih. Beliau dilahirkan di Baghdad pada Rabiul Awal tahun 164 H (780M), sejak berusia 40 (empat puluh) tahun beliau mulai mengajar dan banyak dari muridnya menjadi guru.
Pada suatu hari beliau melewati sebuah madrasah/ sekolah di mana seorang muridnya yang berprofesi sebagai guru sedang mengajar di bawah pohon yang berada di halaman sekolahnya. Imam Ahmad melihat ada beberapa orang murid yang sedang belajar di bawah pohon tersebut kepanasan terkena sengatan sinar matahari. Menurutnya apa yang dilakukan oleh muridnya yang berprofesi sebagai guru atau pendidik tersebut adalah sebuah aib bagi seorang guru. Imam Ahmad tidak mau kejadian seperti itu terulang kembali dilakukan oleh murid-muridnya yang berprofesi sebagai guru atau pendidik.
Merasa gundah terhadap kejadian tersebut, membuat beliau di tengah malam dan seorang diri bersilaturrahmi ke rumah muridnya yang pagi hari mengajar di bawah pohon tersebut. Di kegelapan malam beliau temuinya muridnya belum tidur, sedang membaca Al-Qur’an. Beliaupun mengetuk pintu seraya mengucapkan salam “Assalamu’alaikum”. Muridnya menutup Al-Qur’an dan berhenti mengaji langsung menghampirinya dan mempersilakan gurunya (Imam Ahmad) masuk ke rumahnya. Sebelum melangkah masuk ke rumah muridnya, Imam Ahmad bertanya kepada muridnya, “Apakah istri dan anak-anakmu sudah tidur?. Dijawab, “Sudah tidur bapak guru”. Mendengar jawaban tersebut, beliau pelan-pelan masuk dan duduk seraya mengatakan, “Saya datang di tengah malam ini tidak diketahui orang lain kecuali kita berdua. Adapun maksud kedatanganku untuk memberi tahu bahwa cara mengajar yang kau dilakukan tadi pagi menjelang siang di bawah pohon di halaman sekolah adalah perbuatan yang kurang baik (aib bagimu) karena saya menyaksikan sendiri ada diantara muridmu kepanasan tidak tertutup daun dari pohon tersebut.
Saya datang di tengah-tengah kegelapan malam seorang diri, di saat semua orang sudah tidur untuk memberikan pemahaman akan pentingnya menutup aib murid-muridnya.
Kisah berikutnya terkait pentingnya menutup aib murid adalah sebagai berikut. Seorang murid menyalami gurunya penuh penghormatan, seraya berkata, “Masih ingat saya, ya pak Guru?”. Gurunya menjawab, “Wah, maaf, tidak tuh”.
Murid tersebut bertanya keheranan, “Masa sih, pak Guru tidak ingat saya”. “Saya kan murid yang dulu mencuri jam tangan punya salah seorang teman di kelas. Ketika itu anak yang kehilangan jam tangannya menangis. Pak Guru menyuruh kami untuk berdiri semua karena akan dilakukan penggeledahan saku murid semuanya”.
“Saat penggeledahan itu saya berpikir, bahwa saya akan dipermalukan di hadapan para murid dan para Guru, dan akan menjadi tumpahan ejekan dan hinaan, mereka akan memberikan gelar kepadaku “Pencuri” dan harga diri saya pasti akan hancur selama hidup saya”.
Bapak Guru menyuruh kami menghadap tembok dan menutup mata kami semuanya. Bapak menggeledeh kantong kami dan ketika tiba giliran saya, bapak Guru ambil jam tangan tersebut dari kantong saya dan bapak lanjutkan penggeledahan hingga ke semua murid”.
Setelah selesai, pak Guru menyuruh kami membuka penutup mata dan kembali ke tempat duduk masing-masing”. “Saya takut bapak akan mempermalukan saya di depan murid-murid lain yang semuanya teman-teman saya”. Bapak tunjukkan jam tangan tersebut dan menyerahkannya kepada pemilik jam tanpa menyebutkan siapa yang mencurinya.
Selama belajar di sekolah itu, bapak Guru tidak pernah bicara sepatah katapun tentang kasus jam tangan itu, dan tidak ada seorang gurupun yang bicara tentang pencuri jam tangan tersebut.
“Saya sangat mengagumi bapak. Sejak peristiwa itu saya berubah menjadi orang yang baik dan benar hingga sekarang saya menjadi orang sukses. Saya mencontoh semua akhlak, sikap dan perilaku bapak”.
Sang guru pun menjawab. “Sungguh aku tidak mengingatmu, karena saat menggeledah itu, aku sengaja menutup mataku agar aku tidak mengenalmu”,
karena aku tidak mau merasa kecewa atas salah satu perbuatan muridku dan aku sangat mencintai semua muridku”.
Kejadian tersebut cukup menjadi bukti tingginya kualitas karakter/kepribadian dan integritas diri seorang guru dan pengaruhnya sangat besar dan abadi tanpa batas, Hendry Brock Adam seorang Kardinal mengatakan, “Pengaruh guru tiada batasnya, ia sendiri tidak tahu kapan batas itu berakhir”.
Masih terkait penting menutup aib murid disikapi oleh pemerintah Sulawesi Selatan melalui sebuah Peraturan Daerah Provinsi dimana guru dan tenaga pendidik lainnya dilarang menunjuk murid menggunakan jari telunjuk, melainkan harus menggunakan jari jempol.
Penulis sempat menanyakan kajian akademik yang dijadikan dasar peraturan daerah tersebut. Pihak pemerintah diwakili oleh Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan menjelaskan, “Jika guru meminta murid-muridnya untuk melakukan sesuatu dengan menunjuknya menggunakan jari telunjuk, seakan-akan murid tersebut berada dalam posisi bersalah (murid yang memiliki aib), sementara harus menggunakan jari jempol yang seakan-anak murid tersebut dalam posisi yang baik”.
Murid adalah pemilik masa depan yang harus diperlakukan dengan sebaik-baiknya karena perilaku guru atau pendidik sangat berpengaruh terhadap perilaku murid-muridnya. Mereka belajar dari apa yang dilihatnya, dari apa yang didengarnya dan dari apa yang dirasakannya.
Pentingnya menutup aib murid sejalan penemuan psikologi terpenting di zaman modern ini dimana pemahaman tentang citra diri positif, belajar memodifikasi dan mengelolanya mampu meraih keyakinan serta kuasa yang luar biasa sekalipun di awal kehidupannya kurang berdaya. (*)
(Penulis, Dosen FKIP Untan)