Krisis pandemi Covid-19 secara langsung berdampak buruk bagi ekonomi, termasuk sektor UMKM. Namun ternyata sebagian dari mereka mampu bertahan, bahkan naik omzetnya. Adaptasi digital menjadi kunci.
YOSHUA tampak sibuk membungkus roti mantau yang dipesan konsumennya lewat Go-Food. Sementara dua driver Gojek telah menunggu di depan kios miliknya, Jalan Gajah Mada, Pontianak. Mantan karyawan hotel bintang empat bagian dapur ini berhenti kerja pada tengah tahun lalu. Bisnis hotel memang menjadi yang paling terpukul pada era pandemi. Dia memutuskan untuk memulai usaha kecil-kecilan. Awalnya dia berjualan jam tangan. Namun berhari-hari tak satu pun produk yang dijualnya laku. Merasa itu bukan bidangnya, dia lalu beralih ke kuliner.

Berbekal pengalaman membuat roti mantau di hotel dan uang seadanya, dia pun berjualan camilan ini secara daring. Dia beri merek Mantau Bang Jo. Lewat penawaran di Gojek, Instagram, Facebook dan WhatsApp usahanya membuahkan hasil. Bahkan dalam tempo sebulan dia mampu menyewa lapak di tepian Jalan Gajah Mada. “Sekarang yang beli di stand dan pesan online sama banyaknya. Satu hari minimal bisa belasan paket yang terjual. Kalau PPKM Darurat dan Level 4 kemarin bahkan hampir seluruhnya terjual lewat GoFood,” kata pria 23 tahun ini.
Berbeda lagi dengan Fatur (38). Kantornya memberlakukan pengurangan jam kerja dan upah. Waktu kosong dimanfaatkannya untuk beternak ikan cupang. Dari awalnya puluhan ekor lalu berkembang menjadi ribuan. Ikan-ikan itu dijualnya lewat media sosial. “Saya tidak buka lapak, hanya jualan online. Pemesannya banyak dari luar kota,” sebutnya.
Sementara itu satu-satunya outlet Swalles, merek sampo lokal berbahan sarang burung walet asal Pontianak, harus tutup gegara pandemi. Sekarang hampir semua penjualan dilakukan online. Lewat digital, produk ini terjual hingga ke seluruh provinsi di Indonesia, bahkan luar negeri. “Untungnya kami sudah punya modal di digital marketing. Jadinya gencarkan di online, terutama lewat Tokopedia, Shoppe, dan platform lainnya,” sebut pemilik Swalles, Felis Noviyana (28).
Meningkatnya transaksi lewat penjualan digital juga dialami Yulistia Risky Pratiwi (24). Wanita ini berjualan jilbab dan pakaian muslimah di Tokopedia dan berbagai e-commerce lain. Akun Instagramnya dengan nama @Barakallahshop punya 51 ribu follower juga menjadi etalase produknya. Para konsumennya datang dari berbagai daerah di tanah air. “Mungkin karena PPKM. Jadinya pada belanja ke online,” ujar Risky saat ditemui di butiknya, Jalan Tanjungsari, Pontianak.

Kendati demikian, bukan berarti pemasaran digital sukses dilakoni semua orang. Pelaku usaha batik tulis di kota wisata Singkawang, Priska Yeni Riyatno menyebut, produknya kurang laku dijual online. Pasalnya produk batik tulis dengan ragam corak lokal itu menyasar segmen wisatawan untuk dijadikan oleh-oleh. Sementara kunjungan sedang wisata anjlok. “Produk batik tulis ini memang untuk buah tangan. Bukan produk massal berskala industri yang mampu bersaing harga di pasar online,” ucapnya.
Pasar Digital Kian Besar
Di tengah terbatasnya aktivitas sosial ekonomi, pemanfaatan digital kian menjadi tumpuan. Lembaga survei, Kadence International Indonesia dalam memaparkan hasil penelitian terkait pembayaran digital di Indonesia, mengungkapkan 44% responden menggunakan pembayaran digital setidaknya empat kali dalam seminggu.
Sedangkan, Bank Indonesia mencatat, selama pandemi, kian banyak masyarakat yang terlibat di keuangan digital. Pada sistem QR Code Indonesian Standard (QRIS) misalnya, per September 2021 tercatat sudah ada seratusan ribu merchant di Kalbar yang bergabung. “Sebagian besar mitra QRIS adalah UMKM,” kata Kepala BI Kalbar Agus Chusaini.
Padahal sebelum Covid-19 datang, pada Januari tahun lalu, hanya terdapat 25.000 merchant yang tergabung. Info; sistem QRIS mengintegrasikan transaksi dari berbagai penyedia layanan dompet digital dan perbankan lewat kode QR.
Data BI, secara nasional, hingga kuartal I-2021, transaksi di e-commerce sudah mencapai 548 juta transaksi dengan nominal mencapai Rp 88 triliun. Nominal transaksinya mencapai 52% dari tahun lalu. Namun secara volume, transaksi e-commerce melonjak dua kali lipat. Sementara untuk transaksi pembayaran digital secara umum meningkat dari Rp145 triliun di 2019 menjadi Rp205 triliun di 2020.
Head of Merchant Platform Business Gojek, Novi Tandjung mengatakan dalam satu hari, tercatat hingga 3.000 UMKM mendaftar jadi merchant Gojek. “Gojek akan terus bekerja lebih keras lagi untuk melahirkan inovasi teknologi dan non teknologi yang membantu UMKM dari segala lini dan di setiap tahapan usaha,” paparnya dalam keterangan tertulis belum lama ini.
Gojek sendiri menyediakan kebutuhan UMKM dari hulu ke hilir. Hasil riset Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia menyebut sebanyak 92% UMKM merasa lebih cepat beradaptasi di masa pandemi dengan bergabung di platform ini.
Kendati demikian, sinyal internet masih menjadi problem di Kalbar. Kepala Badan Keuangan dan Aset Daerah Kalbar, Alfian, mengungkapkan di provinsi ini, dari total 2.031 desa masih ada 252 desa yang belum memiliki jaringan internet sama sekali. Sementara itu sebanyak 928 desa jaringannya masih lemah. “Pemerintah berupaya untuk menghadirkan jaringan internet di seluruh titik itu,” ujarnya. (ARISTONO)