Terasi atau belacan merupakan produk unggulan di Kelurahan Sedau, Kecamatan Singkawang Selatan. Tak heran, kawasan itu dikenal sebagai sentra produksi belacan. Produksinya tidak lagi secara manual. Sudah menggunakan mesin dengan energi listrik. Bantuan dari PLN untuk meningkatkan produktivitas belacan di Kecamatan Sedau.
Rumah Produksi Olahan Laut baru saja diresmikan awal tahun 2021. Rumah produksi dibangun dari program Kotaku, Kementerian PUPR. Disinilah tempat produksi terasi atau belacan. Produk olahan yang dibuat masyarakat sedau secara turun menurun. Meski demikian sejumlah lembaga terlibat di dalamnya. Salah satunya PT. PLN. Rumah produksi ini satu kawasan dengan dengan destinasi wisata Pantai Batu Burung, di Kelurahan Sedau.
Samadi Rustam, mengatakan sekitar 100 kepala keluarga di Kawasan Sedau yang menjadi pembuat terasi. “Data kami terakhir seperti itu,” kata pria yang menjadi bagian produksi di Rumah Produksi Olahan laut.
Samadi menjamin orisinalitas produksi belacan meskipun saat ini tidak lagi dilakukan secara manual. Produksi belacan menggunakan mesin yang dibantu dari PLN. Bantuan yang diberikan itu berupa mesin penggiling, mesin pencetak, mesin pengemasan, freezer, lemari display dan alat pendukung lainnya.

Proses pembuatan belacan ini diawali dengan mencari udang rebon di sekitar pantai Pantai Batu Burung. Jika biasanya mencari menggunakan sungkur. Berbeda dengan yang dilakukan masyarakat setempat.
Samadi menyebutkan alat yang mereka gunakan ciduk. Biasanya dicari lepas subuh hingga menjelang pukul 09.00. “Jadi dengan diciduk biasanya sudah cukup bersih,” kata Samadi.
Proses selanjutnya dengan penjemuran. Jika cuaca bagus, proses penjemuran cukup tiga jam saja. Setelah itu baru kemudian digiling. Samadi menyebutkan bahan yang sudah digiling ini setengah jadi tungkalan. Proses penggilingan menggunakan mesin penggiling yang merupakan bantuan dari PLN.
“Jika dulu harus ditumbuk menggunakan lesung, sekarang tinggal digiling pakai mesin,” kata dia.
Bahan setengah jadi ini berwarna hitam kecoklatan. Jika ingin langsung dijual maka langsung ke mesin pencetak. “Keluar dari mesin pencetak sudah berbentuk potongan panjang. Jadi tinggal disesuaikan dengan ukuran dijual,” kata Samadi.
“Jika tidak langsung dicetak, bahan setengah jadi bisa disimpan. Bahkan tahan disimpan dalam satu tahun. Kualitas tidak berubah,” kata dia.
Samadi mengatakan dengan adanya bantuan mesin itu bisa meningkatkan produksi belacan. Sebagai perbandinganya jika diproduksi secara manual. Satu rumah bisa memproduksi 10-15 kilo terasi per hari.
Sementara dengan ada bantuan mesin produktivitas bisa meningkat. Sebab memiliki rencana kerja. Kemudian bahan baku yang bisa disimpan. Sebab Udang Rebon sebagai bahan baku utama tidak setiap bulan ada. Umumnya dari Juni hingga Desember.
Ia mencontohkan jika ingin memproduksi tiga ton dalam setahun maka harus menyiapkan bahan baku 9-10 ton. Selain itu kondisi bahan baku juga harus diperhatikan. “Jika basah, biasanya tiga kilo baru jadi satu kilo belacan,” kata dia.
Keuntungan lain pun, masyarakat tidak lagi menjual bahan mentah maupun hasil produksi ke tengkulak. “Secara otomatis jika produksi disini ada nilai tambah, apalagi sudah menggunakan mesin. Tentu akan berdampak pada perekonomian masyarakat disini,” kata Samadi.
Belacan yang dijual dalam berbagai kemasan. Dari 2 ons, setengah kilo dan satu kilo. Pasar dari produksi belacan Singkawang dan wilayah sekitarnya. “Karena ini satu kawasan destinasi wisata, sehingga pengunjung yang datang langsung membeli kesini,” imbuh Samadi.
*Lebih Mudah Mengatur Panas Saat Membatik
Manfaat penggunaan listrik dalam produksi juga diakui Priska Yeniriatno. Priska adalah pembuat motif batik tiga penjuru di Kota Singkawang. Berawal dari hobi, saat ini ia sudah memiliki jejaring pengrajin batik sebanyak 29 orang di lima kecamatan di Kota Singkawang.
Motif tiga penjuru dianggap sebagai simbol keberagaman tiga etnis di Kota Singkawang. Melayu, Dayak dan Tionghoa. “Tiga penjuru sebenarnya tiga gerbang utama masuk wilayah Singkawang. Disitulah dibangun kampung batik dengan tiga adab berbeda,” kata Priska.
Kawasan pesisir identik dengan Melayu. Kemudian timur dengan percampuran Dayak dan Tionghoa. Sedangkan di kawasan barat dengan motif urban.
Batik olahan Priska dan pengrajin lainnya tidak diminati masyarakat lokal saja tapi juga luar Kalimantan Barat. Meski demikian pandemi membuat penjualan batik sempat tersendat. “Dalam satu bulan produksinya bisa banyak dan baru dua bulan ini benar-benar keluarnya lancar,” kata Priska.
Priska mengatakan produksi batik saat ini mengandalkan listrik. Ia menggunakan kompor listrik untuk memanaskan tinta batik. Keuntungan lebih mudah mengatur panas pada tinta. Secara otomatis proses membatik jadi lebih cepat.
Bedanya dengan manual. Umumnya menggunakan kompor dengan bahan bakar minyak tanah untuk memanaskan tinta batik. Kesulitan lainnya mengatur suhu. “Kalau terlalu panas cantingannya melebar sehingga tidak bisa halus. Kalau menggunakan listrik tinggal colok saja,” kata Priska.
“Produktivitas lebih efektif, tidak susah cari minyak tanah. Karena kalau manual, meskipun api paling kecil tidak bisa mencegah panasnya. Sementara kalau menggunakan listrik, semakin sering digunakan sudah tahu titik stabilnya,” tambah Priska.
Sementara itu bahan baku kain untuk membatik masih didatangkan dari Jawa. Saat ini Kalimantan belum memiliki produksi tekstil kain katun. Untuk harga batik yang diproduksinya berkisar dari Rp300 ribu hingga Rp3 juta. Semakin rumit motif dibuat harga yang ditawarkan semakin mahal.
“Paling dikenal itu motif naga. Dengan motif itu orang sudah mengenal bahwa batiknya dari Singkawang,” jelas Priska.
Di lain tempat, Manager PLN UP3 Singkawang, Achmad Meidiansyah, mengatakan bantuan yang diberikan bantuan mesin listrik, kualitas dan kuantitas produksi belacan di Kelurahan Sedau dapat meningkat drastis.
“Kami berharap nantinya Kelurahan Sedau semakin dikenal sebagai Sentra Produksi Belacan di Kalimantan Barat khususnya di Kota Singkawang,” ujar Meidi.
Meidi menambahkan PLN memiliki program unggulan yakni Electrifying Agriculture. Pada program ini, PLN berupaya untuk menjadikan listrik sebagai pendorong ekonomi masyarakat. Meningkatkan produktivitas pelaku usaha. Seperti pembuat terasi dan pengrajin batik.
Melalui program ini, PLN mengajak masyarakat untuk mengkonversi mesin dan peralatan produksi yang sebelumnya masih dioperasikan secara konvensional dengan menggunakan bahan bakar minyak, menjadi mesin listrik yang tentunya lebih efektif dan efisien.
“Ke depannya mungkin meningkatkan keterampilan untuk meningkatkan produksinya,” kata Meidi.
“Bagi kami dari bantuan ini, tidak hanya silaturahmi yang semakin baik, tapi meningkatkan penggunaan kWh, hingga pemanfaatan teknologi untuk masyarakat. Selama ini produksi manual bisa beralih ke teknologi,” pungkasnya. (mse)